Tanah merupakan kebutuhan dasar manusia yang memiliki nilai ekonomis, filosofis, politik, sosial, ekologis, kultural dan spiritual. Bagi kaum tani, tanah juga adalah simbol eksistensi diri yang sarat nilai, karenanya harga tanah sejatinya lebih dari sekadar komoditas. Hingga kini, sektor pertanian masih digeluti sebagian besar rakyat Indonesia. Sejumlah masalah serius pun turut mewarnai situasi yang dialami kaum tani seperti kasus pertanahan hingga konflik agraria mengemuka.
mimbaruntan.com, Untan – Roikatun (39 th) malam itu tampak tegar. Tidak ada ekspresi yang menunjukkan kesedihan dari raut wajah wanita yang sehari-hari biasa dipanggil Atun ini. Sesekali, ia memperhatikan anaknya yang masih berusia enam tahun bermain-main di salah satu ruangan Canopy Center, Pontianak. Atun bersama beberapa petani lainnya dari Desa Olak-Olak, Kubu Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya akan mengikuti diskusi yang digelar Women’s March Pontianak, Selasa malam (13/3/2018).
“Beliau di sana sehat, tapi sekarang ya kuruslah karena mungkin dia mikirkan keluarga di rumah bagaiamana gitu,” kata Atun menceritakan keadaan Ayub, suaminya kepada reporter Mimbar Untan sebelum diskusi dimulai.
Ayub merupakan petani yang berasal dari Desa Olak-Olak yang belakangan kerap disebut sebagai pejuang agraria. Suami Atun tersebut bersama sejumlah warga aktif berjuang mempertahankan tanahnya yang bersengketa dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit, PT Sintang Raya dan PT. Cipta Tumbuh Berkembang (CTB).
Saat ini, Ayub sedang menjadi tahanan pihak Kepolisian Resort Mempawah lantaran dituduh mencuri pupuk milik perusahaan. Dia ditangkap saat berada di Pontianak, tepatnya di kantor Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Kalimantan Barat sekitar pukul 24.00 WIB, pada 24 Februari 2018 lalu.
Atun mengaku kehidupan keluarganya berubah setelah suaminya ditangkap. Terlebih saat ini, tidak ada lagi sosok yang diharapkan memberi nafkah bagi keluarga. “Setelah penangkapan Pak Ayub, kehidupan keluarga jauh merosot. Masalahnya kan ndak ada yang mencarikan untuk anak ini sekolah. Untuk makan sehari-hari, terutama masalah hutang,” ungkapnya.
“Waktu sebelum penangkapan memang ada, polisi sering datang ke kampung menanyakan bapak, neror dan bertanya-tanya Pak Ayub. Memang ada itu kemarin. Semenjak Pak Ayub ditangkap ini tidak ada lagi. Bapak harus cepat-cepat dibebaskan, biar cepat menghidupi keluarganya yang lagi kesusahan. Perusahaan harus mengembalikan lahan kami 32 orang itu,” ucap Atun.
Di tempat lain, kasus sengketa lahan juga terjadi. Salah satunya dialami warga Desa Sijang, Kecamatan Galing, Kabupaten Sambas. Di daerah ini, sengketa terjadi antara masyarakat dengan perkebunan kelapa sawit PT. Kaliau Mas Perkasa (KMP).
Muslihan, salah seorang petani mengisahkan peristiwa tersebut. Menurutnya, saat ini ia bersama warga lainnya terus berupaya mempertahankan lahan mereka. Bentuk perlawanan yang dirinya lakukakan bersama warga lainnya adalah dengan melakukan penanaman pada lahan mereka yang bersengketa.
“Mereka (perusahaan) nanam, kami nanam. Tapi sekali kamek tinggalkan pondok kamek dibakarnye. Habis, barang habis. Rata-rata petani lain juga kejadiannya hampir sama,” jelasnya saat ditemui di kota Kecamatan Sekura, Jumat (16/2/2018).
Kumaini, Sekjen Serikat Tani Serumpun Damai (STSD) Kabupaten Sambas angkat bicara. Menurutnya ada pembiaran dan sikap kurang tegas dari pemerintah terhadap aktivitas perusahaan PT. KMP yang ilegal.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa sudah cukup banyak kasus yang terjadi dan hingga sampai saat ini Pemda belum berani bertindak tegas terhadap berbagai pelanggaran yang dilakukan investor, terutama perusahaan sawit. “Alasan investasi memang itu yang disampaikan secara terang-terangan. Tapi yang menjadi pertanyaan kita, untuk sebuah investasi masuk ke daerah sudah ada aturan yang sifatnya mengikat, itu sudah cukup jelas,” katanya, Jumat (16/2/2018).
Sebagaimana dilansir Pontianak Post pada 17 April 2018 lalu, ratusan warga yang tergabung dalam Kelompok Tani Sekapur Sirih juga sempat mendatangi Kantor Bupati Sambas menyampaikan permasalahan yang mereka hadapi. Menanggapi aspirasi warga, Atbah Romin Suhaili, Bupati Sambas menjelaskan bahwa pihaknya sudah mengirim surat yang meminta perhatian pihak perusahaan PT. KMP untuk meminimalisir konflik.
“Warga harus dukung dan tolong saya, dengan kapasitas saya, saya tak bisa sendiri selesaikan masalah ini, warga harus berperan, termasuk dinas terkait dan Tim Satgas,” katanya.
Sebelumnya (2/2/2017), Harian Suara Pemred juga mewartakan, bahwa pihak DPRD Sambas melalui Komisi B tetap melakukan pengawasan terhadap persoalan yang terjadi. “Seperti yang baru-baru ini kita ketahui bahwa perusahaan PT. KMP yang bermasalah Kelompok Tani Sekapur Sirih itu dalam proses penyelesaian,” ungkap Anwari Ketua Komisi B DPRD Sambas.
“Lalu kami akan lakukan verifikasi, baik itu persoalan Hak Guna Usaha (HGU) atau tumpang tindih kepemilikan. Khusus persoalan tersebut, kami juga akan meminta pihak BPN memberikan keterangan,” tambanya.
Penulis: M. Arif Rahman
Editor: Adam
Baca Berita Selengkapnya di Majalah Mimbar Untan Edisi XI yang terbit Mei 2018 !