Oleh uuz
“Sebuah isu di era serba maju kini dipandang sebagai sebuah kebutuhan, terlepas benar atau tidaknya. Water Lippman mengatakan biasanya kita tak melihat dulu sesuatu untuk mendefinisikannya, biasanya kita mendefinisikan dulu, baru melihat”.
Kita dihadapi oleh berbagai masalah berkepanjangan pada era Indonesia Hebat, mulai dari pergantian menteri, kemelut pada pemerintahan, kabut asap, nilai rupiah anjlok dan harga ekonomi yang kian meresah. Situsi yang kita hadapi itu adalah hal yang kita rasakan saat ini. Media lokal dan nasional menilik hal tersebut sebagai sebuah buah segar yang siap dilontar ke khalayak ramai. Untuk beberapa pekan hal tersebut tak pernah layu, masih ingat di beberapa bulan lalu berbagai musibah menimpa kita, jatuh nya pesawat yang menewaskan tidak sedikit manusia, sampai hilangnya sebuah pesawat yang menimbulkan banyak dugaan tapi tak pernah di vonis. Media menampilkan hal tersebut berulang kali, walaupun sang reporter hanya memberikan sedikit kemajuan dari laporan reportase yang sebelumnya. Intinya adalah hal yang sering ditonton, itulah yang sering ditampilkan.
Sudah terlalu lampau hal itu sudah dibahas oleh Water Lippman sebagai sebuah “Naluri” bagi subjeknya, dalam bukunya yang berjudul public opinium terbitan 1922 sudah sangat jauh membahas itu. Ia mengatakan bahwa dunia objektif yang dihadapi manusia itu, “tak terjangkau, tak terlihat dan tak terbayangkan.” Karenanya manusia menciptakan sendiri dunia di pikirannya dalam upaya sedikit memahami dunia objektif tersebut. Karena itu pula perilaku manusia tidak didasarkan pada kenyataan yang sesungguhnya, melainkan kenyataan ciptaannya sendiri. (William L. River dll 2003:29)
Kita tak terasa dihadapkan dengan penghujung tahun, ada sebuah buah yang belum ranum tapi dinanti oleh para awak media dan kaum intelektual. Pertama, menjelang Pilkada serentak desember mendatang, kedua, Masyrakat Ekonomi Asean dan terakhir melihat perkembangan perbatasan yang kata punggawa negri jadi prioritas. Buah yang belum ranum ini jarang tampak dijual oleh para awak penyebar isu. Karena buah ranum ini menunggu sebuah momentum untuk siap dijual dipasaran.
Pertanyaannya kenapa hal ini tidak dijual dipasar, memberikan sedikit waktu kepada para penikmat informasi, sebenarnya adalah sebuah hal yang sangat baik. Karena kita memberikan mereka waktu untuk berpikir dan melihat lalu mendefinisikan. Media hanya menangkap hal ini sebagai sebuah momentum untuk dilempar, sehingga masyarakat langsung mendefinisikan tanpa ada melihat sebelumnya. Membiarkan hal ini terjadi adalah sebuah kecelakaan yang fatal, karena kita dengan secara tidak sengaja membentuk sebuah pembelajaran dan menjadikannya sebuah pola yang terus berkembang pada masyarakat. Media condong sebagai kebutuhan dibanding sebagai pengontrol.
Ada sebuah istilah yang dikenal di era 1960-an di AS, yakni pers bawah tanah atau underground press. Ini adalah koran-koran garis keras yang memperjuangkan ideologi tertentu. Sebagian dari koran gelap ini bertiras puluhan ribu exsemplar, khususnya Berkeley barb yang sempat terkenal itu. Pertikaian salah satu pemilik koran tersebut, Max scherr dan para stafnya di tahun 1968 mengungkapkan betapa makmurnya koran seperti ini. Meskipun demikian, bukan berarti koran bawah ini tidak ada artinya sama sekali. Dalam hal tertentu, jurnalisme yang bersifat militan seperti ini muncul karena ada yang tidak dapat dipenuhi oleh jurnalisme konvesional. Koran bawah tanah ini menampung berbagai gagasan atau pandangan yang tak termuat dikoran biasa. Jadi paling tidak, koran jenis ini menawarkan perspektif media baru.
Alternatif media bawah tanah ini tak pernah timbul sejak padam puluhan tahun silam. Kita dihadapkan pada sebuah isu kekinian yang terkadang melupakan subtansi dan prirotasnya sebagai pengontrol. Di zaman yang pandangannya semakin menyempit ini, mengarahkan pada hal-hal yang ingin dibaca pelanggannya. Dalam kondisinya, kian banyak masyarakat yang merasa seperti tidak memiliki media. Thomas Dreyer dari liberation News Service menyebutkan “objektfitas adalah belenggu bagi kami.” Sedangkan Jeff Shero, mantan editor The Rat mengatakan, “kami sengaja bersikap bias. Penulis kami bebas menulis apa saja.”
Ribut kabut asap bukan berarti harus melupakan Pilkada serentak desember mendatang yang nampaknya pekat oleh media sekarang. Carut marut perpolitikan dan ekonomi bukan berarti harus menyampingkan tantangan MEA kedepannya. Media harus membuat itu sebagai buah yang masih muda, berikan itu pada publik dan biarkan mereka membuatnya menjadi ranum dan siap disantap. Arthur Miller mengatakan koran yang baik bagaikan anak bangsa yang berbicara pada sesamanya.