Skenario new normal di Indonesia yang sempat trending di Twitter sejak pekan lalu memang terkesan terburu-buru hingga banyak menuai kritik dari masyarakat. Setelah beberapa waktu lalu sempat heboh dengan RUU kontroversi di tengah pandemi, #IndonesiaTerserah, isu herd immunity sampai kembali bekerjanya masyarakat di bawah usia 45 tahun, new normal kini menjadi topik hangat perbincangan.
Masyarakat seakan dihadapi dengan pilihan; berdiam di rumah dan mati kelaparan atau terus bekerja di luar dengan risiko di tengah pandemi. Periuk negara yang saat ini tengah memburuk di saat pandemi Covid-19 ibarat habis jatuh tertimpa tangga yang menjadi alasan skenario ini cukup darurat untuk diterapkan, katanya sih. Memangnya benar demikian? Memangnya harus banget kita dipaksa hidup berdampingan dengan virus corona? Yuk kita cari tahu ~
Sederhananya, new normal adalah sebuah skenario guna menghidupkan kembali sektor sosial ekonomi yang sebelumnya sempat hiatus. Kalau kata pak presiden sih, kita harus bisa hidup damai dan berdampingan dengan Covid-19. Pak presiden menyebut new normal ini sebagai tatanan kehidupan baru. Pemerintah menegaskan kembali, new normal ini merupakan perubahan perilaku dalam menjalankan aktivitas normal di tengah pandemi Covid-19 dengan menerapkan protokol kesehatan.
Asumsi bahwa negara lebih mementingkan urusan ekonomi dibandingkan keselamatan masyarakat di tengah pandemi tidak sepenuhnya benar. Justru karena negara peduli dengan nasib rakyat, makanya new normal ini dianggap penting, katanya. Imbas pembatasan sosial pada sektor ekonomi bukan main bikin sakit kepala. Sebutlah sektor industri yang terpaksa harus melakukan PHK kepada karyawan-karyawannya, terhambatnya ekonomi mikro, dan pegiat usaha yang banyak gulung tikar menjadi bukti bahwa ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Sederhananya lagi, tidak semua masyarakat punya pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah. Wong masa’ petani disuruh bajak sawah dan memanen padi dari rumah pakai gadget, kan tidak mungkin, kasarnya begitu. Karenanya tidak sedikit masyarakat yang terpaksa harus hidup lebih irit demi bisa bertahan di esok hari. Pandemi Covid-19 bukan lagi mengancam kesehatan dan keselamatan masyarakat, melainkan juga mengancam urusan dapur. New normal pada akhirnya menjadi jalan keluar (menurut pemerintah) untuk mengatasi bobroknya ekonomi bangsa.
Konsep new normal ini memang berupa relaksasi pembatasan sosial dan pemakluman atas berbagai kondisi di tengah pandemi Covid-19. Rumah ibadah akan kembali dibuka, pertokoan dan usaha serupa perlahan akan dihidupkan kembali, sekolah dan perkuliahan juga mulai dipulihkan. Tentu semua itu harus diikuti dengan protokol yang ada, sebutlah kewajiban untuk selalu menggunakan masker ketika beraktivitas di luar, selalu mencuci tangan dan menjaga kebersihan, serta upaya preventif lain guna mencegah penularan Covid-19. Pemerintah sendiri punya setidaknya lima fase penerapan new normal yang dapat diamati pada infografis yang dilansir oleh Tempo dibawah ini.
Prospek new normal sebenarnya adalah hal yang sarat ketidakpastian. Badan kesehatan dunia, WHO telah mengeluarkan indikator untuk penerapan new normal yang dapat dilihat pada infografis sebelumnya. Pertanyaan besarnya adalah apakah Indonesia sudah memenuhi itu semua dan sanggup untuk menerapkannya? Banyak ahli yang menyatakan bahwa Indonesia masih belum siap tapi nyatanya pemerintah sendiri sudah mendeklarasikan aksi damai dengan Covid-19 melalui new normal ini. Padahal angka pasien terinfeksi virus corona tiap harinya belum menujukkan penurunan. Masyarakat bebal yang juga tidak sedikit menjadi tanda bahwa kedisiplinan masih begitu rendah.
Alih-alih ingin memulihkan kondisi sosial-ekonomi tapi antara pemerintah dan masyarakat belum memperoleh kesepatakan jatuhnya hanya akan menambah angka pasien terinfeksi virus corona secara besar-besaran. Ketakutan yang timbul adalah ketika skenario new normal malah menjadi skenario herd immunity, tentu bangsa ini bisa kelabakan dengan kegagalan new normal. Berkaca dari Korea Selatan yang juga menerapkan new normal baru-baru ini tengah menghadapi gelombang kedua yang memang menjadi mimpi buruk. Tidak ada yang bisa memastikan keberhasilan skenario ini.
Tidak sedikit yang menolak, tidak sedikit pula yang optimis dengan rencana pemerintah ini. Jika dilihat dari sisi kesehatan tentu rencana ini akan sangat berisiko jika protokol yang ada tidak dijalankan dengan benar. Kekhawatiran lain timbul akan adanya orang tanpa gejala yang bukan tidak mungkin mempunyai peluang ikut menularkan infeksi di tengah kembalinya aktifitas. Usia produktif dibawah 45 tahun yang digaungkan pemerintah mempunyai imunitas lebih baik nyatanya berlawanan dengan data angka infeksi dan kematian yang sebagian besar berasal dari usia dibawah 45 tahun. New normal juga bukan tidak mungkin dapat membahayakan orang yang rentan seperti lansia ataupun orang dengan penyakit tertentu. Ketika aktivitas kembali dihidupkan, maka masih ada peluang seseorang untuk membawa virus itu ke dalam lingkungan keluarga. Hal ini juga mengingat bahwa kesadaran masyarakat tidak selalu meyakinkan. Selain itu, jumlah fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang belum merata dan sepadan untuk penanganan kasus dalam jumlah besar juga menjadi kekhawatiran. Angka konfirmasi positif yang kian hari bertambah menunjukkan bahwa masyarakat secara umum masih terbilang rentan. Tentu semua wajib menjadi pertimbangan.
Aspek pendidikan juga terkena imbas selama pandemi Covid-19. Sekolah-sekolah yang katanya akan dihidupkan kembali menjadi tanda bahwa penaung lingkup pendidikan harus benar-benar memastikan keselamatan pelajar dalam memperoleh pendidikan, ini sungguh tidak pasti. Masalah perkuliahan juga tidak luput dari pemantauan. Ketika perkuliahan kembali diaktifkan saat new normal maka protokol harus sangat jelas mengatur jalannya pembelajaran. Memang ketika pembelajaran tidak didampingi dengan praktik yang sesuai silabus maka tujuan pembelajaran akan susah tercapai, namun mengembalikan metode di tengah pandemi dengan aturan yang tidak pasti justru lebih berbahaya. Ada banyak hal berisiko dan gamang terkait penerapan new normal jika dipantau dari dunia pendidikan.
Selain itu, sebagaimana yang dilansir oleh laman tirto terkait keterlibatan 340 ribu gabungan TNI-Polri juga menjadi pertanyaan tersendiri. Sentimental terhadap keterlibatan militer memang selalu menjadi hal melekat sedari dulu. Keterlibatan militer seolah membuat new normal akan terkesan abnormal. Pemerintah berdalih bahwa hal ini guna memastikan protokol berjalan baik ketika di lapangan. Memang hal semacam ini bukan lagi hal baru mengingat pemegang sektor kesehatan juga mulai diranahi dari latar belakang militer. Tapi itu bukan prioritas yang harus kita bahas panjang lebar.
Jikalau new normal yang kabarnya akan direalisasikan mulai bulan Juni ini akan benar terjadi, maka jelas semua harus segera bersiap diri. Pemerintah harus memastikan bahwa komunikasi kepada masyarakat terkait new normal ini harus berjalan baik dan dapat dipahami oleh seluruh elemen masyarakat. Pemerintah juga harus memastikan bahwa syarat-syarat yang ditetapkan oleh WHO terpenuhi sebelum new normal benar-benar dilaksanakan. Teruntuk pak presiden, boleh lah new normal-nya dilaksanakan jika kurva sudah melandai yang artinya angka kasus terbilang menurun dan fasilitas kesehatan cukup terjamin. Protokol juga mesti jelas dan kehadiran pemerintah ketika pelaksanaan aturan harus nyata.
Teruntuk saat ini dibandingkan harus berdebat panjang, kita justru harus melihat banyak sisi yang tergores semenjak pandemi ini berlangsung. Langkah pemerintah bisa saja salah dan bisa saja benar, namun keberhasilan sesuatu bukan hanya berada di tangan pemerintah saja. Kita selaku masyarakat punya peran penting dalam menentukan keberhasilan bangkit dari keterpurukan ini. Tetap menjadi pelopor preventif penularan adalah kunci utama ditengah ketidakpastian new normal. Masyarakat dituntut untuk kritis dan bijak di tengah pandemi. Bukan tidak mungkin new normal bisa membantu kita keluar dari keterpurukan, meski kembali lagi semua tetap penuh ketidakpastian. Pada akhirnya, menyikapi new normal dengan bijak dan melihatnya dari berbagai sisi adalah suatu kewajiban. Selain berusaha kita juga mesti berdoa kepada yang menaungi semeseta agar dunia lekas baik-baik saja ~
Penulis: dw