“Laki-laki kok lembek banget? Laki-laki itu harus kuat! tidak boleh nangis!”
Sepele, tapi dampaknya luar biasa. Budaya patriarki yang terdorong dari interaksi sosial semacam inilah yang membentuk maskulinitas dalam masyarakat (bapakisme). Laki-laki harus kuat, laki-laki harus berdiri di atas perempuan, laki-laki harus jadi penguasa, dan stigma lainnya yang dihasilkan oleh perspektif maskulinitas itu sendiri yang kemudian menjelma menjadi nilai yang harus dimiliki oleh laki-laki.
Bagi perempuan, hadirnya budaya patriarki ini menekan dan menyempitkan ruang aktivitas mereka. Padahal, tidak hanya perempuan saja, laki-laki pun secara tidak sadar menjadi korban dari budaya patriarki itu sendiri. Saya tidak bisa pungkiri bahwa budaya patriarki ini menguntungkan laki-laki dalam berbagai bidang. Namun, untuk mendapatkan privilege patriarki ini, harus menunjukkan bahwa maskulinitas sebagai laki-laki sejati dengan mempertahankan image sebagai individu kuat yang tabah, tanpa emosi dan mengesampingkan perasaan. Apabila gagal menunjukkan maskulinitas, tidak ada yang bisa dilakukan selain menerima bully-an dari masyarakat. Dari sini, terlihat bahwa laki-laki juga menjadi korban dari patriarki yang mana membuat mereka tidak bisa menjadi diri mereka seutuhnya.
Baca juga: Toxic Masculinity dalam Kehidupan Sehari-hari
Melawan budaya patriarki, ideologi feminisme hadir dalam masyarakat. Feminisme itu sendiri merupakan ideologi yang menuntut hak atas kesetaraan ruang gerak antara perempuan dan laki-laki. Gerakan seperti ini akrab kita dengar dengan istilah “emansipasi wanita”. Saya lebih suka memandang problema kesetaraan gender dari perspektif marxis feminism dan post-modern feminism. Feminisme marxis menganggap bahwa kapitalisme dan patriarki merupakan sumbangsih terbesar dalam penindasan terhadap perempuan. Maka dari itu, untuk menghentikan penindasan terhadap perempuan, kedua faktor tersebut harus dibendung. Selanjutnya, feminisme post-modernis memandang perempuan dalam posisi yang sebaliknya. Artinya, perempuan dan laki-laki setara dan harus berdampingan untuk mewujudkan tatanan sosial yang lebih baik.
Hadirnya “New Man” atau laki-laki baru yang merupakan laki-laki dengan ideologi feminisme menambah bumbu dari pergerakan feminisme. Laki-laki baru (selanjutnya saya sebut dengan LB) menjadi langkah yang efektif untuk membendung budaya patriarki. Kemunculan LB yang sadar bahwa mereka bukanlah penguasa dalam patriarki, tetapi juga budak patriarki itu sendiri, mampu menekan hagemoni bapakisme dengan inovasi melalui representasi maskulinitas baru yang mendukung kesetaraan dan keadilan gender serta menentang kekerasan terhadap perempuan ataupun laki-laki lain.
Keterlibatan LB dalam gerakan feminisme menepis interpretasi inferiotas dan superiotas gender dalam sudut pandang agama yang pada kenyataannya kedudukan manusia setara di pandangan Tuhan, terlepas dari gender yang dimilikinya. Maskulinitas yang diinterpretasikan oleh LB dengan mengadopsi nilai-nilai feminisme sangat tepat. Saya memandang LB sebagai laki-laki yang berperasaan, toleran, sopan, dan adil. Pasalnya, dengan menjadi laki-laki yang feminis tidak serta-merta mewajibkan kita untuk meninggalkan maskulinitas, melainkan merombak nilai maskulinitas itu. Maskulinitas yang seharusnya dimiliki oleh laki-laki adalah laki-laki yang peduli dengan perasaan orang lain, menghargai pluralisme gender sehingga mampu menghindari konflik dan kekerasan, mampu bertutur kata yang sopan dan membangun budaya konstruktif, bukan destruktif.
Baca juga: Merahjingga Kritik Patriarki Melalui Musik
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dalam rangka menciptakan perdamaian dunia, mengadopsi program kerja bersama yang disebut Suistainable Development Goals (SDGs) dan salah satunya adalah upaya untuk menegakkan gender equality. Bagaimana bisa perdamaian tercipta apabila budaya patriarki masih terus berakar kuat dalam masyarakat? Mau tidak mau kita harus menghilangkan patriarki. Rekonstruksi maskulinitas adalah peran kita sebagai laki-laki untuk menghilangkan patriarki, dan cara untuk merekontruksi maskulinitas adalah dengan menjadi LB. Kembali saya tekankan, menjadi LB bukan berarti kehilangan maskulinitas karena setuju dengan feminisme, tetapi menjadi LB adalah proses untuk merekonstruksi maskulinitas yang toxic dengan menyadari nilai-nilai feminisme. Maka dari itu, masihkah kita mau untuk mempertahankan maskulinitas toxic atau merekonstruksi maskulinitas untuk mewujudkan perdamaian?
Saya laki-laki, dan saya mendukung feminisme.
Penulis: Zulfikar