Ada yang bilang bahwa rindu itu indah, mengajarkan kita akan makna sebuah jarak dan betapa berartinya perjumpaan. Tapi setelah perpisahan itu, aku tak pernah memimpikan pertemuan, ku rasa lebih tepatnya aku tak layak memimpikan pertemuan itu, aku tak pantas. Rindu yang sembunyi-sembunyi begini bukannya indah , malah membuat hati teriris. Rindu yang sembunyi-sembunyi adalah rindu yang tak diungkapkan, tapi dikirim lewat doa, pertanyaannya apa orang sepertiku masih pantas berdoa? Apa Maha Pencipta masih mau mendengar doa pendosa seperti aku? Ah aku tak tau, di dengar atau tidak aku tetap saja mengatakan pada-Nya bahwa aku merindukan anak perempuan mungil yang pernah dititipkan-Nya pada rahimku selama 9 bulan itu. Kadang aku juga bertanya pada-Nya mengapa padaku anak perempuan tanpa dosa itu dititipkan, mengapa dariku ia harus terlahir di dunia ini. Aku bahagia, tapi aku tak sampai hati bila ia harus menganggapku sebagai ibunya, aku tak layak memperkenalkan dunia padanya, aku tak layak mengajarkannya perihal hidup dengan suka cita dan kebaikan. Aku takut akan membawanya ke jalan yang salah, bahkan aku tak berani menjawab bila ia bertanya ‘siapa ayahnya?’ sebab aku tak tahu dari benih pria mana anak malang ini berasal.
Setelah 16 tahun berlalu, pasti kini ia sudah remaja, ia sudah seumuran aku saat aku melahirkannya dulu. Ingin rasanya ku buatkan dia kue ulang tahun, menyanyikannya lagu selamat ulang tahun, dan ia akan memejamkan mata sambil membuat harapan kemudian meniup lilin yang ada diatas kue, sungguh indah saat dibayangkan, tapi begitu perih untuk menyadari bahwa hal ini tak akan pernah terjadi. Biarlah rindu ini memelukku dengan duri-durinya yang menyiksa, dibanding aku harus melihat putri jelitaku dengan pilu menanggung malu bilamana orang-orang akan mengejeknya, meneriakinya ‘anak pelacur tak berbapak’. Maafkanlah aku sebab kau harus lahir dari perempuan bernoda yang hina ini. Aku tak ingin anakku jatuh pada lubang dosa yang sama denganku, itu sebabnya ku titip dia di Panti, walau ia akan dikenal sebagai anak yatim piatu, bagiku akan lebih baik dari pada ia harus di kenal sebagai anak pelacur.
Aku tak menyalahkan siapa pun atas apa yang kualami, tak menyalahkan ayahku yang menelantarkanku bersama ibu , tak menyalahkan ibuku yang kehilangan arah hidup hingga semakin merusak hidupnya.
“Han” suara ibu memecahkan lamunanku yang sedari tadi memandangi foto bayiku yang lahir 16 tahun yang lalu itu.
“Iya kenapa bu?”
“Cucuku sekarang pasti sudah gadis ya, dia pasti tumbuh cantik dan pintar” ujar ibu sembari duduk di sampingku.
Ibu mengambil tangan kananku, menggenggamnya dengan kedua tangannya, menatapku sebentar, kemudian pandangan matanya mengarah ke bawah.
“Han, maafkan aku, maaf kau harus lahir ke dunia ini dari perempuan kotor seperti aku, maaf karna semasa mudamu kau harus menerima luka-luka yang pastinya itu sangat menyakitkan bagimu, kau harus mengurusku yang mabuk setiap malam, kau harus melihat kelakuan menjijikanku bersama suami-suami wanita lain, kau hanya berada dalam lingkaran dunia yang menjijikan, dan karna aku juga kau malah mengalami nasib yang sama denganku, aku tak pantas kau sebut ibu Han”. Ibu mulai bercucuran air mata dan tubuhnya gemetar. Aku pun tak sanggup menahan tangis, ku peluk erat tubuhnya yang semakin hari semakin kurus ini. Aku tidak tahu harus mengatakan apa, harus sok kuat tapi aku sangat rapuh, apa yang ibu rasakan juga aku rasakan saat ini, bedanya ibu bisa bersamaku, tapi aku tidak bisa bersama anakku.
Ah tidak, aku tidak boleh menumpahkan airmataku di hadapan ibu, ibu akan semakin menyalahkan dirinya, ia akan semakin mengutuki dirinya. Aku menjaga hati dan semangat orang lain, berarti mesti sebisanya menutupi lubang-lubang perih pada diriku, yaa seperti berbohong demi kebaikan, tapi apakah ada kebohongan yang baik? Jika begini, apa selama ini aku sedang tidak menjadi diri sendiri? Ah tidak tidak, pertanyaan itu nampak seperti aku tak bisa menerima sebagaimana adanya diriku. Sudahlah, semuanya terlambat, percuma mengandaikan sesuatu yang sudah lewat, waktu tidak akan bisa diputar kembali, gelas-gelas yang sudah dipecahkan tetap akan meninggalkan bekas walau diperbaiki.
Penulis : Reza Pangestika