mimbaruntan.com, untan – Mewarnai dinamika pergerakan bersama rakyat, berujung pada kejatuhan pemerintahan Seoharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Sejarah tersebut direkam ke dalam sebuah buku yang berjudul “Aldera, Potret Gerakan Politik Kaum Muda” oleh Teddy Wibisana, Nanang Pujalaksana, dan Rahadi T. Wiratama.
Mahasiswa memiliki peranan penting dalam proses jalannya demokrasi dan menjadi gerakan vokal dalam menyuarakan ide, pemikiran kritis serta keberanian terhadap pemerintah. Lahirlah Aliansi Demokrasi Rakyat (ALDERA) sebagai organisasi kaum muda anti-otoritarian yang menentang rezim Orde Baru.
Universitas Tanjungpura (Untan) melaksanakan kegiatan Kuliah Umum dan Bedah Buku “ALDERA: Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999” pada Jum’at (17/2) di Auditorium Untan dan menghadirkan keynote speaker, Pius Lustrilanang selaku Anggota VI Badan Pemeriksaan Keuangan Republik Indonesia (BPK RI), 2 narasumber yang akan membedah buku yaitu Nurfitri Nugrahaningsih selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Politik Untan dan Jumadi selaku Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik (FISIP) Untan
Baca Juga: RKUHP Sah! Kenapa Harus Marah?
Buku ini menceritakan tentang perjuangan ALDERA yang melakukan hal berani berupa perlawanan terhadap rezim Orde Baru pada awal 1990-an. Mereka bergerak dan membangun soliditas sebagai pengontrol dan penentang sehingga para aktivis yang berkumpul, bertransformasi menjadi gerakan politik kerakyatan.
Salah satu bagian cerita dari buku ini menceritakan momen sekretaris jendral ALDERA, Pius Lustrilanang diculik di pintu keluar Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo (RSCM) pada Senin, 2 Februari 1998 yang menandakan bahwa untuk memperjuangkan kebenaran terdapat risiko, namun tekad kuatlah yang mengantarkan mereka sampai pada titik juang.
Topik pertama dibawakan oleh Jumadi dengan topik “Gerakan Politik 90-an dalam Mendorong Proses Transisi Demokrasi di Indonesia”. Menurut kajiannya, kehadiran buku tersebut sangat membantu mahasiswa karena menumbuhkan ingatan historis. Babak pertama dan kedua buku ini menjelaskan sejarah perubahan politik Indonesia, sedangkan babak ketiga menerangkan bahwa ALDERA berkeinginan menjadi Partai Politik namun tidak menjadi kenyataan.
“Kehadiran dari buku Pak Pius ini membantu bagi adik-adik mahasiswa untuk bisa melihat bagaimana peristiwa yang terjadi pada kurun waktu 1993-1999 itu. Secara garis besar, buku ini menceritakan 3 babak. Babak pertama bermula organisasi ini sebagai organ aksi, yang kedua adalah menjadi gerakan politik yang progresif, yang ketiga adalah keinginan ALDERA menjadi partai politik. Syukurlah tidak menjadi partai politik, kalau menjadi partai politik Pak Pius saya rasa tidak seperti sekarang. Walaupun kemudian terlibat dalam partai politik, tidak di ALDERA,” ujarnya.
Baca Juga: Kapal Terkutuk
Pentingnya buku ini memiliki keterkaitan dengan politik di era digital menjadi topik kedua yang disampaikan oleh Nurfitri Nugrahaningsih dalam tema “Aldera dan Komunikasi Politk di Era Digital”. Buku ini sangat penting karena perubahan dunia yang sangat cepat dan minimnya semangat mempelajari sejarah. Banyak sekali kelemahan komunikasi politik di media digital seperti hoax, untuk itu perlu adanya pemikiran kritis dari anak muda agar terhindar dari berita bohong dan black campaign.
“Dengan adanya keberadaan buku ini, jadi sangat penting dan perlu tau sejarah pada masa reformasi dulu. Baca ya adik-adik. Banyak sekali hal-hal yang memperlihatkan kelemahan di komunikasi politik, ada akun hoax dan bagaimana kaum muda bersikap? yang pertama belajar dari ALDERA yang memotivasi pemuda untuk membentuk forum dalam menyuarakan hak. Adik-adik harus mengambil sikap pantang menyerah dan kaum muda diharapkan mengawal demokrasi dengan turun ke jalan atau melalui platform digital harus diperjuangkan serta berpikir kritis,” jelasnya.
Salah satu mahasiswa FISIP Untan, Hendrawan Yulianto mengungkapkan bahwa para narasumber sangat kritis dalam mengkaji buku tersebut dan menjadi nilai penting dimana mahasiswa harus berani menyuarakan pikirannya terutama untuk keadilan kampus, namun kegiatan tersebut dinilai kurang baik dalam segi waktu sehingga materi yang disampaikan tidak dapat sepenuhnya diterima.
“Disini saya mau menanggapi tentang bapak dan pembawa acara yang lain itu sangat kritis dalam membicarakan dan membedah buku tersebut, namun disini saya melihatnya adanya waktu yang sedikit jadi beberapa materi tidak bisa dibawakan dengan penuh. Disini saya dapat hal penting yaitu bagaimana sih mahasiswa itu dapat melihat pergerakan sosial terdahulu, dan harapan saya Untan itu dapat membuat perubahan bukan hanya dari segi teknologi tapi di bidang sosial politik harus ada gerakan-gerakan yang tumbuh dari kampus sehingga membuat mahasiswa lebih sadar,” pungkasnya.
Penulis: Elvira
Editor: Ester