mimbaruntan.com, Untan – Perubahan iklim tak henti-hentinya menjadi permasalahan yang diperbincangkan secara global. Namun, yang paling dirasakan dari perubahan iklim adalah terjadinya pemanasan global. Adanya peningkatan suhu global secara signifikan ini juga diprediksi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di dalam laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) terbarunya bahwa suhu global yang akan naik melebihi ambang krisis 1,5 derajat Celcius dalam 5 tahun mendatang (2023-2027). Lantas, apa dampaknya bagi bumi kita ini?
Pada Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2022 diperingatkan kota-kota yang terletak di daerah pesisir turut menyumbang titik panas perubahan iklim. Indonesia sebagai negara kepulauan yang luas wilayah perairannya sekitar 62% tentu memiliki kerentanan yang tinggi terhadap dampak perubahan iklim ini khususnya di wilayah pesisir.
Kondisi ini berdampak pada ancaman berupa menipisnya luas daratan akibat erosi pantai, adanya banjir rob yang berpotensi merusak ekosistem pesisir seperti mangrove, tambak ikan, udang serta ladang garam di pantai. Dampak langsung juga dirasakan oleh nelayan karena akan semakin tinggi risiko melaut di tengah ketidakpastian cuaca sehingga dapat menyebabkan mata pencaharian nelayan turut terancam karena cuaca yang berbahaya untuk melaut, alhasil dapat menurunkan produktivitas masyarakat pesisir.
Baca Juga: Dugaan Pungli, Dosen Kumpulkan Iuran Praktik Mata Kuliah
Dalam pemberitaan dari kompas.id, seorang ahli iklim Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), sekaligus menjadi Wakil Ketua Kelompok Kerja I Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), Edvin Adrian menyampaikan upaya adaptasi terhadap dampak perubahan iklim tidak boleh melupakan aspek mitigasi, menurutnya lebih baik memanfaatkan keberadaan ekosistem mangrove daripada membuat tanggul laut yang prosesnya tidak ramah lingkungan. Hal ini menjadi bukti bahwa bumi mempunyai cara alaminya untuk melawan krisis iklim, salah satunya dengan keberadaan ekosistem mangrove yang memiliki kemampuan dalam menyerap karbon, suatu senyawa pemicu krisis iklim yang berujung terjadinya pemanasan global.
Keistimewaan Mangrove Menyerap Karbon
Mungkin ketika mendengar istilah mangrove, kita ketahui perannya sebagai ekosistem pesisir yang mampu menahan abrasi. Namun, tahukah kamu? Ekosistem mangrove ini termasuk salah satu karbon biru yang letaknya berada di pesisir dengan kemampuannya menyerap emisi karbon lebih besar, melebihi karbon hijau di daratan. Perlu kamu tahu, emisi karbon merupakan gas yang dihasilkan dari pembakaran senyawa yang mengandung karbon, seperti pembakaran bahan bakar fosil, aktivitas industri, kendaraan dan lainnya yang keberadaannya dapat memicu adanya pemanasan global yang berujung pada krisis iklim di bumi. Oleh karena itu, peran ekosistem mangrove menjadi istimewa dalam mengurangi senyawa berbahaya tersebut.
Dikutip dari dekarbonusantara.com, rata-rata hutan menyimpan karbon dua kali lebih banyak dari emisinya, dan diperkirakan 25% emisi karbon global diserap bersama hutan dalam bentuk vegetatif lainnya, seperti padang rumput (ladang, semak belukar, dll.). Sementara, dalam penelitian Center for International Forestry Research (CIFOR) menyatakan bahwa hutan mangrove di Indonesia menyimpan lima kali karbon lebih banyak per hektar dibandingkan dengan hutan tropis dataran tinggi. Hal ini juga didukung dalam sebuah penelitian berjudul “Indonesia’s Blue Carbon: A Globally Significant And Vulnerable Sink For Seagrass And Mangrove Carbon (2015)”, yang menyebutkan bahwa padang lamun dan mangrove di Indonesia menyimpan 17% cadangan karbon dunia.
Indonesia sendiri memiliki hutan mangrove terluas di dunia yaitu sebesar 3,3 juta hektar dan mencakup 50% dari hutan mangrove Asia. Dengan melihat potensi ini, justru menjadi sebuah keistimewaan Indonesia untuk turut berupaya mengontrol krisis iklim di bumi, salah satunya dengan menyerap emisi karbon yang terlepas bebas di atmosfer melalui ekosistem mangrove yang ada.
Bagaimana Tumbuhan Mangrove Menyerap Karbon?
Emisi karbon yang terlepas bebas di atmosfer hanya dapat diserap dan diolah secara alami oleh tumbuhan untuk digantikan dengan senyawa lain berupa oksigen. Kemampuan segala jenis tumbuhan dalam menyerap karbon tentu tidak terlepas dari fotosintesis yang membutuhkan karbon dioksida, air, cahaya matahari dengan peranan stomata yang memungkinkan masuknya karbon dan disimpan di dalam bentuk biomassa suatu vegetasi. Hal senada pula disampaikan oleh Destiana, dosen Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura (Untan).
“Daun yang ada di tumbuhan ini menyerap karbon terlepas dijadikan sebagai bahan baku dasar dalam proses fotosintesis. Kemudian, karbon ini diubah menjadi senyawa oksigen dan dilepaskan oleh tumbuhan ke atmosfer,” ujarnya (6/12).
Baca Juga: Tulang Rusuk Sang Bulan
Oleh karena itu, menurutnya semua tumbuhan memiliki proses yang sama dalam menyerap karbon. Begitupun pada tumbuhan di mangrove, tetapi yang menjadi perbedaan adalah mereka memiliki lapisan substrat berupa lumpur di bagian lapisan akarnya. Substrat inilah yang dapat menyimpan lebih cadangan karbon pada ekosistem mangrove, daripada cadangan karbon yang berada di daratan.
Hal demikian juga disampaikan Jumiati, dosen program studi (prodi) Teknik Lingkungan Untan, bahwa ekosistem mangrove menyimpan karbon lebih besar dibandingkan dengan tumbuhan yang berada di daratan. Namun, Ia menegaskan perbedaan lainnya dalam penyerapan karbon itu adalah pada proses dekomposisinya.
“Jika batang atau daun dari tumbuhan yang berada di daratan gugur, maka akan terdekomposisi dengan mudah menjadi tanah humus. Berbeda dengan tumbuhan pada mangrove, saat bagian dari tumbuhan ini gugur, maka akan terendapkan di lapisan substrat atau lapisan bawahnya, sehingga akan menyimpan simpanan karbon lebih lama karena tidak akan mudah terdekomposisi,” jelas Jumiati saat ditemui di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Laboratorium Terpadu Untan pada Kamis, (5/11).
Dengan melihat perakaran tumbuhan pada ekosistem mangrove yang beragam, seperti akar napas pada avicennia alba, akar tunjang pada rhizophora apiculata, akar lutut pada bruguiera cylindrica, akar papan pada xylocarpus granatum, dan masih banyak jenis lainnya dapat membantu dalam proses penyerapan karbon. Selain itu, seberapa tebal kedalaman substratnya juga turut membantu proses penyerapannya, sehingga ekosistem mangrove sebagai salah satu karbon biru ini mampu memiliki simpanan karbon lebih banyak dibanding dengan karbon hijau di daratan.
Lindungi Mangrove Lindungi Bumi
Dengan melindungi ekosistem pesisir seharusnya menjadi langkah yang tepat bagi Indonesia dalam melawan krisis iklim yang melanda dunia. Apalagi Indonesia sebagai negara yang turut menyumbang 75% ekosistem mangrove di kawasan Asia Tenggara menjadi nilai tambah sekaligus tanggung jawab bersama agar keberadaannya tetap terjaga.
Namun, dewasa ini keberadaan ekosistem mangrove seringkali terancam. Dalam pojok iklim Pojok Iklm oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dikatakan bahwa hampir sekitar 1,82 juta hektar mangrove pada tahun 2018 mengalami kerusakan akibat alih fungsi lahan. Selain itu, ekosistem mangrove di Indonesia turut terdegradasi mencapai 52 ribu hektar setiap tahun jika tidak segera diselamatkan. Greenpeace Sea Indonesia juga menyatakan hutan mangrove di pulau-pulau kecil terancam punah karena aktivitas penambangan skala besar di pulau tersebut cukup marak.
Baca Juga: Abrasi Yang Terus Menggerus Pesisir Kuala Karang
Adanya alih fungsi lahan atau perubahan kawasan berdampak pada penurunan kemampuan menyerap karbon pada ekosistem mangrove. Aktivitas penebangan hutan mangrove juga dapat menyebabkan pembebasan karbon tidak terkontrol. Dengan mencegah aktivitas yang dapat mengancam keberadaan ekosistem mangrove dapat secara efektif mereduksi emisi karbon dan menurunkan krisis iklim.
Pemerintah sudah sejak beberapa tahun yang lalu memberikan perhatian lebih pada pengelolaan mangrove dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove, kemudian dilanjutkan dengan penerbitan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kebijakan, Strategi, Program dan Indikator Kinerja Pengelolaan Mangrove Nasional.
Meskipun upaya tersebut lebih ditekankan bagaimana peran ekosistem mangrove sebagai penahan abrasi dan belum pada penyerapan karbon itu sendiri. Pemerintah menargetkan penurunan emisi karbon sebesar 116 juta ton pada tahun 2023. Hingga kini, Indonesia masih berjuang untuk melindungi ekosistem mangrove dari ancaman yang membahayakan keberadaannya. Namun, berbeda dengan Destiana sebagai tenaga ahli pendidik yang sering melakukan penelitian pada mangrove mengatakan upaya yang tepat untuk menjaga ekosistem mangrove yaitu dengan pendekatan kepada masyarakat lokal.
“Biasanya kami banyak melakukan sosialisasi dan pengabdian kepada masyarakat di sekitar hutan mangrove, harapannya mereka bisa memanfaatkan hasil hutan bukan kayu tersebut secara ekonomis, misalnya buah nipah bisa dijadikan sirup, buah rhizophora bisa dijadikan tepung, dan masih banyak manfaat lainnya, tetapi ekosistemnya tetap terjaga dengan baik,” ungkap Destiana.
Jumiati selaku tenaga ahli bagian riset dan penelitian di UPT Laboratorium Terpadu Untan juga sepakat upaya yang tepat dalam mempertahankan ekosistem mangrove itu adalah bagaimana memberikan pemahaman kepada masyarakat yang hidup berdampingan dengan ekosistem mangrove tersebut.
Kita yang jauh dari kehidupan pesisir seharusnya bukan menjadi suatu halangan, dengan mengkampanyekan dan lebih aware pada potensi dan perlindungan mangrove sebagai kekayaan di tanah luhur kita ini justru secara tidak langsung turut menyumbang kontribusi karena melindungi mangrove sama halnya kita melindungi bumi.
Penulis: Putri Arum Widyasari dan Ersa Dwiyana
Editor: Fikri Rizki Firdaus
*Tulisan ini telah terbit di Majalah Edisi XVI. Dapatkan segera versi cetaknya dengan menghubungi mimbaruntan@gmail.com / dapat mengakses link berikut https://bit.ly/MajalahMimbarUntanXVI
Referensi:
Walisongo Manurung, J. P., Boedoyo, M. S., & Sundari, S. (2022). Pajak Karbon di Indonesia Dalam Upaya Mitigasi Perubahan Iklim dan Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan. Jurnal Kewarganegaraan, 6(2), 2881-2898.
Sulaiman, Muhammad. “Pemanfaatan Hutan Mangrove Terhadap Penanganan Perubahan Iklim di Pulau Wetar”.” Jurnal Kelautan dan Perikanan Terapan (JKPT) 1 (2023): 67-71.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 19 Februari 2017. “Potensi Bakau Sebagai Penyerap Emisi Karbondioksida”. Diakses pada 1 Juli 2023, http://pojokiklim.menlhk.go.id/read/potensi-bakau-sebagai-penyerap-emisi-karbondioksida
M Ambari. 4 Mei 2021. “Upaya Memulihkan Ekosistem Mangrove yang Kritis”. Diakses pada 1 Juli 2023, https://www.mongabay.co.id/2021/05/04/upaya-memulihkan-ekosistem-mangrove-yang-kritis/
Arif, Ahmad. 3 Maret 2022. “Kota-kota Pesisir Indonesia di Garis Depan Krisis Iklim”. Diakses pada 5 Agustus 2023, https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2022/03/03/kota-kota-pesisir-indonesia-di-garis-depan-krisis-iklim
Syahputra, Andi. 29 Agustus 2022. “Loss and Damage Akibat Dampak Perubahan Iklim di Sektor Pesisir”. Diakses pada 5 Agustus 2023, https://lcdi-indonesia.id/2022/08/29/loss-and-damage-akibat-dampak-perubahan-iklim-di-sektor-pesisir/