Dari luar bentangan pagar, terlihat hijau bukit bertingkat yang dipenuhi beraneka tanaman. Di sudut sebelah kanan tampak papan bertuliskan “Tempat Pengelolaan Sampah Akhir (TPA) Batu Layang”. Hilir mudik insan dan truk armada pengangkut sampah seolah ingin menceritakan kehidupan di dalamnya yang tak seindah di muka depan tempat berakhirnya sampah dari seluruh penjuru Kota Pontianak, yang berada di Kecamatan Pontianak Utara, Kelurahan Batu Layang.
Panas terik menyengat mengiringi langkah di lahan seluas 30.6 hektar itu, walau perkiraan cuaca menandakan akan turunnya hujan. Tak ayal, arus udara dan hawa panas tetap terasa membekap dan memanggang tubuh. Sampah plastik berjatuhan menandakan telah sampainya truk pengangkut sampah ke titik bongkar yang dapat menampung sampah rata-rata 279,3 ton setiap bulannya. Sejauh mata memandang, bukit-bukit sampah meninggi dan meninggalkan bau menyengat. Tak luput, lalat yang terbang kesana kemari menjadi pemandangan awam di tempat ini.
Bermodalkan keranjang dan besi pengait sampah yang dimilikinya, Sariah sibuk merapikan botol-botol plastik yang dia kumpulkan selama beberapa hari terakhir untuk dijual ke pengepul di akhir minggu. Setelahnya, dibalik caping yang menutup hampir setengah wajahnya, ia terduduk di pondok kecil tempatnya berteduh dan menyeka keringat yang membasahi tubuhnya yang telah bekerja dari pagi hingga matahari meninggi. Sariah adalah orang tua tunggal dari satu anak, suaminya yang telah mangkat semenjak puluhan tahun lalu mengharuskannya mengemban seluruh tanggung jawab dalam keluarga kecilnya. Sariah sudah bekerja sebagai pemulung selama puluhan tahun, sehari-harinya ia berjalan kaki selama tiga puluh menit untuk sampai ke tempat dia mengadu nasib.
Awal Sariah menjadi pemulung tak luput dari kesulitan. Berbulan-bulan ia beradaptasi dan memilah sampah-sampah yang memiliki nilai jual. Kondisi tempat, peraturan pihak UPT (Unit Pelaksana Teknis) TPA dan relasi sesama pemulung juga menjadi hal krusial untuk mendukung pekerjaan tetap dan utamanya sebagai pemulung.
“Dulu waktu pertama-tama nggak tau apa yang diambil, mana yang bisa dijual dan nggak bisa dijual. Kalau nggak ada sampah ibu-ibu disini nggak tau mau kerja apa. Hasil mulung juga saya bawa balik ke darat dengan jalan kaki, karena peraturannya nggak boleh membiarkan sampah berlama-lama disini, makanya kadang-kadang suka hilang juga,” tumpah Sariah sambil memainkan jari-jari tangannya yang menghitam belepotan debu dan kotoran ketika memulung.
Adapun sampah yang bernilai ekonomis adalah berbahan dasar plastik, seperti kemasan botol plastik maupun galon isi ulang merek tertentu menjadi primadona bagi pemulung. Selain memungut sampah plastik untuk dijual, tak jarang Sariah mengambil sampah makanan dan sayuran yang menurutnya masih layak untuk dikonsumsi dirinya dan keluarga. Tak lama dari itu Sariah mengeluhkan harga yang naik dan turun dalam penjualan sampah atau barang bekas plastik yang membuat pemulung harus berlomba-lomba mengumpulkan sampah yang bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan.
“Hari ini aku tak banyak dapat dan sekaligus menyortir kembali hasil memulung kemarin. Ya cukup nda cukup lah, tapi namanya udah nasib, ya cukup-cukupin lah. Barang begini ada naik turunnya, kalau misal lagi naik, harga naik, turun ya tetap turun.” tanggap Sariah sambil menatap lurus dua karung isi botol-botol bekas yang sudah dahulu dikumpulkanya.
Baca Juga: PLH Hiber Ajak Mahasiswa Menabung dengan Sampah
Seribu Rupiah dalam Penolakan dan Peruntungan
Perjalanan tak berhenti disitu saja, reporter Mimbar Untan selanjutnya mengunjungi Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah Rasau Jaya yang terletak di Jalan Rasau Jaya KM 24, Desa Kuala Dua, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Bertemu dengan Suryani, seorang pemulung penuh waktu yang telah menekuni pekerjaannya selama tujuh tahun. Ia tak sendiri, bersama rekan-rekan pemulung lainnya memilah dan mengumpulkan puing-puing sampah yang dianggap berlian di tengah terik matahari yang membakar. Botol, kaleng, plastik dan jenis sampah lainnya tak luput dari pandangan. Gunungan sampah bertingkat menjadi pemandangan harian, bau busuk nan tengik tak terelakkan demi sesuap nasi dan pendidikan anak-anak di masa depan.
Menjadi pemulung tentu tak mudah pada awalnya, Suryani mengaku mendapat perlakuan tak menyenangkan dari sesama pemulung yang lebih dahulu bekerja di TPA Rasau Jaya. Adanya sentimen buruk terhadap pendatang baru membuat Suryani harus pandai-pandai dalam beradaptasi. Belum lagi, masa awal memulung merupakan fase pertama dalam memilah sampah yang sekiranya dapat dijual.
“Masuk ke sini awalnya orang marah-marah, ‘kan, mereka nggak mau orang luar itu masuk lagi (memulung di TPA Rasau Jaya). Biarlah dia marah, yang penting aku nggak mengacau, nggak curi barang dia (pemulung lain). Ujung-ujungnya dia capek sendiri dan berhenti ganggu aku,” ungkap Suryani di tengah masa beristirahatnya setelah memulung.
Penolakan tersebut tak berakhir lama, lambat laun Suryani tak lagi mendapat cibiran ketika memulung. Seiring berjalannya waktu, para pemulung harus bekerja berdampingan demi tujuan yang sama, mencari nafkah. Pendapatan Suryani dari memulung paling sedikit mencapai angka Rp. 300.000 tiap minggunya. Hasil ini bergantung pada kuantitas dan variasi jenis sampah yang datang tiap kali truk angkutan membuangnya ke TPA Rasau Jaya. Sebab, menurut Suryani sampah-sampah yang bernilai telah habis dipungut oleh pemulung lain di tempat-tempat sampah di sekitaran Kota Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya, mengingat lokasi TPA Rasau Jaya yang cukup jauh dari pusat kota. Dengan begitu, perempuan dengan dua orang anak ini hanya mampu mengumpulkan satu sampai dua karung setiap harinya.
“Kayak tadi nyari sehari dapat dua karung, walau ada sampah datang, cuman kan tadhek essenah, adhek reng-bhereng marak riah (gak ada isinya, tidak ada barang seperti ini). Karena di luar sana ada orang-orang mulung di bak sampah Pontianak. Sekalinya sampai sini ‘kan sepi barangnya,” ujar Suryani.
Gemuruh mesin truk pengangkut sampah mengiringi obrolan, para pekerja TPA menyerok sampah ke bawah dan kemudian akan dipungut oleh para pemulung. Sampah berjatuhan tanpa henti, di tanah lapang seluas 3,6 hektar ini puluhan pemulung menggantungkan hidupnya. Dalam obrolan singkat bersama Suryani, kami mengetahui bahwa pendapatannya tak menentu akibat harga penjualan sampah yang fluktuatif. Belum lagi bergantung pada permintaan para penampung sampah yang tidak menentu jadwal pengambilannya.
“Botol plastik kalau bersih (dipisahkan dari kulit luar) seharga Rp. 1600, tapi kalau kotor harganya Rp. 1000 per kilo, tapi ‘kan, kalau dikupas makan waktu. Kaleng sih harganya agak tinggi, bisa hampir Rp. 2000. Tapi belum lagi kena potongan hampir 2kg per karungnya,” jelas Suryani.
Akibat pendapatan hasil memulung tak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, Suryani kadangkala menjual sayur di pasar sebagai usaha sampingan. Sang suami yang bekerja serabutan pun cukup sering membantunya dalam mengelola sampah di kala senggang. Ketika ditanya perihal bantuan yang pernah didapatkan, Suryani mengaku belum pernah mendapatkan bantuan dalam bentuk apapun, baik dari pengelola TPA maupun pihak lainnya. Saat ini, ia hanya memiliki Kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai satu-satunya bantuan yang ia miliki.
Tak hanya para pemulung, reporter Mimbar Untan juga menyambangi beberapa penampung sampah yang mengepul barang-barang dari para pemulung. Begitu masuk terpampang pemandangan berkarung-karung sampah plastik yang telah disusun sedemikian rupa hingga membentuk gunungan sampah. Setapak jalan kecil harus dilalui untuk bertemu dengan Suhartono, pekerja di salah satu penampung besar di area Kota Pontianak dan Kubu Raya yang tengah mengawasi penggilingan sampah-sampah plastik. Gerung suara mesin mengubah sampah-sampah plastik menjadi cacahan kecil yang siap dikirim ke berbagai daerah sebagai bahan baku produk daur ulang.
“Untuk saat ini kita kirim cacahan plastik ke Jakarta sesuai dengan kebutuhan orang sana (penampung yang lebih besar). Mereka minta bahan apa, terus nanya ada ndak barangnya lewat telepon. Kalo barangnya ada kita kirim, kalo belum ada ya kita pending,” jelas Suhartono saat diwawancarai pada (08/6).
Berbekal satu alat press dan satu alat penggilingan, penampung ini telah berdiri selama belasan tahun dan mengumpulkan kurang lebih 40-50 ton sampah per tahunnya, terutama sampah plastik. Suhartono mengemukakan bahwa jumlah sampah yang diterima dari pemulung dan waktu pengambilannya bersifat tentatif alias berubah-berubah tergantung pada permintaan produsen. Ia juga mengatakan tidak ada jadwal pasti dalam mengirim barang ke produsen tiap bulannya.
“Kalau pengambilan sampahnya nggak bisa diprediksi, kadang 2-4 ton. Jadi setiap minggunya nggak bisa dipastikan berapa yang datang. Untuk pengiriman cacahan plastiknya sekali kirim 12-15 ton, namun nggak pasti juga, 1-2 bulan baru ngirim,” ungkapnya.
Permintaan produsen terhadap cacahan plastik yang berubah-ubah tentu akan mempengaruhi permintaan sampah plastik dari pemulung. Suhartono menegaskan hal ini akan membuat harga beli sampah dari pemulung pula fluktuatif. Ditemani seorang pekerja, kala itu Suhartono menunjuk gunungan sampah plastik yang telah disortir sebelum dicacah.
“Kalau banyak permintaan, jelas kita naikin harga beli dari pemulung, pernah sampai tujuh ribu per kilo. Tapi kalau barang masih numpuk, ya kita ambil barang (dari pemulung) dengan harga murah,” pungkasnya.
Baca Juga:Campaign Jaga Lingkungan: Ayo, Pungut dan Pilah Sampah Kita!
Antara Stigma dan Tangis Anak di Rumah
Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial menyebutkan bahwa pemulung adalah orang-orang yang melakukan pekerjaan dengan cara memungut dan mengumpulkan barang-barang bekas yang berada di berbagai tempat pemukiman pendudukan, pertokoan dan/atau pasar pasar yang bermaksud untuk didaur ulang atau dijual kembali, sehingga memiliki nilai ekonomis.
Pekerjaan memulung seringkali mendapat stigma di kalangan masyarakat sebagai pekerjaan yang menjijikkan. Meski dalam pekerjaannya, pemulung berkecimpung langsung dengan sampah-sampah plastik dan non plastik, barang bekas yang tak layak pakai, makanan sisa maupun sayuran dan buah-buahan tak lagi layak makan. Menurut laporan rekapitulasi penimbangan sampah UPT TPA Batulayang, jumlah sampah yang masuk ke dalam TPA Batulayang pada tahun 2020 sebesar 83.554,4 ton. Pada 2021, sebanyak 85.219,8 ton sampah masuk ke dalam TPA Batulayang. Berdasarkan informasi dari laman Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), volume sampah yang dihasilkan di Kota Pontianak sepanjang tahun 2022 sebesar 146,560.71 ton. Terakhir, sepanjang Februari 2023, sebanyak 8138 ton masuk ke tempat yang sama.
Dilansir dari laman PPID Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengemukakan bahwa pengelolaan sampah tidak terlepas dari peran aktif pemulung dalam mengumpulkan sampah. Upaya yang dilakukan pemulung dalam memilah sampah anorganik maupun organik tentu mengurangi volume sampah yang berada di TPA. Misalnya saja pada Sariah, di usia yang tak lagi muda, setiap hari ia dapat mengumpulkan hingga 4 kilogram sampah plastik seperti botol dan perabotan rumah tangga. Pada TPA Batulayang saat ini terdapat 164 pemulung dari ragam usia dan jumlah pungutan sampah yang bervariasi setiap harinya. Apabila dihitung secara kasar, satu orang pemulung dapat mengumpulkan dan mengurangi sampah sebanyak 120 kilogram setiap bulannya dan 1.440 kilogram setiap tahun. Apabila dikalkulasi dengan seluruh pemulung, maka jumlah sampah yang dapat dikurangi di TPA Batulayang adalah sebanyak 236.160 kilogram atau sama dengan 236.16 ton. Hal ini tentu menunjukkan adanya peran penting para pemulung dalam mengurangi sampah tak hanya di Kota Pontianak dan sekitarnya.
Hal senada disampaikan oleh Nasrun M.Tahir, lelaki yang menjabat sebagai Ketua Badan Pengurus Daerah Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) Kalimantan Barat (Kalbar) sejak tahun 2016. Baginya pemulung merupakan salah satu pelaku ekonomi yang turut berperan serta dalam menjaga kebersihan lingkungan. Berkurangnya volume sampah baginya merupakan salah satu peran penting dari adanya pemulung, baik di tempat pembuangan sampah sementara maupun akhir.
“Barang-barang yang dikumpulkan mereka dibersihkan, didaur ulang, kemudian dijual ke pengusaha. Nah, pajaknya ‘kan, bayar, maka saya katakan pemulung adalah pahlawan negara apalagi ekonomi karena bisa menghidupkan anak-anak dari memulung disini,” ujar Nasrun.
Berbicara mengenai hak-hak pemulung, IPI sebagai lembaga independen yang telah berdiri sejak tahun 1991 tentu mengambil peran dalam menampung aspirasi para pemulung. Telah tersebar di 25 provinsi di Indonesia, Nasrun menjelaskan IPI Kalbar sendiri telah ada pada tahun 2016. Ia mengatakan bahwa terdapat 1300 pemulung di Kalimantan Barat telah terdaftar sebagai anggota IPI. Sebagai lembaga sosial yang akrab dengan kehidupan pemulung, IPI menerangkan berbagai kegiatan yang dilakukan, antara lain melakukan pendampingan terhadap pemulung yang belum memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Ketenagakerjaan.
“Bagaimanapun pemulung itu perlu kita bina dan kita urus. Kalau dia ndak punya KTP, ndak punya BPJS, itulah gunanya IPI membantu mengurus proses pembuatannya. Misalnya, di TPA Kubu Raya ada berapa orang pemulung yang tidak punya BPJS kemudian pengurus IPI yang mengajukan ke pemerintah desa,” papar Nasrun.
Kepada reporter Mimbar Untan, Nasrun menunjukkan sebuah Kartu Tanda Anggota elektronik (e-KTA) yang dapat digunakan oleh para pemulung terdaftar di IPI. Nasrun menerangkan bahwa adanya kartu ini merupakan bentuk kerja sama antara IPI, Bank BNI dan PT Cardsindo Tiga Perkasa (anak usaha Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) yang bertujuan memudahkan pemulung dalam melakukan berbagai pembayaran digital maupun akses pelayanan kesehatan.
“Kartu ini istimewa, bagi mereka yang sudah punya kartu anggota bisa mendapatkan manfaat seperti fasilitas BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan dan bisa digunakan untuk pembayaran apapun,” ujar Nasrun sembari menunjukkan e-KTA berwarna kecoklatan dengan siluet pemulung di atas gunungan sampah.
Selain e-KTA, upaya lain yang dilakukan IPI membantu para pemulung adalah program mengurai sampah menjadi pupuk organik, namun Nasrun mengaku bahwa kegiatan ini tak dapat dilakukan secara rutin sebab menyesuaikan dengan kondisi pengurus IPI Kalimantan Barat.
“Kita kerja sosial demi kepentingan mereka, namun kita juga harus menyesuaikan kesibukan pengurus,” ungkap Nasrun,
Terakhir, Nasrun menjelaskan bahwa jangkauan IPI sebagai lembaga yang bergerak dengan dana mandiri tentu tidaklah besar. Dalam duduknya yang tenang, Nasrun berharap bahwa adanya perhatian serius dari pemerintah terhadap hajat hidup pemulung, khususnya di aspek kesehatan. Sebab baginya, pemulung merupakan salah satu profesi yang begitu rentan terkena masalah kesehatan akibat timbunan sampah dan bau tengik yang tiap hari ditemui mereka.
Baca Juga:Tak Cuma Perempuan, Laki-laki juga Mengolah Sampah: Komunitas Pampers Mania dan Bank Sampah Rosella
Pemerintah, antara Perhatian dan Legalitas
Aktifitas memulung mulai dari memilah sampah, menyortirnya kemudian mendaur ulang merupakan salah satu upaya pengelolaan sampah yang tentunya perlu diapresiasi. Bagi Sariah dan Suryani serta jutaan pemulung lainnya, memulung telah menjadi mata pencaharian yang menghidupi kehidupan mereka di antara pekerjaan yang ada. Dalam hal ini, pemulung menjadi salah satu bagian pekerja sektor informal yang memiliki peran penting dalam pengelolaan sampah. Tak hanya dari aspek ekonomi, misalnya pada kasus harga penjualan sampah yang tak pasti, aspek lain tentu perlu diperhatikan, khususnya kesehatan. Kedua pemulung paruh baya yang kami temui mengaku tak pernah mendapat bantuan secara langsung dari pemerintah, baik berupa jaminan kesehatan maupun bantuan finansial.
Sariah mengaku, selama puluhan tahun ia menjadi pemulung, belum sedikitpun ia mendapatkan bantuan apapun dari pemerintah. Padahal sudah berulang kali pihak TPA melakukan pendataan yang disinyalir untuk memberi bantuan kepada pemulung-pemulung yang bekerja di TPA tersebut.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Pontianak, Syarif Usmulyono mengatakan memang belum ada bantuan langsung yang diberikan pemerintah kepada pemulung-pemulung pekerja TPA, namun menurutnya pembiaran yang dilakukan sehingga pemulung dapat memulung di TPA merupakan wujud partisipasi pemerintahan kota bagi perekonomian mereka dengan beberapa ketentuan.
“Kebetulan TPA memiliki sampah yang bernilai ekonomis, sehingga mereka bisa mulung dan menjadi mata pencaharian mereka melalui plastik dan besi. Nah, itu wujud dari pada partisipasi pemerintahan kota dengan catatan sampahnya jangan numpuk disitu,” tanggapnya.
Sebagai pekerjaan yang belum ada legalitasnya, lanjut Syarif mengemukakan bahwa beberapa kompensasi yang diberikan pada pemulung antara lain izin pendirian bangunan rumah dengan batas jarak minimal 500 meter dari area TPA dan pembuatan sambungan pipa PDAM gratis akibat terhambatnya aliran air warga karena aktivitas TPA.
“Pada saat kami bangun TPA belum ada mereka. Kalau secara bangunan rumah mereka ilegal, untuk masalah 500 meter yang tidak ada pemukiman di kota. Warga sempat mendapat kompensasi sambungan jaringan pipa gratis karena ada hambatan sehingga air mereka ga bisa dipakai,” jelas Syarif.
Selain itu, kompensasi lain yang diberikan adalah lahan kosong yang dapat digunakan untuk bercocok tanam selama lahan tersebut belum digunakan. Pekerja di TPA Batulayang sendiri didominasi oleh penduduk sekitar merupakan bentuk perhatian pemerintah terhadap mereka. Perhatian selanjutnya menurut Syarif adalah pemberian paket bantuan dari Corporate Social Responsibility (CSR) kepada pemulung dan pekerja sekitar.
“Mereka masih boleh bercocok tanam di lahan kosong dekat Instalasi Pengolahan air Limbah (IPAL) selama belum digunakan. Secara khusus, jika ada kegiatan keagamaan maupun seremonial, kita bagi paket dan utamakan mereka (pemulung),” pungkas Syarif.
Penulis: Dedek Putri Mufarrohah dan Vania Holika Sitanggang
Editor: Aris Munandar
*Tulisan ini telah terbit di Majalah Edisi XVI. Dapatkan segera versi cetaknya dengan menghubungi mimbaruntan@gmail.com / dapat mengakses link berikut https://bit.ly/MajalahMimbarUntanXVI