Dalam ulasan kali ini, saya tidak sendiri, ada dua orang lainnya yang turut menyambung pengalaman saya dalam membaca cerpen “Siapa Suruh Sekolah di Hari Minggu?” karya penulis kebanggan tanah Sulawesi, Faisal Oddang.
Saya selalu yakin, ketika menyodorkan karya Faisal Oddang, baik novel ataupun cerpen-cerpennya, tak ada satu orang pun yang memiliki reaksi biasa saja. Decak kagum, tertawa, atau bahkan meringis di akhir cerita, itu adalah respon yang selalu saya dapatkan. Lalu lanjut dengan pertanyaan, “ada tulisan Faisal Oddang yang lain?”
Saya tertawa sambil menyodorkan karya Faisal Oddang yang lain. Tak jarang obrolan pun menyambung untuk saling bertukar pengalaman, menyangkut pautkan latar tempat dan waktu ke tragedi sejarah sana-sini. Memang, Faisal penulis gila dengan riset yang dalam.
Jadi beginilah ulasan dari tiga manusia yang membicarakan bagaimana Rahing, si pembunuh cilik dalam kepala Faisal Oddang.
***
Mara, Jatuh Cinta dengan Karya Faisal Oddang Sejak “Tiba Sebelum Berangkat”
Ini tentang konflik agama, di mana adanya larangan yang keras bagi agama yang beribadah di hari Minggu, sebab judul yang seolah memberi petunjuk bahwa akan ada konsekuensi besar yang harus ditanggung bila tetap “sekolah di hari Minggu”. Saya pikir begitu. Rupanya saya salah besar.
Ini tentang Tentara Jawa dan masyarakat Sulawesi.
Ah, anti Jawa sentris! Faisal selalu membuat saya terpukau dibagian ini, di mana sebagai anak Kalimantan, saya mendambakan sebuah cerita sejarah yang tidak lahir dari sudut pandang Jawa.
Tapi ini bukan permulaan, di paragaraf pertama, dengan sekaligus, Faisal menyodorkan kalimat sederhana dari seorang anak kecil yang mengaku sudah membunuh kakaknya sendiri.
Faisal memang ‘orang gila’, dari paragraf pertama saja emosi dan penasaran mengumpul jadi satu. Menerka untuk paragraph selanjutnya, saya merasa lega ketika sudut pandang berubah menjadi orang ketiga, sebab di sinilah saya akan tahu apa yang terjadi dari lugunya Rahing, si Aku di cerita ini.
Di Paragraf kedua, Faisal menjelaskan permasalahan pelik apa yang Rahing alami sehingga ia berani membunuh kakaknya, walau tak langsung, walau masih membuat saya menerka, tapi terjawab satu hal, bahwa Rahing begitu sebab sang Ayah yang begitu keras menyiksanya. Pelik memang, tapi Faisal berhasil memisahkan antara peliknya kisah dan keluguan Rahing yang masih terjaga dalam cerita.
Jeda, dan berganti lagi sudut pandang, begitu seterusnya, sudut pandang aku dan orang ketiga yang selalu bergantian. Semakin membuat penasaran. Semakin terasa gila, terlebih Faisal bisa bermain dengan isi kepala Rahing, kepala anak kecil yang sedang menahan kantuk, teringat dengan banyak hal, tak bisa fokus pada pembicaraan, dan melakukan apapun demi permen, tak ada keinganan lain selain gulali gula aren.
Hal-hal sederhana dari anak kecil seperti Rahing yang menyukai bola sehingga menendang kepala kakaknya yang terputus sebab mirip dengan bola pun menambah kepolosan sekaligus decak kagum kegilaan yang belum berkesudahan.
Permesta, NII/DII, Kahar Muzakar, Tentara Jawa, 1961, dan teka-teki. Asosiasi kata yang timbul dalam kepala saya ketika semakin larut dalam cerita. Keterlibatan permasalahan personal dari setiap tokoh yang mewarnai sejarah pemberontakan di Tanah Sulawesi. Iya, benar dugaan saya.
Tapi ini lebih pelik dari dugaan itu, cinta, balas dendam, dan pengkhianatan bergumul jadi satu kisah yang tak bisa saya terka hingga akhir kemana jalan cerita ini berhenti.
Dan lagi-lagi harus saya bilang bahwa membaca tulisan Faisal Oddang tak boleh berhenti di tengah jalan, sebab banyak kesalahpahaman yang akan muncul, dan Faisal selalu berhasil membuat saya menghempaskan pundak dengan lemas pada sandaran kursi ketika tahu siapa yang paling salah dalam cerita ini.
Fathana, Perempuan yang Pertama Kali Menyentuh Karya Faisal Oddang
Pikiran saya bertanya-tanya ketika membaca paragraf pertama, lantaran si tokoh utama, Rahing, mengaku bahwa dirinya baru saja menggorok leher kakaknya. Mengapa hal itu terjadi? Mengapa ia bisa melakukannya? Dan berbagai macam pertanyaan lainnya terus-terusan muncul setelah membaca di setiap paragrafnya.
Alur ceritanya yang maju mundur cukup membuat saya bingung awalnya, karena itu saya pun membacanya secara perlahan, sesekali membaca ulang.
Ketika membaca judulnya, awalnya saya berpikir bahwa ini terdapat kaitannya dengan agama. Ternyata ceritanya tidak ada hubungannya dengan agama, melainkan berkaitan dengan permasalahan cinta, pengkhianatan, dan dendam.
Saya juga merasa terbawa ke suasana saat itu ketika menceritakan apa yang terjadi pada ibu Rahing. Terdapat suatu kegiatan yang selalu dilakukan oleh perempuan ketika berpergian demi menjaga diri mereka dari pelecehan, yaitu melumurkan tubuh dan wajahnya dengan arang. Namun tetap diperkosa.
Hal ini menjadi perhatian saya sebab membicarakan pelecehan dan kekerasan seksual tak akan pernah ada habisnya.
Faisal berhasil membuat saya termenung lama usai melahap cerpennya.
Yosi, Manusia yang Akhirnya Jatuh Cinta pada Cerpen Setelah Membaca Faisal Oddang
Sebetulnya ini kali pertama saya membaca cerpen karya Faisal Oddang, awalnya saya sulit menangkap maksud atau jalan cerita yang tertulis di cerpen. Tetapi begitu masuk ke paragraf ketiga cerpen ini berhasil membuat saya penasaran untuk terus membacanya sampai habis.
Cerpen ini menceritakan tentang seorang anak yang belum mengerti apa yang dia lakukan. Ditambah lagi ia menyukai seorang guru yang membuatnya mau mengikuti semua yang dikatakan guru itu terlepas dari benar atau tidaknya. Ia juga membenci ayah dah kakaknya karena menurutnya mereka tidak sayang kepada sang ibu.
Cerpen ini berhasil membuat pembaca hanyut kedalam ceritanya bahkan merasakan apa yang dituliskan, menurut saya sebagai orang awam yang jarang membaca cerpen struktur bahasanya sedikit sulit dimengerti tetapi memiliki makna yang mudah untuk ditangkap. Memiliki karakter yang kuat dalam setiap tulisannya serta membuat pembacanya penasaran untuk terus membaca.
Namun cerpen ini rasanya masih menggantung, seperti ada cerita yang belum selesai. Terlepas dari itu semua cerpen ini cukup baik dengan cerita yang tidak seperti kebanyakan cerpen lainnya.
Penulis: Maratushsolihah, Yosi Rima Rianti, Fathana Nuranti