mimbaruntan.com,Untan- Merahjingga merupakan band indie yang berasal dari Kota Pontianak. Mengusung haluan musik kontemporer folk etnik, dan menciptakan karya lagu yang sarat atas kritik-kritik sosial, lingkungan, HAM, dan spiritualisme. Mengingat begitu banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan alam, Merahjingga konsisten mengkampanyekan persoalan-persoalan tersebut dari panggung ke panggung, hingga media sosial mereka serta kehidupan sehari-harinya.
Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 9 September 2019 Merahjingga telah merilis sebuah single dan video klip baru di akun YouTube mereka. Lagu yang berjudul “Hawa Sudut Jingga” yang berisikan kritik atas persoalan gender. Video klip ini merupakan kolaborasi antara Merahjingga dengan Simpul yang merupakan agensi kreatif yang berbasis di Kota Pontianak dan Bali yang selama ini turut membantu kampanye dan konten kreatif Merahjingga itu sendiri.
Sampai saat ini budaya patriarki masih langgeng berkembang di tatanan masyarakat Indonesia. Budaya ini dapat ditemukan dalam berbagai aspek dan ruang lingkup, seperti ekonomi, pendidikan, politik, hingga hukum sekalipun. Akibatnya, muncul berbagai masalah sosial yang membelenggu kebebasan perempuan dan melanggar hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh perempuan. Meskipun Indonesia adalah negara hukum, namun kenyataannya payung hukum sendiri belum mampu mengakomodasi berbagai permasalahan sosial tersebut. Penyebabnya masih klasik, karena ranah perempuan masih dianggap terlalu domestik. Sehingga penegakan hukum pun masih cukup lemah dan tidak adil gender. Oleh karena itu, peran pekerja sosial sangat dibutuhkan pada situasi ini agar penyelesaian masalah bisa cepat dilakukan.
Ketidaksetaraan antara peran laki-laki dan perempuan ini menjadi salah satu hambatan struktural yang menyebabkan individu dalam masyarakat tidak memiliki akses yang sama. Selain itu, produk dari kebijakan pemerintah yang selama ini tidak sensitif terhadap kebutuhan perempuan telah membuat mereka sering kali menjadi korban dari kebijakan tersebut. Lemahnya perlindungan hukum terhadap kaum perempuan, secara tidak langsung juga telah menempatkan posisi perempuan menjadi termarjinalisasikan. Terdapat pula yang disebut dengan Victim blaming, atau suatu kondisi dimana pihak korban yang justru menjadi objek atau sasaran kesalahan dari sebuah kejadian. Pada kasus pelecehan seksual, perempuan justru menjadi pihak yang disalahkan, entah itu berkaitan dengan cara berpakaian, tingkah laku, waktu kejadian pelecehan, atau justifikasi yang tidak menempatkan laki-laki sebagai pelaku. Dasar dari justifikasi tersebut adalah merupakan sesuatu yang normal untuk laki-laki melakukan pelecehan seksual karena mereka memiliki libido atau syahwat yang tinggi, letak permasalahannya justru terdapat di perempuan yang “menurut moralitas masyarakat” tidak bisa menjaga dirinya dengan baik atau terhormat. Para korban pun akhirnya diberi label oleh lingkungan sosial dengan label yang jelek atau bahkan hina.
Sebagaimana yang telah digambarkan sejarah bahwa perempuan adalah kaum yang termarjinalkan, paradigma terus terhegomoni hingga sekarang sehingga perempuan selalu dianggap kaum lemah dan tidak berdaya. Inilah faktanya bahwa seberapa kuat gerakan feminisme di Indonesia, namun budaya patriarki yang sudah dipegang erat oleh masyarakat Indonesia susah untuk dihilangkan. Walaupun perempuan saat ini sudah dapat menempuh pendidikan dengan bebas namun kembali lagi jika sudah berumah tangga harus dapat membagi peran, sebenarnya bias gender seperti ini muncul karena konstruksi masyarakat itu sendiri.
Tantangan terbesar atas permasalahan tersebut adalah kesadaran masyarakat atas pentingnya pendidikan gender, sehingga budaya patriarki tetap eksis di Indonesia. Dari hal-hal seperti diataslah yang menjadikan dasar bagi Merahjingga untuk memberikan pendidikan gender dan kampanye tentang begitu kejamnya budaya patriarki. Melalui lagu “Hawa Sudut Jingga” diharapkan dapat sedikit memberi tamparan terhadap pihak-pihak yang masih melanggengkan budaya patriarki di Indonesia.
Penulis : Merahjingga