mimbaruntan.com, Untan – Pemberlakuan Kurikulum Nasional diberbagai satuan pendidikan di Indonesia telah dilaksanakan sejak 26 Maret 2024 lalu. Pemberlakuan ini mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum Merdeka Pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah.
Pemberlakuan kurikulum baru ini menjadi indikator dan sarana peningkatan kualitas serta kapasitas guru-guru dalam mendidik dan menciptakan proses pembelajaran yang menyenangkan serta sesuai dengan cita-cita bersama yaitu pendidikan yang memerdekakan.
Menciptakan proses belajar yang menyenangkan dan kontekstual turut dilakukan oleh Rio Pratama, guru sejarah di SMAN 1 Pontianak. Menurutnya, menjadi guru sejarah kerap kali dihadapkan tantangan tentang paradigma konteks materi yang membosankan baik materinya hingga pengajarnya, hal ini yang membuatnya senantiasa mencari cara menepis stigma tersebut sehingga sejarah menjadi pelajaran yang digemari murid-muridnya.
Mempelajari Sejarah Lokal Melalui Menulis Antologi Cerita Rakyat
Belajar sejarah kerap kali disuguhkan dengan materi-materi Jawa Sentris dan jauh dari jangkauan serta pengetahuan lokal, hal ini menyebabkan ketertarikan siswa dalam belajar sejarah kerap kali menurun karena tidak sesuai dan jauh dari lingkup kehidupannya sehari-hari.
Baca Juga: 26 Tahun Reformasi: Ancaman Demokrasi Semakin Nyata di Depan Mata
Salah satu upaya meningkatkan minat belajar sejarah ini diinisiasi Rio melalui belajar tentang sejarah lokal khususnya dengan projek menulis buku berkaitan dengan tradisi lisan sebagai objek pemajuan kebudayaan dalam materi historiografi sejarah yang merupakan proyek mata pelajaran sejarah yang diampunya di SMAN 1 Pontianak.
“Siswa kelas X yang belajar tentang historiografi (red-menulis sejarah) diajak untuk melakukan observasi dan wawancara tentang OPK khususnya cerita rakyat kemudian menuliskannya. Upaya ini sekaligus cara belajar sejarah lokal dan melestarikan tradisi lisan yang ada di Kalbar,” ungkapnya Rabu, (29/5/20224).
Baca Juga: Saksi Ahli: Tidak Dapat Memastikan Sumber Suara Berasal dari Mulyanto
Ia juga menambahkan bahwa dalam prosesnya, siswa tidak hanya belajar tentang muatan materi tentang historiografi namun juga cara bersosialisasi, kritik sumber, hingga cara menyusun tulisan hingga proses penerbitan buku.
“Adapun hasil dari projek mata pelajaran ini ialah tercetaknya sebuah buku antologi cerita rakyat Kalimantan Barat. Sebuah kebanggan karena mereka sendiri yang menyusun dan memproduksi tulisan cerita rakyat sebagai pelestarian objek pemajuan kebudayaan tradisi lisan yang mulai punah saat ini,” jelasnya.
Memfasilitasi Belajar Berdiferensiasi
Belajar dengan pendekatan bakat dan minat bagi setiap individu menjadi sebuah keharusan yang harus dilakukan oleh guru dalam memfasilitasi siswanya saat ini. Proses belajar berdiferensiasi ini juga turut dilakukan Rio dalam mendidik siswanya di sekolah khususnya dalam projek mata pelajaran menulis antologi buku cerita rakyat Kalimatan Barat ini.
“Kami belajar dengan pendekatan diferensiasi proses dimana setiap individu dapat memilih tugas dan fungsinya dalam proses menyusun dan menerbitkan buku antologi cerita rakyat Kalbar ini, ada yang melakukan observasi dan wawancara, menulis, menjadi layouter, pembuat sampul dan lainnya” tuturnya.
Terakhir, ia berharap agar proses belajar yang dilakukan turut memfasilitasi siswa belajar dengan merdeka serta menjadi bentuk kontribusi dalam melestarikan objek pemajuan kebudayaan berupa tradisi lisan khususnya cerita rakyat yang mulai ditinggalkan generasi muda saat ini.
Press Release SMAN 1 Pontianak