mimbaruntan.com, Untan- Suara gemuruh meneriaki halaman Sekretariat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Tanjungpura (Untan) oleh puluhan mahasiswa di Kota Pontianak. Teriknya sinar matahari tidak sedikitpun mematahkan semangat para masa aksi demi menegakkan keadilan yang hingga detik ini masih belum terungkapkan.
Dengan almamater beraneka warna, Koordinator Lapangan (Korlap) memandu jalanya aksi derap langkah massa aksi yang berirama menuju kantor Kepolisian Daerah Kalimantan Barat (Polda Kalbar) pada Selasa, (14/6).
Bendera setiap kampus dikibarkan oleh para massa aksi. Bebunyian lagu-lagu perjuangan mengiringi langkah demi langkah pada aksi sore itu. Juga ditambah lirikan para pekerja yang sedang memperbaiki jalan di kiri Jalan Ahmad Yani 2, turut mengawasi langkah massa aksi. Polisi pun ikut menemani dan mengawasi sampai ke tempat tujuan.
Tidak henti-hentinya toak mengeluarkan suara. Suara yang keras itu bersahutan dengan klakson-klakson kendaraan pengguna jalan. Tampak dari kejauhan, sudah ramai polisi yang menunggu di depan gerbang Polda Kalbar. “Hidup Mahasiswa! Hidup!” teriak massa aksi saat kedatangannya di pintu gerbang Polda Kalbar sore itu. mereka datang dengan barisan yang rapat. Gerbang para aparat itu sedikit terbuka menyambut kedatangan mereka.
“Kami mahasiswa Indonesia bersumpah! Berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan!”. Terdengar sepenggal sumpah mahasiswa yang dipimpin salah satu orator sambil mengangkat toa ke langit, memantik Kapolda agar menemui mereka untuk menjelaskan ketidakjelasan yang massa aksi pertanyakan.
Syafaruddin, Korban Tindak Semboronohnya Kekuasaan
Syafaruddin (almarhum) adalah mahasiswa Politeknik Negeri Pontianak (Polnep) yang turut mengawasi berjalannya laporan pertanggungjawaban Gubernur Kalimantan Barat 22 tahun silam, Mayjen Aspar Aswin. Ketika menjalani aksi Syafaruddin tewas tertembak oleh aparat yang sedang berjaga mengamankan aksi, tepat pada tanggal 14 Juni 2000. Hingga sekarang, kasus yang umurnya melebihi dua dasawarsa ini belum menemukan titik terang.
“Sebetulnya kami tidak menuntut apa-apa kepada kepolisian Kalimantan Barat. Kami hanya menanyakan bagaimana perkembangan kasus abang kami, Syafaruddin. Kami hanya menanyakan saja Kapolda tidak menghiraukan kami, apalagi jika kami menuntut untuk kasus ini diungkapkan,” ucap Rio Ferdinand selaku koordinator lapangan
Tetapi Rio juga berharap kasus Syafarudin dapat segera terungkap. Hal ini serupa dengan apa yang diucapkan Noriya,orator yang mewakili suara perempuan pada aksi hari itu. Mahasiswa yang memakai almamater biru tua ini berharap agar Kapolda segera menemui massa aksi dan segera menindaklanjuti kasus.
“Aksi kami pada hari ini merupakan simbol dari ketidakadilan, kami berorasi hampir 2 jam tapi tidak membuahkan hasil. Ya kami minta hanya satu, bertemu dengan Kapolda” ucap Noriya dengan wajah sedikit kesal.
Adapun Adong, penulis dari buku Juni Berdarah turut serta menghadiri aksi. Posisi laki-laki berambut gondrong itu saat ditemui, tidak bergabung dalam rapatnya massa aksi. Layaknya pengamat ia mengawasi jalannya aksi.
Menurut Adong, pihak kepolisian tidak perlu merasa khawatir adanya gerakan demonstrasi mahasiswa sore itu. Sejatinya, mahasiswa hanya ingin menanyakan sudah sejauh mana kasus tersebut ditelusuri. Ia pun berharap agar Kapolda atau pejabat yang mengetahui tragedi ini turut hadir dan buka suara.
“Menurut saya tidak salah mereka hadir untuk menyampaikan fakta-fakta yang sudah mereka temui terhadap kasus penembakan Syafarudin, karena dengan menemui mahasiswa, hasrat atas pertanyaan yang timbul (akan) terjawab,” tutur Adong dengan suaranya yang lantang
Ia pun menyinggung mengenai kondisi keluarga Syafarudin. Adong mengaku beberapa bulan setelah bukunya dirilis, ia sempat menemui keluarga Syarifuddin di Singkawang. Hingga saat ini, pihak keluarga masih terus mempertanyakan sudah sejauh mana penanganan kasus tersebut, karena mereka tidak pernah mendapat kabar hasil penyelidikan polisi.
Belum Adanya Kejelasan dari Pihak Polda Kalbar
Orator demi orator bergantian menyuarakan orasinya. Negosiasi-negosiasi tidak henti-hentinya ditawarkan. Hingga pihak kepolisian menawarkan, bahwa hanya salah seorang mahasiswa saja yang diperkenankan masuk ke dalam gerbang. Mendengar hal itu salah satu mahasiswa menyahut, tidak terima. Menurutnya semua massa aksi adalah perwakilan dari suara Syafarudin yang diabaikan haknya.
“Kami perwakilan, kami semuanya masuk!” teriak salah satu massa aksi dengan berang.
Namun tawaran itu pun tak membuahkan hasil. Kedua belah kubu tetap kekeh dengan pendiriannya. Sorakan-sorakan dari massa aksi tidak terhindarkan karena Kapolda tidak mau menemui mereka. Para pengguna jalan raya sibuk menghadapkan kepalanya ke kiri untuk sekedar melihat atmosfer yang dibuat massa aksi di depan gerbang Polda Kalbar.
Langit menampakkan tanda, menuju waktu senja buta. Namun tanda-tanda akan bertemunya massa aksi dengan Kapolda belum bisa direalisasikan. Akhirnya seluruh massa aksi bergeser menuju tulisan besar Kepolisian Negara Republik Indonesia. Mereka berdiri di depan tulisan tersebut, sambil memegang poster dan bendera dari masing-masing kampus.
“…Apabila dalam waktu 7×24 jam kami tidak mendapat kabar atas kasus ini, maka kami akan datang di kemudian hari dengan eskalasi massa yang jauh lebih besar!,” tutup orator menyelesaikan aksi pada hari itu, sambil menjunjung kertas merah di tangan kanan.
Reporter : Lulu, Vania, Wynona, Putri
Penulis : Putri dna Wynona
Editor : Monica