Sejak awal abad ke-20, ketika Indonesia masih berupa sebuah cita-cita, Tiga Serangkai (Eduard Douwes Dekker, dr. Cipto Mangoenkoesoemo, dan Ki Hadjar Dewantara) telah menegakkan cita-cita republik yang mendalam, menegaskan bahwa Indonesia merupakan tempat untuk mereka yang bersedia dan ingin tinggal di dalamnya tanpa ada diskriminasi. Hal ini berarti siapa pun yang bersedia dan ingin tinggal di Indonesia harus mau dan menerima keberagaman yang mengiringi pembentukan bangsa ini menjadi Indonesia. Hingga saat ini pun, diskusi tentang kebinekaan selalu menjadi tema hangat di Indonesia, negeri yang diberkahi ragamnya ras, suku, budaya, agama dan golongan pun menjadi satu kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hanya saja, bingkai Indonesia yang ragam toleran itu akhir-akhir ini sedikit ternoda dengan munculnya berbagai macam diskriminasi gender yang menyepelekan posisi wanita dalam dunia pendidikan. Bahkan di jaman revolusi ini heroisme dan patriolisme wanita pun dianggap hanya terletak di kepalangmerahan saja, selebihnya hanya berkutik di dalam dapur dan melayani keluarga. Mereka tidak sadar bahwa wanita sendiri memiliki peran penting dalam kehidupan Indonesia, melalui wanita, sosok pemimpin bangsa ini dilahirkan.
Padahal jika kita lihat kembali sejarah bangsa di masa kolonial Jepang, kaum wanita Indonesia sungguh tersiksa jiwa raganya. Banyak kaum wanita Indonesia diperlakukan tidak senonoh oleh para serdadu kekaisaran Jepang pada tahun 1942-1945, mereka diperkosa, disiksa secara kejam, dan dipaksa melayani kebutuhan seksual tentara Jepang dari siang hingga malam bahkan dibiarkan untuk kelaparan. Yang lebih kejamnya lagi adalah mereka harus diaborsi secara paksa apabila diduga hamil setelah diperkosa oleh tentara Jepang. Oleh sebab itu, banyak wanita yang mati karena sakit atau pun bunuh diri karena depresi berkepanjangan. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia pada masa era kolonial, sejarah perjuangan kaum wanita Indonesia masih belum tercatat sepenuhnya didalam catatan sejarah bangsa ini.
Baca juga: Perempuan 4.0
Banyak kaum wanita Indonesia yang mengorbankan jiwa dan raganya demi sebuah tujuan murni, yaitu Indonesia bebas dari kekuasaan penjajahan bangsa asing dan memperjuangkan Indonesia yang bebas dari diskriminasi antar ras, suku, budaya, agama dan golongan. Memasuki era kemerdekaan, berbagai organisasi pergerakan di Indonesia mulai bermunculan. Saat itu, kaum wanita juga mulai memberanikan diri untuk berukumpul, menyatakan pendapat, dan berorganisasi. Wanita mulai menyadari pentingnya persatuan, rasa senasib dan sepenaggungan yang menjadikan landasan untuk mereka berjuang mencapai tujuan bersama. Wanita Indonesia pun turun langsung dan terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, mengabdikan seluruh hidupnya untuk kepentingan rakyat dan bangsa ini.
Peranan wanita dalam pergerakan nasional pun sangat banyak cobaannya. Selain membantu usaha kemerdekaan Indonesia, mereka berusaha memperjuangkan derajat emansipasi wanita yaitu memperjuangkan hak yang sama dengan kaum pria seperti hak hidup, pendidikan, pekerjaan, dan derajat sosial yang pada saat itu sangat dicekal masyarakat. Di sinilah kaum wanita membuktikan diri dan memberikan andil yang cukup besar bagi perjuangan bangsa hingga wanita pun diakui oleh masyarakat akan hak yang seharusnya dari dulu mereka dapatkan.
Akan tetapi, begitu mirisnya kehidupan sekarang. Katanya, Indonesia itu untuk mereka yang bersedia dan ingin tinggal di dalamnya tanpa ada diskriminasi. Kata-kata “emansi wanita” yang dulu susah payah diperjuangkan sekarang hanyalah untaian kata biasa. Siapa bilang Indonesia sudah merdeka sepenuhnya? Jika kemerdekaan dan hak wanita diatur oleh segelintir manusia, harusnya kita belum merdeka, karena merdeka haruslah 100%. Asumsi kuno akan tidak perlunya ilmu pendidikan bagi wanita mulai marak bermunculan lagi, alasannya karena pada akhirnya wanita akan menjadi ibu rumah tangga yang jika tidak sekolah tinggi pun tetap akan bisa memasak di dapur untuk keluarganya. Ini yang menjadikan wanita enggan untuk melanjutan pendidikan yang lebih tinggi, memilih untuk langsung menikah, dan menjadi ibu rumah tangga yang mengurus anak-anaknya di rumah.
Baca juga: Katanya Setara? Kok Perempuan Masih Sering Menjadi Korban Seksisme
Hal ini tidak bisa dibenarkan, karena bila wanita mempunyai ilmu dan pengetahuan yang luas, walaupun pada akhirnya akan menjadi ibu rumah tangga justru wanita lah yang akan mempunyai peran penting dalam menghasilkan generasi-generasi yang unggul dan cerdas. Bagaimana ingin mencerdaskan kehidupan bangsa jika menuntut ilmu saja wanita tidak diperbolehkan? Padahal, nantinya wanita akan menjadi sekolah pertama bagi anak- anaknya sehingga bisa membangun generasi unggul, generasi penerus bangsa yang berpendidikan tinggi untuk membangun Indonesia maju, Indonesia yang memberantas diskriminasi dalam mendapatkan hak dan menjalankan kewajiban dengan selayaknya.
Oleh karena itu, peran wanita dalam bingkai persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah berkerjasama dan melaukan kampanye menyuarakan pentingnya menghargai perbedaan untuk merawat kebhinekaan. Wanita sangat berperan penting dalam pendidikan nasionalisme dan pendidikan moral terhadap anak, untuk menghindari radikalisme yang marak terjadi.
Wanita lah yang memiliki peran penting dalam kehidupan Indonesia. Melalui wanita, sosok pemimpin bangsa ini dilahirkan. Jika dalam perjalanannya terdapat beberapa kelompok yang ingin menghancurkan hak wanita, maka sama saja dengan menghancurkan masa depan bangsa ini. Wanita harus melawan, menuntut hak dengan bersuara lantang tanpa ragu, dan melaksanakan kewajiban dengan semestinya.
Wanita harus memerangi kebodohan dan penindasan. Maka jadilah wanita yang berpendidikan untuk mencegah Indonesia dari keretakan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mari kita jaga bersama keutuhan dan kesatuan Negara kita. Jadilah wanita yang berpegang teguh kepada kemanusiaan, karena kebaikan dan keadilan kita yang inginkan bukan karena agama, undang-undang, atau paksaan. Itu adalah pengertian yang humanis. Jadilah wanita yang baik karena nurani, bukan karena sesuatu dari luar.
Penulis: Monica