mimbaruntan.com, Untan – Pada 12 Mei 1998, terjadi sebuah tragedi penembakan yang dilakukan oleh aparat tepat di kampus Trisakti yang menyebabkan empat mahasiswa Trisakti harus gugur dalam perjuangan meruntuhkan rezim Orde Baru. Keempat Mahasiswa Trisakti yang gugur yaitu Elang Mulya Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendrawan Sie.
Tragedi penembakan ini bermula ketika para demonstran akan melakukan aksi damai oleh Civitas Akademik Trisakti yang terdiri dari Guru besar, Dosen, Karyawan Universitas Trisakti dan mahasiswa. Sekitar 6000 orang berkumpul di parkiran kampus Trisakti yang rencananya akan menuju ke Gedung DPR RI. Sebelum turun ke jalan, massa aksi melakukan serangkaian penurunan bendera merah putih setengah tiang, orasi dan mimbar bebas untuk menuntut turunnya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan rezim Orde Baru yang telah berlangsung selama 32 tahun yang sangat menyesakkan rakyat akibat maraknya praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan perekonomian mengalami kemerosotan akibat krisis moneter.
Setelah orasi dan mimbar bebas telah selesai dilakukan, suasana menjadi begitu panas karena di luar kampus Trisakti telah dijaga oleh beberapa aparat keamanan. Massa aksi damai tetap bergerak menuju gedung DPR RI, tetapi pergerakan mereka harus terhenti di depan pintu masuk kantor Walikota Jakarta Barat karena dihadang oleh barikade aparat yang dilengkapi dengan tameng dan pentungan.
Hendra selaku Ketua Senat Mahasiswa Universitas Trisakti (SMUT) mencoba untuk melakukan negosiasi kepada pihak aparat untuk memperbolehkan para massa aksi menuju gedung DPR RI sementara massa aksi mencoba berusaha menerobos barikade aparat.
Karena negosiasi berlangsung begitu lama, massa kemudian duduk di jalan dan melakukan orasi dan mimbar bebas secara spontan di jalan dan para mahasiswi memberikan sepucuk bunga kepada para aparat yang berada di depan.
Negosiasi baru tercapai sekitar mendekati jam 17:00 wib, dengan hasil yang disepakati massa aksi dan aparat keamanan bersama sama mundur.
Para demonstran begitu kecewa terutama para mahasiswa karena aksi yang dilakukannya adalah aksi damai dan aparat hanya beralasan jika aksi turun ke jalan dianggap menganggu lalu lintas. Awalnya para mahasiswa menolak untuk bubar, tetapi akhirnya dibujuk oleh ketua SMUT dan seorang Dekan Fakultas Ekonomi dan Dekan Fakultas Hukum.
Massa aksi mundur secara perlahan – lahan begitupun aparat, akan tetapi ada seorang aparat mengejek dan melontarkan kata kata kotor menyebabkan beberapa mahasiswa sempat terpancing tetapi direndam oleh SMUT.
Baca Juga: Dua Puluh Dua Tahun Tidak Ada Kejelasan Hilangnya Aktivis Reformasi 1998
Pada saat itu hujan deras terjadi, tiba tiba ada aparat dari barisannya melakukan penembakan dan pelemparan gas air mata yang membuat massa aksi menjadi panik. Aparat melakukan penembakan secara membabi buta, pelemparan gas air mata di hampir setiap sisi jalan, pemukulan dengan pentungan, penendangan, penginjakkan, serta terjadinya pelecahan seksual terhadap para mahasiswi. Sedangkan ketua SMUT yang berada tidak jauh dari aparat tertembak sebanyak dua peluru karet di pinggang sebelah kanan.
Dilansir humas.trisakti.ac.id para mahasiswa berlarian secara tidak teratur dan berhamburan untuk menuju kampus sebagai tempat berlindung dikejar oleh pasukan bermotor aparat dengan rompi yang bertuliskan URC (Unit Reaksi Cepat) melakukan penyerbuan dan terus menembak peluru tajam ke arah mahasiswa, juga terdapat aparat yang berada di atas jembatan layang mengarahkan tembakannya ke arah mahasiswa yang berlarian di dalam kampus sementara sebagian aparat membentuk formasi dan siap menembak di depan pintu gerbang kampus Trisakti karena para mahasiswa berada di jendela gedung kampus melakukan pembalasan. Akibat kejadian ini menyebabkan 4 mahasiswa gugur dan 15 mahasiswa luka luka dan beberapa lainnya dalam kondisi kritis.
Dari kejadian tersebut menjadi pertanda perlawanan mahasiswa dalam meruntuhkan rezim Orde Baru dan menuntut reformasi semakin besar. Tindakan represif dari aparat yang sangat melanggar HAM berat telah meninggalkan luka mendalam dalam tragedi ini dan masih terus diusut tuntas sampai sekarang demi terwujudnya keadilan.
Meskipun Orde Baru telah runtuh dan digantikan masa reformasi yang sudah memberi kebebasan berpendapat di muka umum karena menjadi bagian suara rakyat kepada pemerintah. Namun, dari waktu ke waktu seringkali demontrasi mendapatkan tindakan represif yang dilakukan oleh aparat yang selalu menjadi sorotan publik karena mereka yang menangani bentuk-bentuk segala massa aksi dari mahasiswa maupun masyarakat untuk menyampaikan aspirasi kepada pemerintah.
Dalam konteks ini, misalnya menurut Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dari tahun 2018 – 2019 angka pelanggaran tercatat ada 643 peristiwa massa aksi di Indonesia terdapat tindakan represif aparat yang tidak kompeten terhadap demonstran dalam penggunaan kekuatan yang berlebihan dan semena-mena seperti penembakan, penyiksaan, penganiayaan dan penangkapan yang sewenang wenang. Hal ini juga dikarenakan tidak sedikitpun dipengaruhi oleh situasi politik dalam negeri.
Baca Juga: Menilik Kinerja Satgas PPKS Untan: Nihil Terima Laporan
Dengan kasus-kasus demikian, pemerintah sudah seharusnya menjamin akses dan keamanan atas seluruh bentuk penyampaian aspirasi publik yang dilakukan secara damai, yang dalam hal ini menjamin hak setiap orang untuk berkumpul, berpendapat, dan berekspresi sebagaimana dijamin dalam pasal 28E ayat (3) UUD RI 1945, pasal 2 UU 9/1998, dan pasal 23 ayat (2) UU 39/1999. Tetapi jika aparat masih terus melakukan tindakan represif akan membuat penyampaian dan kebebasan dari rakyat dikekang dan dibungkam ini menjadi arti bahwa negara ini sudah terlalu jauh melenceng dari kaidahnya.
Padahal dari aparat juga ada aturan terhadap larangan melakukan kekerasan terhadap massa aksi dan bersikap humanis yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Kapolri No.16 tahun 2006, meskipun sudah ada peraturan tetapi hal ini banyak dilanggar oleh aparat sendiri hingga detik ini yang beralasan para demonstran melakukan aksi provokasi, adanya tindakan anarkis, melakukan penyerangan, menganggu ketertiban, dan sebagainya masih mereka utarakan sebagai pembenaran dalam tindakan represif.
Kritik demi kritik seharusnya dihidupkan, dan pemerintah mesti mengakomodir jaminan keamanan terutama untuk membenahi dan menghilangkan sikap represif aparat atas hal tersebut agar kejadian tragedi Trisakti 1998 dan kejadian kejadian massa aksi yang serupa lainnya yang sudah terjadi tidak terulang kembali.
Penulis : Judirho
Editor : Putri
Referensi:
- Tim Redaksi Tempo. Oposisi: menengok Gerakan Mahasiswa Mengawali Kejatuhan Presiden Soeharto. Tempo Publishing
- Siaran Pers Senat Mahasiswa Trisakti dan Arsip berita Kompas 13 Mei 1998
- https://amp.kompas.com/tren/read/2022/05/12/093000965/sejarah-tragedi-penembakan-mahasiswa-trisakti-12-mei-1998
- https://www.neliti.com/id/publications/345726/tindakan-represif-aparat-kepolisian-terhadap-massa-demonstrasi-pengamanan-atau-p
- https://amp.kompas.com/nasional/read/2022/06/30/17385421/kontras-ada-45-tindakan-represif-polisi-saat-aksi-massa-mayoritas-korban
- https://www.jawapos.com/kasuistika/amp/01369157/tindakan-represif-aparat-terhadap-warga-wadas-dinilai-melanggar-ham
- https://humas.trisakti.ac.id/museum/sejarah-reformasi-12mei/