Oleh Nabu
mimbaruntan.com, Sambas–Sore kamis 17 Mei yang agak mendung itu, tak ada lagi terdengar suara musiksemerdu dulu sewaktu aku berjalan menuju tempat latihan para pemainTanjidor yang berada di Desa Pipitteja, Kecamatan Teluk Keramat.
Dari jauh terlihat seseorang yang agak uzur, berbaju coklat bergaris putih, celana jin tempo dulu atau jabrai, rambut yang tampak memutih menyelimuti kepalanya dan kulit keriput sudah jelas dari jauh. Dia pun sedang duduk di tempat jualan sayurnya memperhatikan aku berjalan dari kejauhan.
Ali (73) adalah ketua Grup Tanjidor Genta Perba yang berdiri pada tahun 1962 dengan personil 12 orang dan itu pun hasil patungan (persatuan) sekampung.”Tanjidor ini sudah berumur 50 tahun”, katanya.
Aku dan Ali terus berbincang-bincang, diaberkata, musikTanjidordulusangatlarisdalam 1 bulanbiasaada 8 atau 9 tempatuntuk main. Rata-rata kami main untuk orang perkawinan yang waktuituhargasekali main 15 ribu rupiah. “15 ribu rupiah duluitusangatbesarharganyapadatahun 62 an”, imbuhnya.
Dia tersenyum sambil berpikir, lalu menceritakan, pengalaman Grup Tanjidor Genta Perba yang pernah ke daerah mana saja, bahkan dipanggil untuk main di acara Bupati dan masa Pemilihan Bupati. “Jadi kami tak lelah untuk itu, bahkan kami makin cinta dengan Tanjidor sampai tua. Dan untuk lagu pun sudah hapal di luar kepala tanpa latihan”, katanya sebaya tertawa kecil.
Kami terdiam sejenak di kursi panjang yang ditemani sebotol aqua. Dia pun menarik nafas dan melapaskannya pelan-pelan lalu berkata, sekarang Tanjidor tak sehebat dulu. Rata-rata panggilan untuk main 1 bula nada 3 saja dan untuk pemainnya pun hanya ada beberapa yang muda, sisanya pemain lama. “Kadang aku juga masih main”, tambahnya bercanda seakan masih muda.
Aku mengambil aqua itu untuk segera diminun, setelah itu aku melontarkan lagi pertanyaan tentang pendapatan dan penyebab tertinggalnya Tanjidor sekarang. Dia menjawab, untuk harga sekarang 1 juta sekali main. “Itu pun dibagi 12 orang. Jadi 60 ribu per orang dan 20 ribu masuk kas kami”, jelasnya sambil melayani orang membeli sayur.
Dia pun memasalahkan semakin menurunya permintaan yang disebabkan disetiap acara perkawinan pasti memanggil bend bukanTanjidor. “Tapi kami pun bersyukur masih ada juga biasa yang meminta kami untuk bergabung dengan bend”, tambahnya.
Tidak lama kemudian datang 2 orang yang tidak kalah tuanya. Ali pun mengenalkannya kepadaku, tapi yang satu orang aku sudah kenal.
Sebut saja Landak (69) danArif (70) salah satu pemain Grup Tanjidor Genta Perba tahun 62 yang sekarang sudah pensiun, mereka juga mengatakan hal yang sama dengan Ali. Untuk penghargaan kami juga pernah dapat pada tahun 90 an. “Disetiap pertandingan kami pernah jugadapatjuara 1”, lanjutnya.
Mereka berkata lagi, kami sudah berusaha untuk mencari pengganti kami, terutama anak-anak muda yang masih kuat tenaganya. “Tapi hanya beberapa anak muda saja yang mau”, jelasnya sambil keduanya tersenyum.
Dalam rekaman warga, Tanjidor sudah lama tidak terdengar lagi, ada pun tidak pull Tanjidor. “Dulu Tanjidor sangat pas sekali dengan adanya acara pernikahan yang ada”, kata Tambri warga setempat. Kami sewaktu kecil dulu suka sekali mendengarkanTanjidor. “Dimana ada acara pernikahan, kami selalu datang untuk hanya mendengarkan Tanjidor dan selalu berada di pentas. Tapi sekarang terasa kehilangan sekali”, tuturnya.
Para pemuda pun ikut menyuarakan. Salah satunya Agus (18) siswa SMK 1 Paloh. Dia mengatakan, sekarang aku jarang sekali mendengarkan musik Tanjidor, malah bend (Band Grup) yang banyak di acara pernikahan. “Pengen rasanya mendengarkannya lagi”, tambahnya.
Katanya lagi, mungkin penerusnya sudah tidak ada, anak-anak muda pun tidak mau melanjutkan budaya ini. Mungkin gengsi atau malu jaman sekarang main Tanjidor. “Termasuk aku, malu dan gengsi bila disuruh main”, candanya sambil tertawa.
Harapan Ali dan kawan-kawanya, supaya musik Tanjidor dilestarikan dan dibudayakan. Supaya tidak hilang. Anak mudanya pun harus sadar akan budaya ini. “Aku sangat cinta Tanjidor’, tambahnya.
Tambri dan Agus juga berkata, lanjutkan budaya Tanjidor ini. Jangan sampai kalah dengan bend dan jangan sampai nantinya anak cucu kita tidak tahu dengan musik Tanjidornya. “Masyarakat dan pemerintah setempat juga harus sadar dan bertindak untuk melestarikan budaya ini”, tutur Agus berharap kedepan.
Dihari yang lain
Hujan gerimis berjatuhan, awan hitam menyelimuti langit-langit yang tadinya biru. Hawa sejuk mulai terasa sangat menyentuh di kulit. Penulis memaksakan diri untuk turun dari rumah menuju tempat bapak Ali (73), ketua GrupTanjidor Genta Perba yang berdiri pada tahun 1962 ini.
Untuk kedua kalinya, penulis menemui pak Ali untuk mendengarkan kisahnya mempertahankan tanjidor Sambas sebagai hiburan rakyat dari serbuan musik modern.
Tidak sampai satu jam penulis bermotor melewati rintik gerimis. Akhirnya sampai di sebuah toko sederhana, yaitu hanya satu tingkat itu, berdinding papan, tiang kayu serta atap dan (daun sagu). Isi toko pun sangat sederhana, menjual sayur mayur, rempah-rempah, sembako dan makanan ringan.
Setiba di depan tokonya, pak Ali terlihat sangat sibuk melayani pembeli yang mulai ramai. Dia pun sempat melihat ke arah penulis sambil melambaikan tangan dan tersenyum kecil. Saya membalas lambaian dan senyuman itu.
Saya duduk di depan toko menunggu bapak Ali selesai melayani pembeli. Tidak lama berselang dia pun datang menghampri sambil mengacungkan tangan, aku pun menyambutnya dengan erat. “Ade hajat ape kesitok agek?” Katanya dengan logat Sambas yang kental.
“Oh ndak ape-ape pak, cume mau tanyak jak tentang sejarah Tanjidor Genta Perba dan sejarah bapak yang memperjuangkan Genta Perba ini? Saya membuka pertanyaan sambil mempersiapkan pertanyaan berikutnya yang sudah ditulis di kertas tadi sebelum berangkat dari rumah.
Bagaimana Tanjidor Genta Perba terwujud?
Terwujudnya atau terciptanya Grup Genta Perba ini, berkat ayah kami dulu. Di mana mereka meminta kepada masyarakat desa untuk melakukan patungan (persatuan) sekampung. Jadi, duit yang terkumpul dibelikan alat musik. Setelah itu membentuk kelompok latihan, yang kami lakukan setiap malam. Waktu itu saya dipercaya sebagai ketua. Soal nama Tanjidor ini masih belum kami beri nama.
Setelah itu kami bersepakat untuk memberi nama musik ini dengan Grup Musik Genta Perba yang kami bentuk pada tahun 1962 dengan personil 12 orang. Genta Perba ini juga terbentuk berkat masyarakat setempat yang selalu mendukung kami, serta semangat kami untuk mewujudkan hal yang baik.
Seperti apa anda dan lainnya menggambarkan tugas dari Tanjidor Genta Perba ini?
Menjadi pemusik harus siap bila diperlukan. Harus siap meninggalkan keluarga dalam waktu yang agak lama dan harus siap mengorbankan waktu dan tenaga. Tapi di sinilah letak pengorbanan kami yang bergabung di Grup Genta Perba ini. Kadang kami sebulan sekali pulang rumah. Itu pun hanya satu hari, karena jaman dulu permintaan orang pernikahan masih banyak.
Anda dan Genta Perba sebagai musik satu-satunya di daerah ini waktu dulu, benarkan?
Ya, benar dulu Genta Perba hanya satu-satunya musik untuk di daerah Paloh. Jadi, kami pun kadang-kadang kewalahan menerima order manggung atau main musik. Kami pun dikenal sebagai grup musik terbaik di daerah kami.
Tantangan apa yang anda dan teman-teman anda alami?
Menjadi pemain musik ini bukanlah hal yang mudah selain keluarga yang kami tinggalkan, seorang pemain musik harus siap dipanggil untuk main di acara pernikahan, walaupun badan tidak terlalu sehat atau sakit. Biasanya kami jalan kaki untuk menuju tempat main, yang biasanya puluhan kilo meter jaraknya. Karena jalan tidak memungkinkan bila naik sepeda.
Anda kini berkerja sebagai penjaga toko dan menjual sayur-sayuran, lalu seperti apa kerja anda?
Kalau sekarang saya hanya berkerja sebagai penjaga toko sembako dan sayur-sayuran yang sudah dari dulu dibangun. Dari sini lah penghasilan kami untuk menghidupi keluarga. Kalau untuk mengharapkan pendapatan dari main musik hanya gitu-gitu lagi. Tetapi sekarang saya juga masih menjadi ketua dan koordinator Grup Genta Perba. Tetapi lebih sering di toko yang ditemani oleh anak saya.
Suka duka apa yang anda rasakan dengan profesi menjadi pemusik?
Puluhan tahun bukanlah waktu singkat untuk mengecap manis-pahitnya sebuah profesi. Panjangnya perjalanan ini membuat saya menjadi semakin mencintai profesi pemain musik ini. Dari desa ke desa, kampung ke kampung, Alhamdulilah semakin banyak pengalaman dan ilmu berharga yang saya dapatkan. Saya menyadari bahwa saya dan rekan-rekan saya tidak lagi muda dan berjiwa baja seperti dulu. Tugas kami adalah memberikan pelayanan dan kepuasan bagi pelanggan kami.
Apa obsesi Anda kedepannya?
Sebagai seorang pemusik, saya berharap kian tumbuh kesadaran masyarakat khususnya para pemuda untuk melanjutkan perjuangan kami, untuk mempertahankan budaya yang ada. Saya juga ingin pemerintah lebih memperhatikan hal ini, karena kalau tidak, budaya musik tanjidor ini bisa hilang ditelan jaman modern yang mengandalkan Band. Bagi saya pribadi, membuat budaya musik tanjidor ini bisa bertahan sampai anak cucu menjadi kebanggaan tersendiri.
Juga Terbit di MABMonline.org