Kenangan.
Senjata paling mematikan sekaligus obat paling mujarab. Ia dapat mencipta senyum di bibir dan pelangi di hati. Namun jika dijelajahi terlalu dalam, kenangan dapat menjelma jadi mimpi buruk. Labirin tak berujung. Jadi, jangan biarkan dirimu terjebak didalamnya.
Selamat datang di Museum Kenangan!
Aku Aloe, penjaga tempat ini. Jika ingin melihat kembali semua hal yang telah kau tinggalkan di belakang, disini lah tempatnya! Museum ini menyimpan koleksi kenangan yang berwujud benda, wewangian, hingga irama. Karena kenangan bisa hadir dalam bentuk apa saja.
Atau siapa saja.
…
Tempat apa ini?
Bagaimana aku bisa sampai disini? Sejauh yang kuingat, aku sedang dalam perjalanan ke luar kota. Di dalam kereta, duduk di bangku paling pojok, tertidur setelah menghabiskan makan malam. Tidak salah lagi, aku sedang bermimpi. Tapi mimpi ini terasa begitu nyata. Aku seolah memiliki kesadaran penuh. Kelima indra ku bisa digunakan dengan baik!
“Selamat datang!”
Siapa itu?
Seorang wanita bergaun putih menghampiriku. Tubuhnya ramping dan tinggi sekali. Rambutnya kuning keemasan disanggul rapi. Sorot matanya hangat dan bersahabat.
Aku mundur selangkah. Meskipun tampak ramah, aku belum mengenal wanita ini. Ia bisa saja memiliki maksud jahat. Kita tidak pernah bisa menilai tampilan luar, bukan?
“Hihi, maaf mengejutkanmu. Tidak, aku tidak bermaksud jahat, jangan takut,”
Bagaimana ia bisa tahu isi pikirkanku?
“Selamat datang di museum kenangan! Tempat berkumpulnya semua kenangan. Kau pasti tidak sabar ingin melihat-lihat.”
“Si-Siapa kau?” aku akhirnya memberanikan diri bertanya. Wanita itu menepuk dahinya dan tertawa.
“Hihihi, aku terlalu bersemangat sampai lupa memperkenalkan diri. Aku Aloe, penjaga tempat ini. Aku yang akan menemanimu berkeliling dan melihat-lihat koleksi di museum ini. Dan kau pasti Kinara, bukan?”
Aku mengangguk. Bagaimana ia bisa tahu namaku? Ah, lagipula ini mimpi. Apapun bisa terjadi disini.
“Bagaimana aku bisa sampai disini?” tanyaku lagi.
“Ah, tentu saja kau bisa! Hanya orang-orang dengan kenangan paling kuat yang bisa mengunjungi tempat ini. Dan kau termasuk orang itu! Jadi selamat!”
Aku tidak tahu apakah itu kabar baik atau buruk. Tapi bicara tentang kenangan yang kuat, aku memang memiliki beberapa kenangan yang cukup berdampak pada kehidupanku saat ini. Apakah aku cukup berani untuk melihatnya lagi? Entahlah. Semoga saja di museum ini hanya ada kenangan-kenangan baik saja.
“Kau siap berkeliling, nona? Aku tau kau sudah tidak sabar!” wanita itu tampak sangat bersemangat. Ia meraih tanganku.
Aku mengangguk.
…
Kami tiba di ruangan bernuansa hijau. Dinding, langit-langit, lantai, hingga beragam furniture, semuanya serba hijau. Di sekeliling ruangan terdapat benda-benda yang tampak tidak asing. Hei, aku mengenal semua benda ini!
Ada sepatu pemberian kakek, syal rajutan mama, kalung persahabatan, buku diary, dan beragam mainan masa kecil. Ah, aku merindukan benda-benda ini. Sekarang entah dimana semuanya tersimpan.
Memasuki ruangan ini seperti membuka kapsul waktu.
Di tengah ruangan terdapat satu benda yang dilindungi tabung kaca. Sebuah plaster? Kenangan apa yang disimpannya? Aku hampir tidak bisa mengingatnya. Tapi itu bukan plaster biasa. Plaster bergambar dinosaurus. Sebuah kenangan yang kuat seketika terlintas di kepalaku.
Lima belas tahun lalu, saat aku menginjak bangku SMP.
Akhir dari masa kecilku yang bahagia. Memasuki dunia remaja yang tak pernah kusangka bisa sangat mengerikan. Masa dimana aku mulai mempertanyakan semua pujian yang pernah diberikan keluarga dan teman-teman masa kecilku. Katanya aku anak yang cantik dan pintar. Katanya semua orang akan senang bila melihatku. Tapi disini tidak.
Masa SMP ku jauh dari menyenangkan. Tidak ada satupun yang mau berteman denganku. Bahkan, teman-teman sekelas merundungku. Menyebarkan rumor-rumor. Menjulukiku dengan nama-nama yang aneh. Menjadikanku bahan olokan. Aku tidak pernah melawan. Tidak pernah berani.
Selama tiga tahun aku bertahan di sekolah itu. Tidak pernah bercerita pada siapapun tentang apa yang kualami. Aku berubah. Keceriaanku tersedot habis. Aku menjadi gadis yang sangat pendiam. Kukira, tiga tahun sudah cukup bagiku menderita dan akan berganti kebahagiaan menyambut kelulusan. Tapi, beberapa hari menjelang pengumuman, ada sebuah kejadian yang sangat memilukan.
Saat itulah aku bertemu Ditto.
Satu-satunya teman sekelas yang tidak pernah menggangguku. Ia menyelamatkanku dari sekelompok orang bejat yang hendak melecehkanku di sebuah gang sempit. Aku tidak pernah mengira Ditto jago dalam bertarung. Orang-orang bejat itu habis dihajarnya.
Ditto memeriksaku sambil berusaha menenangkanku. Ia melihat luka kecil di tanganku. Mungkin karena benturan. Saat itu, Ditto mengeluarkan plaster bergambar dinosaurus dan menutupi lukaku. Ya, tidak salah lagi. Plaster ini, aku kini mengingatnya.
“Bagaimana, nona? Kita ke ruangan selanjutnya?” tanya Aloe.
Aku sedikit tersentak. Spontan mengangguk. Padahal aku belum puas mengenang pertemuan itu.
…
Kini kami berada di ruangan dengan nuansa serba kuning. Didalamnya terdapat botol-botol yang bila dibuka akan tercium bau-bau yang tidak asing. Bau dari masa lalu. Wangi kenangan semerbak di ruangan ini. Aku membuka botol satu per satu.
Bau masakan nenek, pengharum mobil ayah, kamar tidurku, dan banyak lagi. Aku bisa mengingat semuanya. Sampai sudut mataku melihat sebuah botol berwarna perak di tengah ruangan. Botol paling bersinar di ruangan ini. Aku sudah tau. Ini pasti salah satu kenangan yang paling kuat. Tapi yang mana? Aku membuka botol itu. Menghirup aroma didalamnya.
Bau yang sangat tidak asing. Bau seseorang.
Sebuah kenangan muncul di kepalaku. Lagi-lagi tentang Ditto.
Masa-masa SMA. Ditto satu sekolah lagi denganku. Kami berteman sangat akrab meski sangat bertolak belakang. Ditto menjadi atlet sepak bola kebanggan sekolah, sementara aku berprestasi di bidang akademik.
Hari itu, ulang tahunku yang ke tujuh belas. Aku menunggu Ditto di bawah pohon beringin di belakang sekolah, tempat kami biasa menongkrong. Ditto bilang, ia akan memberiku kejutan sepulang sekolah.
Tak lama, laki-laki itu datang dengan keringat di sekujur tubuh. Membawa sebuah kantong plastik. Sepertinya Ditto baru selesai bertanding sepak bola. Bau keringat bercampur parfum vanilla tercium dari tubuhnya. Ditto menghampiriku lalu mengeluarkan sesuatu dari kantong plastik itu. Sebuah kotak kecil berisi kue ulang tahun.
Ya, saat itu. Aku masih ingat bagaimana perasaan itu muncul di hatiku. Aku menyukai Ditto. Rasa suka itu di amini hari itu. Jadi sebuah perasaan yang lebih besar, lebih rumit, dan lebih dalam. Pada hari itu, aku jatuh cinta pada Ditto. Laki-laki yang pernah menyelamatkanku.
“Sudah siap ke ruangan terakhir?” tanya Aloe. Kali ini nada suaranya sedikit sendu.
Aku masih belum puas mengenang hari spesial itu. Masih ingin mengingat wangi badan Ditto. Tapi baiklah, aku siap melihat kenangan selanjutnya. Apapun itu.
…
Ternyata aku tidak siap.
Ruangan ini berisi kenangan yang paling menyakitkan. Momen yang belum lama terjadi. Yang sampai hari lukanya masih belum menyembuh. Di ruangan bernuansa serba merah ini terdapat berbagai kotak musik yang memainkan irama-irama tidak asing. Aku bisa mengenal irama itu satu per satu.
Di tengah ruangan terdapat kotak musik paling besar dengan ornament paling indah. Aku membukanya. Kotak musik itu memainkan irama lagu yang sangat kuingat. Lagu yang liriknya indah sekali, namun kenangan yang disimpannya sungguh menyayat hati. Lagi-lagi, ini tentang Ditto.
Bertahun-tahun aku menyimpan perasaan pada Ditto. Kami terpisah sejak lulus SMA. Ia merantau ke negeri seberang. Lama tidak ada kabar hingga suatu hari, sebuah surat undangan sampai di meja kerjaku. Bukan undangan biasa, ini undangan pernikahan. Bukan pernikahan biasa, ini pernikahan Ditto. Aku terdiam dalam ketidakberdayaan.
Sedih, kecewa, marah, melebur jadi satu. Memakanku hidup-hidup. Aku sungguh menyesal. Mengapa tidak dari dulu mengungkapkan perasaan padanya. Tapi apa mau di kata, ada gadis lain yang lebih dulu mencuri hatinya.
Awalnya, aku enggan hadir dalam acara pernikahan Ditto. Tapi bagaimanapun, ia sahabatku. Ditto sangat berarti buatku dan aku yakin begitu juga aku baginya. Aku harus datang. Meski aku tahu, menghadiri pernikahannya sama dengan menjemput luka terbesarku.
Ya, pada acara itu lah lagu ini dimainkan. Sudah cukup sakit perasaanku saat bersalaman dengan Ditto dan mempelai istrinya di pelaminan, lirik lagu itu memperparah luka di hatiku. Seharusnya aku yang berdiri bersama Ditto di atas pelaminan. Aku, si pecundang yang mencintainya dari dulu. Yang terlalu takut untuk sekedar mengatakan “aku suka kamu”.
“Kinara…” Aloe menepuk pundakku. Ia menatapku prihatin.
Tangisku sudah tidak tertahan. Kenangan itu sangat menyakitkan. Seharusnya aku tidak perlu sampai ke ruangan ini.
“Kinara… saat aku bertanya apakah kau siap, aku bersungguh-sungguh. Karena kenangan yang kau lihat bisa sangat indah, namun juga sangat menyakitkan,” Aloe mengusap air mata dipipku.
“Sekarang, lihatlah dirimu. Kenangan-kenangan itu membentuk dirimu. Kau bangkit. Bekerja lebih keras dalam membangun karirmu. Menyibukkan diri agar tidak mengingat kenangan-kenangan itu. Hingga kau bisa sesukses sekarang. Tapi apa? Kau masih belum merasa puas. Masih tidak bahagia. Itu karena kau belum berdamai dengan masa lalumu!”
“Sekarang peluklah kenangan itu. Jangan terus lari darinya. Terimalah bahwa kenangan buruk juga bagian dari mu. Hidupmu sempurna dengan adanya kenangan-kenangan itu,” Aloe merentangkan tangannya.
Aku membenamkan diri dalam pelukan Aloe. Menangis sejadi-jadinya. Aloe benar. Kini aku mengerti kenapa aku berada disini. Seharusnya aku berdamai dengan masa laluku. Mungkin itu satu-satunya cara menyembuhkan lukaku.
Dengan senyum yang merekah, aku menerima semua kenangan itu. Memeluknya erat-erat. Berdamai.
…
Wusssssssssssssssssss………
Aku terbangun. Kereta berhenti di stasiun terakhir. Aku sudah sampai di kota tujuan. Entah kenapa, tubuhku lebih segar dan dadaku lebih lapang. Seolah semua beban yang kubawa telah gugur di perjalanan. Tertinggal di rel-rel kereta yang tidak akan pernah kutapaki lagi
Mimpi tadi?
Sungguh perjalanan yang hebat!
Penulis: Ibnoodle