mimbaruntan.com, Untan – Di sekitar bulan September hingga Desember tahun 2020 lalu, lini media massa di Indonesia dipenuhi pemberitaan terkait penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja atau Omnibus Law. Banyak pihak yang terlibat dalam penolakan ini, dan yang sudah barang tentu terlibat adalah dari kelompok Mahasiswa, kelompok yang telah menjadi agen kontrol pemerintahan dari masa ke masa.
Di Pontianak sendiri pada rentang waktu itu tercatat ada beberapa aksi yang diadakan. Dari beberapa aksi tersebut ada yang berjalan dengan lancar tanpa kendala, ada pula aksi yang berujung pada pembubaran paksa dan mengalami tindakan represif dari aparat kepolisian.
Salah satu aksi yang berujung tindakan represif itu ialah aksi pada tanggal 28 Oktober 2020 di area bundaran Tugu Digulis, Jalan Ayani, Pontianak. Hal tersebut pun berujung pada kecaman yang diberikan oleh organisasi-organisasi Mahasiswa yang tergabung dalam satu Aliansi.
Mengutip kata Koordinator Aksi bertajuk Digulis Memanggil, Ansharuddin, di Inside Pontianak, mereka mengecam keras tindakan pelanggaran Hak Asasi Mahasiswa (HAM) yang dilakukan oleh Polda Kalbar saat melakukan pengamanan aksi mereka kala itu. Kecaman itu pun dibalas dengan bantahan oleh Polda Kalbar. Menurut mereka tak ada satupun aparat yang melakukan pemukulan terhadap massa aksi pada malam hari itu.
Setelah kejadian tersebut, gerakan aksi Mahasiswa pelan pelan meredam. Melihat redamnya gerakan tersebut, serupa dengan pola-pola aksi di tahun sebelumnya. Pada awalnya sangat ramai, lalu ketika melihat adanya ancaman dari aparat, gerakan-gerakan pun mulai sepi. Lalu apa sebenarnya yang menjadi penyebab gerakan Mahasiswa ini seolah hilang datang? Apakah gerakan Mahasiswa ramai hanya ketika isu sedang ramai dibicarakan? Apakah semangat Mahasiswa hilang akibat rentetan tindakan represif yang dilakukan aparat? Dan masih adakah semangat Mahasiswa untuk bergerak di masa sekarang?
Untuk memahami hal tersebut akademisi Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FISIP) Universitas Tanjungpura (Untan), Viza Julianysah berkaca dari gerakan gerakan mahasiswa dan pemuda di Indonesia pada masa sebelumnya. Viza menjelaskan, pada dasarnya sebuah gerakan itu hadir karena adanya ancaman bersama.
“Satu hal dalam ilmu sosial yang gak banyak diomongkan salah satu hal yang paling mudah menyatukan orang lain adalah musuh bersama,” kata Viza.
Viza pun menganalogikan terbentuknya negara Indonesia pada zaman dulu dikarenakan adanya penjajah yang sama
“Indonesia dulu belum ada, ketika kita sama-sama dijajah oleh Belanda, Indonesia muncul karena dijajah oleh negara yang sama, itu cuma sarkas aja. Yang saya coba sampaikan adalah ketika kita punya musuh bersama kita punya kecendrungan untuk bersatu,” ungkapnya menjelaskan tentang dasar dari sebuah gerakan.
Jika melihat gerakan reformasi yang terjadi pada circa 1998, mahasiswa pada zaman itu pun juga mempunyai musuh bersama.
“Pada saat 1998 itu juga begitu, sebagian besar orang sependapat terutama mahasiswa bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto itu bermasalah, korupsi, otoritarian, dan lain-lain sehingga mereka bersatu,” jelas Viza.
Pada saat itu kebanyakan dari mahasiswa berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.
“Mereka punya banyak perbedaan, ada Budiman Sudjatmiko pentolan PDIP, tapi juga ada Fahri Hamzah yang baru keluar dari PKS. Dua orang yang saling bertentangan tapi dulu ya mereka bisa berteman. Mereka bersatu atas dasar adanya musuh yang sama, karena musuh mereka tadi itu secara konkrit, jelas, melanggar segala akal sehat tentang apa-apa yang dianggap baik,” ungkapnya
Presiden Mahasiwa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), FISIP Untan periode 2018-2019 Panji Kurnia Aji menyampaikan pandangannya soal pola gerakan mahasiswa di masa sekarang. Menurut Panji yang berubah dari gerakan mahasiswa adalah dasar dasar dari gerakan tersebut namjun tidak terlalu signifikan.
“Pola gerakan mahasiswa tidak banyak berubah, namun dasar-dasar dari gerakan ini yang mungkin mengalami transisi perubahan yang tidak signifikan agak berjalan lambat. Dasar-dasar gerakan inilah kemudian yang memotivasi saya dan teman-teman mulai dari maba sampai akhir studi,” jelasnya saat diwawancari via WhatsApp.
Panji bercerita, pada saat dirinya masih menjadi mahasiswa baru, banyak gerakan mahasiswa yang diikuti karena pengaruh dari seniornya di kampus. Dari tahun ke tahun pola tersebut pun berubah seiring perkembangan media sosial yang semakin pesat.
“Waktu saya maba (mahasiswa baru) itu diwarnai semangatnya itu karena terkontaminasi oleh pengaruh pengaruh dari senior dan orang yang mumpuni dalam menyampaikan aspirasi, namun tahun ke tahun sampai saya selesai studi saya melihat malah mahasiswa sekarang semakin sadar untuk menyampaikan pendapatnya sendiri atas dasar pemikiran mereka, bukan berdasarkan ajakan. Walaupun sebenarnya memang kurang lebih ada yang seperti itu karena ajakan,” ungkapnya.
Viza menjelaskan pasca reformasi terjadi banyak perubahan dan merupakan konsekuensi dari terbentuknya negara yang lebih demokratis. Orang bisa mendefinisikan negara yang ideal secara berbeda. Yang jelas, kata Viza, dia percaya bahwa hari ini negara kita menjadi lebih demokratis.
“Fahri Hamzah saat menjadi mahasiswa muncul dia di remaja masjid di Universitas Gajah Mada yang nantinya menjadi bibit kemunculan PKS. Kemudian PDIP muncul. PPP kemudian kembali lagi pecah menjadi PKB dan lain lain. Kepentingan-kepentingan yang berbeda muncul semua punya imajinasi tentang apa itu Indonesia. Mereka sekarang tidak punya musuh yang sama, sekarang mereka memperjuangkan kepentingan masing-masing,” tutur Viza.
Pasca reformasi kata Viza, perjuangan mahasiswa setidaknya mulai tercapai satu persatu, karena memang tujuan utama pada saat itu ialah mendapatkan sebuah negara yang demokratis. Namun yang menjadi masalah adalah banyak orang yang menganggap demokratis menjadi satu-satunya tujuan, padahal masih ada banyak hal lain yang juga harus dikawal dan diperhatikan.
“Banyak orang mengira ’setelah kita demokratis lalu kemudian ya kita sudah selesai’, padahal itu kan baru mulai, pr panjang kita lakukan dan lain lain. Maka gerakan mahasiswa itu mulai berubah, mereka tidak lagi mendemonstrasi pemerintah secara seragam. Karena pemerintah sendiri memang punya banyak hal yang bisa dikritik tapi tidak sefatal apa yang terjadi pada periode Soeharto,” imbuhnya.
Kata Viza, banyak gerakan mahasiswa yang tidak bersatu bukan karena terpecah belah, melainkan gerakan yang ada semakin sporadis. Dan jika ada permasalahan pun, menurutnya masih dalam batas yang bisa ditoleransi.
“Kalau kita punya komputer ada virus satu dua, ga kita format ulang dong komputernya, kita benerin. Bukan berarti virus itu bagus, tapi ya kalau kita format ulang cape nginstall lagi dari awal. Beda dengan zaman tahun 98. Saat itu sistem atau komputer ini sudah hancur, udahlah, di-defrag masih berantakan, pakai anti virus masih juga berantakan, udah hapus semuanya, clean sheet, install ulang Windowsnya. Reform, reformat kan sebenarnya kita format ulang atau reformasi,” ujarnya menjelaskan keadaan semasa reformasi.
Menurut Viza, gerakan yang sporadis itu adalah hal baik dan merupakan dinamika standar dari sebuah negara demokrasi. Viza menyebut, bukan berarti karena redamnya gerakan, gerakan mahasiswa itu menjadi mati.
Viza memandang beberapa kampus besar di Indonesia, mahasiswanya bergerak jika ada isu yang memang benar-benar penting, dan menurutnya berbeda dengan kampus kampus kecil. “Beberapa mahasiswa cuman bergerak kalau ini penting banget. Lihat kampus-kampus besar, ga terlalu suka dia demo,” kata Viza.
Faktor-faktor seperti eksistensi kata Viza menjadi salah satu faktor yang kurang penting dalam gerakan mahasiswa.
“Kampus lain butuh eksistensi, mohon maaf kampus kita salah satunya. Dulu tahun 98, zaman saya tamat SMA pindah ke Jogja, Universitas Tanjungpura ini dikirimi celana dalam, karena zaman Soeharto ga demo, kita (Untan) diam aja, kita ga ngerti politik. Yang kita demo apa dulu? Gara gara pakai helm ganda kita protes. Protesnya kita itu masih ecek-ecek, seperti tadi kita protes ga boleh mudik, ini kan balik lagi kayak dulu, bukan sesuatu yang substantif. Makanya saya katakan bahwa, saya tidak mengatakan semuanya buruk, tapi sayangnya yang bersuara lantang kadang-kadang yang buruk,” tuturnya.
Di masa sekarang, akan lebih mudah untuk mahasiswa membentuk sebuah gerakan karena faktor teknologi yang semakin berkembang pesat, kata Viza.
“Dulu itu jauh lebih hebat dari sekarang, bukan hanya semata karena banyak, tapi bayangkan mengumpulkan massa seluruh Indonesia demonstrasi tanpa WhatsApp, tanpa telepon, kami ga punya telepon dulu. Telepon genggam itu dulu yang punya hanya yang luar biasa kayak Tommy Soeharto aja kali yang punya pada masa-masa itu,” jelasnya.
Panji kembali menuturkan, pola gerakan mahasiswa di zamannya berubah seiring dengan pola perubahan kehidupan organisasi di kampusnya. Panji bercerita di kampusnya dulu senioritas berperan besar terhadap gerakan mahasiswa.
“Dulu di FISIP itu pola organisasinya, senioritas lebih berpengaruh terhadap gerakan, berbeda ketika saya menjabat sebagai Presma, itu gerakan didasari sedikit pengetahuan dari mahasiswa. Sekarang media sosial diwarnai isu isu politik, gerakan mahasiswa, dan sebagainya. Itu yang menurut saya mempengaruhi teman-teman mahasiswa pada periode jabatan saya itu bergerak, ketimbang karena senioritas. Jadi transisi pergerakan mahasiswa itu mulai baik, tidak ikut-ikutan, dan sekarang lebih banyak menerima informasi,” ceritanya.
Panji mengakui, dia mempunyai pandangan saat ini gerakan mahasiswa walaupun banyak yang murni untuk kepentingan umum, ada beberapa kelompok juga yang terkena konflik kepentingan.
“Konflik kepentingan dasar dari gerakan mahasiswa ini yang membuat gerakannya berjalan baik atau tidak. Banyak gerakan yang didasari bukan karena kepentingan umum atau rakyat. Pada dasarnya kan gerakan mahasiswa itu untuk kepentingan umum atau rakyat, bukan keberpihakan kepada pemerintahan yang saat ini menjadi titik kritis mahasiswa itu sendiri,” tuturnya.
Menurut Panji, sekali lagi perubahan teknologi yang memberi pengaruh besar terhadap perubahan pola gerakan mahasiswa. Panji berpendapat dengan semakin banyaknya media sosial, oknum oknum pemerintah akan semakin mudah mendekati mahasiswa untuk menyisipkan kepentingan-kepentingan tertentu.
“Perilaku mahasiswa sekarang itu kan tidak seperti teman teman mahasiswa yang dulu sebagai gerbong oposisi. Perbedaan konflik sekarang itu ya karena media sosial tadi, pemerintah lebih mudah mendekati mahasiswa untuk kepentingan-kepentingan tertentu,” ungkapnya.
Viza pun meyakini terlepas dari tudingan gerakan mahasiswa sekarang ada yang ditunggangi kepentingan tertentu, masih banyak mahasiswa yang mempunyai pandangan jernih dalam melihat permasalahan di pemerintah. Dia tidak memungkiri bahwa eksistensi sering mengganggu fokus utama dari sebuah gerakan yang ada.
“Jadi kalau menurut saya pertama itu mahasiswa gak akan mati, dimana-mana mahasiswa menjadi agent of change, masalahnya change ke sesuatu yang bagus atau ke sesuatu yang buruk. Mudah-mudahan Insya Allah sih saya melihat bahwa terlepas dari kritik saya ke teman-teman yang ada di sekitar sini saya percaya bahwa ada banyak teman-teman yang punya pandangan jernih terhadap politik, terhadap permasalahan. Hanya saja kadang-kadang sekarang terdistraksi oleh suara lain yang hanya butuh eksistensi,” jelasnya.
Panji menyampaikan setidaknya aksi atau gerakan mahasiswa yang dilakukan haruslah berasal dari pemikiran sendiri dan tidak mudah terpengaruh oleh orang lain. “Minimal, aksi yang kita bawa, sikap yang kita bawa, pernyataan yang kita publish pada pemerintah yang kita tuju atau lembaga ataupun terhadap pers itu adalah murni buah pikir kita sendiri, bukan hanya buah pikir yang ada di tempat lain, kemudian kita plagiasi, boleh-boleh saja sebenarnya bergerak dengan buah pikir orang lain, namun lebih baik jika kita ikut memahami dan menambahkan pemikiran lagi. Misalnya ada gerakan nasional, kita campur pemikiran, apa sih dampak isu nasional ini terhadap daerah daerah masing masing?” ungkapnya.
Indeks Demokrasi Indonesia Menurun
Merujuk pada laporan The Economist Intelligence Unit (EIU), Indeks Demokrasi Indonesia menurun dari skor 6.48 menjadi 6.3. Indonesia pun menduduki peringkat 64 dunia dalam laporan yang diterbitkan EIU. Ada banyak faktor yang digunakan untuk menilai indeks demokrasi, salah satunya kebebasan berpendapat.
Menanggapi hal tersebut Viza menyebut ada beberapa hal yang memang bisa disetujui jika indeks demokrasi di Indonesia terjadi penurunan. Menurut Viza penurunan ini bukan karena masyarakat tidak lagi mampu untuk berdemokrasi, namun jurstru karena semakin terbukanya pintu demokrasi.
“Sehingga banyak orang yang melanggar batas-batas yang tidak seharusnya mereka langgar atas nama demokrasi. ‘Atas nama kebebasan berbicara saya menghina Hafidh’ ‘negara demokrasi’ padahal dalam demokrasi itu kebebasan kamu itu dibatasi oleh kebebasan orang lain. Lalu kemudian Hafidh pakai UU ITE, dan UU apa ke saya, dan kemudian saya bilang ‘Udah dak demokratis lagi, kenapa? Karena saya menyatakan pendapat saya’ ngomongnya dihaluskan kan, menyatakan pendapat, padahal tadi saya menghujat kan,” jelas Viza menggunakan pengandaian.
Viza menjelaskan memang dengan adanya UU ITE pada saat ini terjadi peningkatan jumlah orang yang ditangkap karena mengungkapkan pendapat, atau lebih tepatnya ujaran kebencian. Namun hal tersebut dinilai wajar sebab semakin bebasnya orang untuk berpendapat.
“Ucapan kebencian tidak sebesar saat ini, jadi orang yang ditangkap melakukan ini tidaklah signifikan jumlahnya pada saat itu. Jadi kayak terjadi penangkapan atau kayak apa, orang jadi takut berbicara, ya iyalah. Kalau kita bicara saat ini, sekali saya ketik send, udah seluruh dunia bisa baca. ‘Dulu saya bebas bicara’ dulu saya bebas bicara di depan emak saya, ndak kenak tangkap kan kayak gitu kan? Dulu saya bicara di kelas, paling 40 sampai 50 orang mahasiswanya. Sekarang kalau saya bicara kuliah, di-screenshot sama mahasiswa, direkam, chat saya ke mahasiswa di-screenshot, disebarkan, lalu kemudian terjadi macam-macam,” ujarnya menjabarkan perbedaan mengungkapkan pendapat dari masa ke masa.
Semakin banyak dan mudahnya menggunakan media untuk orang menyampaikan pendapat menurut Viza berperan dalam meningkatnya perasaan takut untuk berpendapat. Viza menyampaikan, seharusnya kita menyadari bahwa kebebasan berpendapat bagi individu itu dibatasi juga oleh kebebasan yang dimiliki orang lain.
“Sebagian besar penurunan indeks demokrasi itu, kalau menurut analisa saya adalah karena orang merasa takut untuk berpendapat, tapi perasaan takut untuk berpendapat itu besar dipengaruhi oleh fakta bahwa besarnya kebebasan yang kita miliki. Dulu kita tidak merasa terbebani, karena kita memang dari awal tidak mempunyai kebebasan itu. Jadi kenapa kamu takut sekarang ngomong? Karena ketika kamu ngomong semua bisa mendengarkan, dulu kita tidak punya media untuk menyampaikan pendapat. Itu sih analisa saya. Jadi sebenarnya demokrasi kita oke oke aja, cuman kadang-kadang kita tidak siap menerima konsekuensi dari kebebasan kita yang tadi seharusnya dibatasi oleh kebebasan orang,” ungkap Viza.
Berkenaan dengan gerakan mahasiswa itu sendiri pemerintah pernah menerbitkan beberapa aturan yang membatasi gerakan mahasiswa. Salah satu contohnya adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang pernah menerbitkan surat larangan demo pada Oktober 2020 lalu. Hal itu tertuang dalam surat edaran Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud Nomor 1035/E/KM/2020 perihal ‘Imbauan Pembelajaran secara Daring dan Sosialisasi UU Cipta Kerja’.
Dalam surat itu, Kemendikbud mengimbau mahasiswa tidak berpartisipasi dalam kegiatan penyampaian aspirasi yang dapat membahayakan kesehatan mahasiswa, seperti demonstrasi atau unjuk rasa.
Selain surat tersebut, salah satu perguruan tinggi di Indonesia yaitu Universitas Indonesia pernah mewajibkan mahasiswa baru untuk menandatangani Pakta Integritas yang isinya dianggap sebagai alibi untuk membungkam mahasiswa. Beberapa isi yang menjadi kontroversial antara lain gangguan fisik/mental yang menjadi tanggung jawab pribadi, pelarangan politik praktis, dan larangan mengikuti organisasi ilegal. Yang menjadi masalah adalah larangan tersebut tak ada yang bisa menjamin bisa ditafsirkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Pasca reformasi, pemerintah banyak menerbitkan Undang Undang yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat, namun ada beberapa aturan yang mulai mengurusi ruang privat masyarakat. Kasus-kasus seperti penyadapan, peretasan, yang walaupun dilakukan oleh oknum tertentu menjadi dampak nyata yang menghasilkan ketakutan di masyarakat.
Kata Viza, negara tidak seharusnya masuk ke ruang privat, dan hal tersebut menjadi blunder. Harus ada cara cara lain yang dipakai pemerintah untuk menghadapi semakin luasnya kebebasan berpendapat.
“Kalau menurut saya, negara tidak seharusnya masuk ke ruang privat, dan itu blunder. Tapi memang mencari titik tengah itu agak sulit, karena kadang-kadang kita melihat sesuatu nih kan tergantung dari sudut pandang kita, kurang lebih kayak gitu. Contohnya, saya menghina Juventus, menghina Manchester United, menghina Liverpool, kalau kita bilang ini ujaran kebencian karena menghina Palestina, maka pada saat kita mem-bully pendukung Manchester United jangan jangan bisa kena Undang Undang yang sama, dan menurut saya itu ranah-ranah yang terlalu jauh Pemerintah masuk. Harusnya Pemerintah gak masuk kesitu. Lain jika memang ucapan itu bersifat makian secara spesifik, jadi cukuplah di-takedown, mungkin karena kontennya tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan dari media sosial tersebut,” jelasnya.
Gerakan Mahasiswa Tak Akan Mati
Banyak pihak menilai bahwa saat ini gerakan mahasiswa sudah mati, generasi saat ini dianggap kurang peduli terhadap demokrasi. Namun hal tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Mengutip Pinterpolitik, setiap generasi sebenarnya memiliki respon yang berbeda terhadap gerakan dan perubahan sosial. Hal itu didasari oleh Teori Generasi milik Karl Mannheim di dalam sebuah tulisan milik Ruth Milkman yang berjudul A New Political Generation. Dalam sebuah artikel di Pinterpolitik dijelaskan bahwa, generasi Z dianggap memiliki nilai dan caranya sendiri. Berdasarkan berbagai studi, generasi yang merupakan penduduk asli dunia digital (digital native) ini setidaknya memiliki beberapa nilai seperti berpikiran terbuka dan mudah berkompromi, menghendaki perubahan sosial, serta menyukai keunikan.
Panji berpendapat, idealnya gerakan mahasiswa itu sedikit banyak tidak terpengaruhi oleh dunia digital yang menyebabkan fenomena baru seperti Fear of Missing Out (FOMO).
“Idealnya seperti bukan gerakan ikut-ikutan, atau kalau istilah sekarang itu FOMO atau ikut-ikutan tren, jangan didasari seperti itu. Kita berani bersikap walaupun gerakannya sama dengan yang lain, tapi kita bisa memastikan kalau gerakan kita tidak didasari karena FOMO, kita harus bisa membuktikan gerakan yang kita buat itu seperti layaknya penelitian yang mempunyai dasar empirisnya seperti itu. Misalnya apa data yang kita pakai, apa yang kita bawa, dan apa yang kita bela, idealnya seperti itu.”
Hal sependapat disampaikan juga oleh Viza. Viza menjelaskan pada dasarnya pemuda memiliki sifat karakter dasar yang menyukai perubahan. Dia menyebut walaupun saat ini mahasiswa dianggap hibernasi, bukan berarti bahwa gerakan mahasiswa itu mati.
“Jika ada satu isu yang menurut mereka perlu diperhatikan, saya tidak ragu, mereka akan turun. Walaupun nanti mereka 10 tahun ga pernah demonstrasi, tidak ada keraguan akan hal itu. Bahkan mungkin lebih besar dari 98 ataupun sebelum-sebelumnya, karena kita punya segala media untuk menggalang massa saat ini. Gak sulit sama sekali. Tapi hanya karena dia sedang tidur, saat ini sedang hibernasi bukan berarti bahwa itu mati,” pungkasnya.
Panji pun menyampaikan beberapa prinsip yang dia pegang agar gerakan mahasiswa bisa bertahan. Baginya yang terpenting dalam gerakan adalah integritas individu, jika integritas individu itu hancur, maka gerakan yang ia bangun pun akan ikut hancur juga.
“Bagi saya mahasiswa tanpa integritas motivasinya itu berbahaya, tanpa motivasi kapasitas mahasiswa itu tidak berdaya, tanpa kapasitas pemahaman dia itu terbatas, tanpa pemahaman pengetahuan itu tidak ada artinya, tanpa pengetahuan pengalaman itu buta. Pada dasarnya integritas diri itu yang harus diperkuat, individu kita sebagai pemimpin organisasi atau orang yang berkecimpung dalam organisasi, baru kita bisa berbicara integritas sebuah gerakan. Kalau integritas individu itu hancur, maka sebuah gerakan akan hancur bisa dimasuki kepentingan kepentingan tertentu. Dasarnya itu dari individu baru terhadap gerakan,” tandasnya.
Penulis : Hafidh Ravy Pramanda
Editor : Monica Ediesca