Pada tanggal 21 sd 27 Juli 2016 adalah hari berharga bagi saya karena di antara tanggal tersebut, saya berkunjung ke Kyoto, Jepang dan mengikuti seminar internasional yang diselenggarakan oleh Doshisha University tentang Dampak Perkebunan Kelapa Sawit bagi Pembangunan Ekonomi Regional (23 Juli 2016) dan The Centre for Southeast Asia Study of Kyoto University tentang Dampak Pemanasan Global (25 Juli 2016). Pada kedua seminar itu, penulis menjadi pembicara dan membawakan makalah pada salah satu sesinya.
Dari kunjungan itu, paling tidak terdapat empat pelajaran penting dalam membangun suasana akademik di kedua universitas itu yang tampaknya telah terpola di hampir seluruh universitas di Negeri Sakura. Pelajaran penting tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, kelompok belajar yang terfasilitasi secara kelembagaan. Tenaga kerja di universitas Jepang dibedakan ke dalam tiga kelompok. Pertama, staf akademik yang di Indonesia disebut tenaga kependidikan. Tenaga ini bertugas untuk mengatur perkuliahan; mulai dari menyusun jadwal hingga menginput nilai ke dalam system secara online. Kedua adalah tenaga peneliti yang tugasnya hanya meneliti dan melaksanakan penelitian; tidak hanya penelitian di dalam negeri, tetapi juga ke luar negeri. Ketiga adalah dosen yang bertugas selain mengajar, juga melaksanakan penelitian seperti yang dilakukan oleh tenaga peneliti. Ketika peneliti dan dosen telah melaksanakan riset, mereka kemudian menggelar seminar dengan difasilitasi oleh institusi, dan mengundang rekan-rekan sekerja dengan keilmuan linear. Dengan mudah pula, seminar itu kemudian disebut Seminar Internasional. Sebutan itu tidak harus mengundang peserta dan pembicara dari luar negeri tetapi berdasar pada topik yang dibicarakan; seperti hubungan antar negara, isu-isu global; termasuk peran Jepang dalam percaturan dunia dan regional.
Kedua, kapasitas personal yang memiliki jaringan luas, terbangun secara mandiri dan terlembagakan. Orientasi lokasi penelitian dari seorang peneliti dan atau dosen di Jepang adalah luar negeri. Lokasi penelitian itu dikunjungi secara terus-menerus sehingga terbangun jejaring yang kuat dengan para pihak di akar rumput di wilayah studi. Melalui network tersebut, isu-isu local tersampaikan secara kontinyu kepada mereka dan dari isu itulah topik seminar dirancang sedemikian rupa sehingga membentuk jaringan pada universitas. Contohnya adalah terbentuknya Center for Southeast Asia Studies (CSAS), School of Asian and African Studies (SA2S), School of Global Environmental Studies atau School of Global Environmental Strategies (SGES), Research Center for Plantations in Southeast Asia, the Institute for the Study of Humanities & Social Sciences dan lain sebagainya. Ketika mengundang satu atau dua orang dari kelembagaan-kelembagaan di atas, maka sebutan seminar internasional sudah dapat diberikan. Pola seperti ini tampaknya sudah menggurita dan secara riel, para anggota dari kelompok studi seperti tersebut di atas memang nyata; tidak saja dalam kemampuan oral tetapi juga dalam wujud tulisan. Kita ingin civitas UNTAN juga mampu mengembangkan konsep seperti di Jepang ini untuk mewujudkan Universitas Maju Unggul, Luhur, Integritas dan Akuntabel (MAJU).
Ketiga, melaksanakan seminar atas bahan yang telah di “acceptance” oleh redaksi publikasi ilmiah. Kebiasaan peneliti dan dosen di Jepang adalah menuliskan hasil penelitian mereka dalam bentuk artikel atau jurnal ilmiah. Penulis artikel itu mencari tempat publikasi bagi tulisan mereka. Ketika mendapatkan surat pemberitahuan penerimaan (acceptance) terbit, maka seminar pun digelar. Seminar dimaksud cukup dihadiri oleh 10 – 20 orang yang notabene adalah rekan sekerja dengan keilmuan linear dan dengan memanfaatkan ruang-ruang yang ada pada universitas. Seminar seperti ini dapat mereka sebut seminar internasional ketika isu yang dibahas berkaitan dengan isu internasional dan atau isu regional dan tidak mesti mengundang peserta dan pembicara dari luar Jepang.
Keempat, belajar dari pengalaman dan atau ide mahasiswa. Adalah Profesor Kato Tsuyoshi, professor emeritus dari The Kyoto University yang mengatakan itu pada penulis bahwa dirinya dan juga hampir seluruh dosen di Jepang tidak jarang mendapatkan ide riset dari mempelajari tugas dan pengalaman mahasiswa. Dari sini, professor atau associate professor mengembangkan ide sederhana dari mahasiswa itu menjadi sebuah penelitian lengkap yang berharga jutaan dan bahkan puluhan juta yen (¥ 1,00 = Rp 100,30) dengan pendanaan dari Kementerian Pendidikan Jepang atau Lembaga Donatur di Jepang. Dengan mengembangkan sikap dan karakter “belajar dari semua orang”, sang professor emeritus yang telah berkeliling dunia ini pun mengaku tak pernah kehabisan ide untuk meneliti dan menulis.
Kita kembali ke UNTAN. Dari Renstra Periode 2015-2019; UNTAN ingin menjadi universitas pembelajaran unggul (excellent teaching university); Perjalanan ke arah itu pun sudah dimulai, terlihat dari misi UNTAN, yakni “Menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat secara bermutu sehingga dapat menghasilkan luaran yang mampu mengikuti, mengembangkan dan memajukan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta mampu memberikan arah bagi pengembangan sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing”. Salah satu factor pendukung ke arah itu adalah ketersediaan sumber daya di UNTAN. Dari cerita Jepang di atas pun, pembelajaran kita adalah kualitas dan produktivitas sumber daya manusia. UNTAN saat ini memiliki 944 tenaga pendidik; dengan kualifikasi S1 sebanyak 96 orang, kualifikasi S2 sebanyak 664 orang dan bergelar doctor sebanyak 183 dosen. Dengan komposisi itu, dosen dengan kualifikasi S3 baru mencapai 10%; sementara guru besarnya baru mencapai 2,5%. Ke depan, UNTAN perlu berbenah dengan menyekolahkan dosen ke jenjang S3 sebanyak-banyaknya dan mendorong dosen dengan kualifikasi S3 menjadi guru besar. Disamping itu, dosen UNTAN yang berkualifikasi S3 atau guru besar juga perlu menjadi visiting lecturer dan berkolaborasi riset dengan pihak luar dalam jaringan yang sudah dirintisnya. Kesemua hasil produksi itu dapat dipublikasikan UNTAN melalui berbagai media. Apapun ceritanya, kapasitas UNTAN yang telah ada ini diharapkan dapat terus dikembangkan agar dapat membawa UNTAN menuju Universitas MULIA yang telah digenderangkan sejak 2015 yang lalu. Semoga!
Penulis: Dr. Erdi, M.Si
Dosen FISIP, Tenaga Penatar LP3M UNTAN