mimbaruntan.com, Untan – Siang itu, terik matahari terasa menyengat kulit. Di teras rumahnya, Iskandar duduk sambil menatap senampan pisang yang terhidang di depannya pisang segar hasil panen dari kebunnya. Pria yang telah menggeluti profesi sebagai petani sejak tahun 1990 ini tinggal di Desa Harapan Mulia, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara.
Pada awalnya, pisang bukanlah komoditas utama yang diusahakannya. Saat itu, pemasaran pisang belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup ia dan keluarganya. Iskandar memulai profesinya sebagai petani dengan menanam padi dan durian.
“Waktu tu buka lahan, hutan dibuka buat tanam padi, tanamnya sekalian tanam durian. Ketika pisang ni pemasarannya udah mulai lancar di sekitar Ketapang, mereka sini (petani Desa Harapan Mulia) tertarik tanam pisang karena bantu perekonomian mereka itu kan lebih cepat,” ucapnya.
Di tengah obrolan, Gangga ikut bergabung dan menyambung pembicaraan. Sama seperti Iskandar, ia juga seorang petani di Desa Harapan Mulia.
“Itulah masalahnya, di sini kalau harganya belum tinggi, kadang-kadang banyak pohon yang ditebang karena pemasarannya belum ada,” ujarnya.
Gangga juga menjelaskan bahwa cuaca memiliki peran penting dalam keberhasilan panen pisang. Musim kemarau yang berkepanjangan sering kali berdampak buruk pada hasil panennya.
“Pisang ini kalau musim kemarau jarang berbuah, jeda waktu untuk berbuahnya jadi lebih lama. Pertumbuhannya lambat karena panas tadi. Kalau biasanya seminggu bisa dapat 400 ribu, pas kemarau panjang begini nggak sampai segitu,” ungkapnya.
Baca Juga: Tantangan Petani: Profesi & Lahan Tergerus
Pada kesempatan lain, Mat Jais, seorang petani dari Kampung Batu Teritip, Desa Harapan Mulia, menceritakan kisahnya. Kampung ini memiliki keunikan tersendiri di depan rumah Mat Jais terbentang kawasan Taman Nasional Gunung Palung (Tanagupa), sementara di belakang rumahnya terlihat hamparan laut lepas.
Perjalanan dari rumahnya ke kebun yang terletak di kawasan Gunung Palung memakan waktu sekitar satu jam. Mat Jais mengelola kebun seluas 4 hektar bersama istri, anak, dan menantunya. Ia telah menekuni profesi ini selama dua puluh tahun, dengan pisang sebagai tanaman utama pada awalnya.
Setiap pagi dan sore, Mat Jais atau istrinya pergi ke kebun untuk merawat tanaman sekaligus membersihkan area dari rumput liar. Selama musim kemarau, Mat Jais mengatakan ancaman kebakaran selalu mengintai.
“Pagi sama sore pasti naik ke kebun. Bersihkan rumput-rumput liar. Apalagi musim kemarau begini, harus waspada juga dengan api. Dulu sering kebakaran kalau kemarau panjang,” jelasnya.
Tak hanya kebakaran, berbagai bencana alam juga kerap melanda sejumlah desa di Kayong Utara dalam beberapa tahun terakhir. Dilansir dari Suara Kalbar, pada tahun 2021, hujan deras yang berlangsung terus-menerus menyebabkan banjir besar dan tanah longsor. Lokasi longsor diketahui berada di kebun masyarakat yang terletak dalam kawasan Taman Nasional Gunung Palung (Tanagupa).
Bencana serupa juga pernah terjadi pada tahun 2017, ketika banjir melanda Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara. Berdasarkan laporan Antara Kalbar, banjir tersebut berdampak pada sedikitnya 7.134 jiwa di wilayah tersebut.
Melihat berbagai bencana yang terjadi, Mat Jais mengungkapkan bahwa ia dan para petani di Desa Harapan Mulia kini lebih peduli terhadap lingkungan. Mereka bersama-sama menjaga hutan dengan menerapkan sistem budidaya yang berkelanjutan dan merawat kebun secara teratur.
“Sekarang ini bencana sudah jauh berkurang karena orang-orang di sini sudah mulai merawat kebun dan saling menjaga. Jadi, hutan pun ikut terjaga. Kan hutan dan hasil kebun itu yang memberi kita makan, makanya harus dijaga betul-betul,” tutur Mat Jais
Iskandar, Gangga, dan Mat Jais kini tidak hanya mengusahakan pisang untuk kebutuhan sehari-hari, tetapi sejak tahun 2019 mereka mulai menanam pohon buah di kebun mereka. Pohon-pohon tersebut merupakan tanaman asli kawasan Taman Nasional Gunung Palung (Tanagupa), seperti jengkol, petai, langsat, cempedak, dan durian, yang hasil buahnya dapat dijual.
Selain pohon buah, mereka juga menanam pohon kayu khas Tanagupa seperti ubah, meranti, tengkawang, dan belian. Namun, pohon-pohon kayu ini bukan ditanam untuk diambil hasil kayunya, melainkan untuk mengembalikan hutan yang sebelumnya terbuka akibat berbagai aktivitas, termasuk pertanian.
Apa yang dilakukan oleh Iskandar, Gangga, dan Mat Jais merupakan contoh nyata peran masyarakat dalam upaya konservasi lingkungan. Menurut Nurhilmiah et al. (2021), konservasi lingkungan dan pengelolaannya adalah tanggung jawab bersama. Konservasi ini menjadi pendekatan penting dalam melindungi keanekaragaman hayati dan memastikan keberlangsungan ekosistem. Tujuan utamanya adalah menjaga kondisi lingkungan yang stabil, mempertahankan keseimbangan alam, dan mencegah kepunahan spesies dengan melestarikan keanekaragaman hayati serta memperbaiki fungsi ekosistem.
Penelitian Tanur et al. (2024) menunjukkan bahwa kegiatan penanaman pohon berkontribusi besar pada restorasi hutan dan pelestarian lahan hijau. Penghijauan ini membantu mengurangi jejak karbon, meningkatkan kualitas udara, serta memperbaiki ekosistem yang rusak. Innah (2022) juga menekankan bahwa keberhasilan restorasi hutan sangat bergantung pada pemanfaatan flora asli sebagai bagian utama dari proses pemulihan.
Dilansir dari Interfaith Forest, restorasi hutan tidak hanya memberikan manfaat ekologis tetapi juga sosial dan ekonomi. Restorasi ini dapat meningkatkan hasil hutan yang dapat dimanfaatkan atau dijual oleh masyarakat lokal, mendukung ketahanan pangan dan air, melindungi kesehatan manusia, serta membantu masyarakat beradaptasi dan memitigasi dampak lokal dari perubahan iklim
Dampak ekonomi dari restorasi hutan dirasakan langsung oleh Mat Jais. Alih-alih mengalami kerugian, ia justru melihat produktivitas kebunnya meningkat dan penghasilannya bertambah setelah mulai menanam pohon buah dan pohon kayu secara bersamaan. Kebun seluas 4 hektar yang sebelumnya hanya menghasilkan satu juta rupiah per panen, kini dapat menghasilkan tiga hingga empat juta rupiah setiap kali panen.
Baca Juga: Balada si Rudi, Pemuda dari Ufuk Barat Kalimantan
“Kalau dulu hasilnya paling cuma satu juta, nggak memuaskan. Tapi sekarang jauh lebih memuaskan, bisa sampai tiga atau empat juta. Pohon kayu yang saya tanam ini juga membantu menaungi tanaman lainnya. Jadi ada tanaman yang menghasilkan, dan ada juga yang menjadi penaung untuk melindungi pohon buah tadi,” jelasnya.
Bibit pohon buah dan pohon kayu yang ditanam oleh Iskandar, Gangga, dan Mat Jais mereka peroleh melalui program Garden to Forest (GTF) yang diinisiasi oleh Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI). Hendriadi, Koordinator Reboisasi ASRI, menjelaskan bahwa program ini bertujuan untuk merehabilitasi lahan terbuka sekaligus mendukung perekonomian masyarakat melalui praktik agroforestri.
“Garden to Forest ini adalah konsep yang ASRI gunakan untuk merehabilitasi kawasan yang sebelumnya menjadi kebun masyarakat. Jadi, masyarakat yang bergabung dengan GTF kami berikan bibit pohon buah dan pohon kayu agar kawasan tersebut kembali memiliki tegakan pohon,” ujar Hendriadi.
Untuk setiap satu hektar kebun yang dimiliki masyarakat, ASRI memberikan bantuan sebanyak 625 bibit, dengan komposisi 60 persen pohon buah dan 40 persen pohon kayu. Program ini dilaksanakan di dua desa di Kecamatan Sukadana, yaitu Desa Harapan Mulia dan Desa Gunung Sembilan.
“Dalam satu hektar 625 bibit. 60 persen pohon buah, 40 persen pohon kayu. Nah konsep yang dipakai itu agroforestri di Desa Harapan Mulia dan Desa Gunung Sembilan,” terangnya.
Di sisi lain, Himawan Sasongko, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Palung (Tanagupa), menjelaskan bahwa program Garden to Forest (GTF) merupakan salah satu langkah untuk menyelesaikan konflik terkait penggunaan lahan di kawasan Tanagupa oleh masyarakat.
“GTF sebenarnya adalah salah satu cara untuk meresolusi konflik penggunaan areal kawasan Tanagupa dengan masyarakat yang telah berlangsung sejak lama. Program ini cocok untuk menjembatani kepentingan masyarakat, yang secara turun-temurun bertani di kawasan tersebut, dengan kepentingan pelestarian lingkungan,” jelas Himawan.
Lebih lanjut, Himawan menekankan pentingnya memberikan solusi jangka panjang agar masyarakat tidak sepenuhnya bergantung pada lahan hutan di masa depan.
“Tanagupa harus mampu memberikan jalan keluar bagi kebutuhan masyarakat secara bertahap dalam jangka waktu tertentu, sehingga kawasan ini bisa kembali menjadi hutan seperti yang kita harapkan bersama. Kami, bersama ASRI, juga mengedukasi masyarakat agar memiliki sumber penghasilan alternatif, sehingga di masa depan mereka tidak lagi sepenuhnya bergantung pada lahan hutan,” tutupnya.
Penulis: Vanessa
Editor: Uis
Referensi:
https://kalbar.antaranews.com/berita/349538/sekda-7134-jiwa-terdampak-banjir-di-kayong-utara
Nurhilmiah, M., Dadi, Kustiawan, A. 2021. Identifikasi Persepsi Masyarakat Kuta tentang Konservasi Lingkungan. Jurnal Pendidikan, 9(1).
Tanur, E. A., Marwa, J., Beljai, M., Prasetyawan, H., Wijaya, D. S., May, N. L., Worobai, D., Mofu, W. Y., Rahmadaniarti, A., dan Anggrianto, R. 2024. Inspirasi Konservasi Lingkungan Melalui Kegiatan Penghijauan di Sekitar Batalyon Infanteri 761/Ka Warmare Distrik Warmare Kabupaten Manokwari. Jurnal Pengabdian Masyarakat, 4(2).
Innah, H. S. 2022. Restorasi Hutan dengan Jenis Flora Asli dan Endemik Kalimantan pada “Forest City” IKN Nusantara Guna Mendukung Ketahanan Nasional. Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia.