mimbaruntan.com, Untan – Perempuan kelahiran 6 Juni 1998 silam ini, bernama lengkap Rizky Dwi Amalia. Ia lebih akrab disapa Lia. Saat ini, Lia sedang menimba ilmu di jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Untan angkatan 2016.
Bagi mahasiswa baru, babak awal perkuliahan adalah belajar untuk mengenal lebih jauh tentang dunia kampus, sementara bagi Lia menjawab mimpinya untuk ke luar negri walau masih dengan status mahasiswa baru adalah sebuah keberuntungan luar biasa. Setelah mengikuti interview AIESEC, ia lolos seleksi untuk menjadi global volunteer di Thailand. Kegiatan tersebut berlangsung selama enam minggu terhitung sejak 11 Januari 2017 lalu. Lia tertarik untuk menjadi sukarelawan di bidang projek edukasi karena baginya pendidikan itu sangatlah penting. “Bagiku, pendidikan itu penting. Perempuan sekalipun tetap harus berpendidikan tinggi, biarpun ujung-ujungnya balik ke dapur tapi tetap harus cerdas,” ungkapnya, Selasa (2/5).
Enam minggu, Lia menyulap diri menjadi seorang guru bahasa Inggris jenjang Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama di Nakhon Sawan,Thailand .Ia selalu merancang konsep belajar yang mencerdaskan tapi tetap menyenangkan. Menurutnya, siswa di sana cenderung lebih suka belajar lewat video, gerakan, lagu, dan permainan dibandingkan suguhan teori-teori. Menjadi seorang guru bahasa Inggris di Thailand cukup menantang bagi Lia, karena Thailand tidak menggunakan alfabet layaknya di Indonesia sehingga lebih sulit mengajarkannya.
Kelelahan mengajar tak mampu menghalangi semangat dan antusias seorang Lia, apalagi setelah melihat perkembangan siswanya yang kian hari kian meningkat. Dari yang awalnya malas-malasan hingga akhirnya menjadi lebih semangat belajar bahasa Inggris karena motivasi ingin berbicara dengannya.
Lantas bagaimana Lia dapat beradaptasi dengan lingkungan Thailand yang berbeda dari Indonesia? Awalnya kendala selama berada di Thailand adalah dalam hal komunikasi, mengingat bahwa secara bahasa dan logat bicara Thailand berbeda jauh dari Indonesia. Namun Lia yang hobi belajar bahasa asing ini tidak menyerah begitu saja. Ia mendownload aplikasi bahasa Thailand dan mencoba belajar lewat internet, alhasil ia bisa mengerti bagaimana penggunaan bahasa Thailand yang identik dengan “berbeda nada bicaranya berbeda pula maknanya”.
Tidak hanya mengenai komunikasi, Lia juga menyesuaikan diri dengan makanan dan lingkungan di Thailand. Ia tidak mengeluh karena tekadnya utuh, ia datang untuk menjadi sukarelawan dan mencetak pengalaman mengesankan bukan mengutuki keadaan.
Selama di Thailand, Lia mengaku terkesima dengan kebaikan hati dan keramahan guru serta siswa-siswanya. Hari terakhir di Thailand, siswanya memberikannya boneka, makanan, dan kado-kado yang menggemaskan. Guru-guru di sana juga seringkali memberikannya makanan tradisional, menjelaskan nama-nama makanan, dan bahkan mengajaknya jalan-jalan ke festival.
Lia mendapatkan begitu banyak pengalaman berharga selama menjadi guru di Thailand. Ia senang dapat mengabdi kepada masyarakat, membandingkan secara nyata pendidikan Thailand dan Indonesia, bahkan mengubah mindsetnya untuk jadi seseorang yang lebih berfikir terbuka dan peka. “Aku jadi lebih mengerti, orang itu punya 1001 sifat dan perilaku. Aku jadi lebih memahami, tentang kenapa orang itu begitu, bukan hanya sibuk menjudge dengan satu sudut pandang.” Ujarnya dengan senyum merekah.
Lia berpesan agar semua orang harus mengubah rasa takut menjadi keberanian yang berenergi positif dan berkarakter. “Jangan takut keluar dari comfort zone. Kalau kita stuck di dunia yang menurut kita nyaman maka kita ndak akan tau tentang gimana lebih asiknya ketika kita keluar dari zona itu. Walaupun memang itu challenge bakalan worth it kok, gak nyesel dan kita bisa improve diri kita,” ungkapnya.
Penulis : Sekar Aprilia Maharani
Editor : Wirza Rachman