Oleh Mariyadi
mimbaruntan.com, Sambas–Malam semakin lama semakin larut. Langkah kaki para penganut agama islam terdengar samar menuju rumah mereka masing-masing sehabis menjalankan solat Isya secara berjamaah di Mesjid. Tampak beberapa anak muda sedang asyik meghabiskan malam dengan beberapa gurauannya di sebuah ruangan yang terang oleh lampu putih. Masih dalam ruangan yang sama, Jailani seorang tokoh masyarakat sedang duduk di sebuah sofa hijau. Ia memakai baju berwarna hitam bermotif batik keemasan dan kain sarung putih serasi dengan bentuk tubuhnya yang tidak lagi tegap lazimnya seorang paruh baya. Begitulah keadaan rumah seorang tokoh masyarakat sekaligus dukun kampung di saat kami jambangi perihal kebudayaan menanam padi masyarakat dusun Sagang, desa Tri Kembang, kecamatan Galing, kabupaten Sambas yang tidak lagi di laksanakan oleh masyarakat di sana. Sabtu (3/11/2012).
“Ritual proses menanam padi dimulai dengan nyapatek taon (memberi makan bumi),” ungkap Jailani dengan nada santai.
Menurut Jailani, acara nyapatek taon ini dilakukan selama dua hari. Hari pertama, masyarakat mendatangi sebuah makam. Makam tersebut adalah makam ratu tatah jiwang.”Ratu (Ratu adalah panggilan raja saat dulu) Tatah Jiwang adalah pejuang jaman dulu,” tambah Jailani.
Menurut Roni (60) penjaga makam Ratu Tatah Jiwang, di tempat yang berbeda, ratu tatah jiwang adalah seorang pahlawan sebelum jaman raja sepudak. Ratu Tatah Jiwang ini dalam ceritanya mati karena membunuh istrinya sendiri yang mencuri nangka ketika mengandung. Karena telah membunuh istrinya, Ratu Tatah Jiwang Menanam dirinya sendiri. “Ratu Tatah Jiwang ini dalam ceritanya mati karena membunuh istrinya sendiri,” ungkap Roni.
Jailani mengatakan dalam hari pertama tersebut, masyarakat akan melakukan makan bersama dan doa bersama. Makanannya adalah nasi ketan (Nasi Pulut). Doanya bisa berupa doa selamat. “Pada hari pertama ini mayarakat akan datang ke makam yang dari dahulu di percayai dapat memberikan limpahan padi yang banyak. Biasanya acara menanam padi atau nyapatek taon ini dilakukan pada hari Kamis pada bulan Maret. Tanda-tandanya ketika bulan telah memasuki hari ke-belasan,” tambah Jailani.
“Dihari kedua, masyarakat ke sebuah makam di tepi sungai, dekat pemakaman umum dusun Sagang,” ungkap Jailani.
Jailani mengatakan, selanjutnya pada pada hari jum’at, masyarakat pergi ke makam yang satunya di Gayam makam tersebut terletak di dekat dekat dengan pemakaman umum dusun sagang. Mereka membawa padi yang di oseng (rateh) baras kuning, telur ayam, dan nasi ketan. Rateh dan beras kuning akan ditabutkan ke atas kuburan dan telur di tanam pada makam tersebut ditanam. “Masyarakat juga makan-makan di acara tersebut dan akan ada pembakaran kemeyan. bedanya, akan ada sam-sam dalam hari jum’at tersebut,” ungkap Jailani.
Jailani menambahkan, bahwa pada hari terakhir yaitu di hari jum’at tersebut, dilakukan budaya sam-sam. Dalam sam-sam tersebut masyarakat dilarang untuk keluar dari perkampungan dan dilarang menyebrangi dan masuk ke sungai. “ seharusnya orang juga tidak boleh memasuki perkampungan. Dikarenakan jalan kita jalan besar dan jalan umum, kita tidak bisa melarang orang untuk masuk dan itu dilakukan saat dulu. Saat jalan masih belum di perbesar,” tambah Jailani.
Jailani mengatakan, setelah kedua ritual di lakukan, barulah orang menanam biji padi (Ncamai). Sebelum ncamai hendaklah masyarakat melakuakan mandi buang-buang pada padi. Mandi buang-buang ini dilakukan agar padi yang akan dicamaikan mendapat berkah dari penguasa air. “Mandi buang-buang padi haruslah disebuah sungai yang mengalir, Untuk buang-buang disungai, perlengkapannya adalah padi, rateh, beras kuning, dan rokok gantal (sirih yang di bentuk kerucut lalu di isi dengan nasi) dihanyutkan pada air dan dibacakan mantra. Ketika semua perlengkapan tadi mengapung di air, dukun akan mengambil air dengan wadah atau ember. Lalu benih direndam satu hari satu malam dengan air tersebut. setelah itu barulah dicamaikan,” tambah Jailani.
Menurut Jailani Mantra untuk mandi buang-buang padi tersebut adalah
Nage kureh nage bangse sang sulong sang seluang aku tok antarlah ke paoh janggi (baca dua kalimat syaahadat ) datok paoh janggi.
“Nah setelah satu hari satu malam, barulah padi di camaikan,” kata Jailani
Kata Jailani, perlengkapan untuk mencamaikan padi ini adalalah sebuah rokok gantal yang ditanam di tengah tengah area percamaian dan sebuah alat pembuat lobang sebagai tempat memasukan benih padi. “Dalam mencamaikan padi ini, orang-orang yang membuat lobang benih hendaklah tidak memakai baju,” ungkap Jailani.
Menurut Jailani orang yang ingin membuat lobang untuk benih padi haruslah melepas bajunya. Ketika rokok gantal ditanamkan maka mantra ketika menanamkannya adalah
aku tau nabimu tanah
nabi nuh nabimu tanah
aku tau nabimu air
tas geratas nabimu air
aku tau nabimu air
nabi aider nabimu air.
“Setelah 38 hari padi di camaikan barulah dapat dipindahkan ke lahan yang lebih besar,” sambung Jailani.
“ kami tidak mengetahui kalau ada acara-acara tersebut. selain jarang dilakukan juga tidak ada pelestarian sama sekali dari masyarakat,” ungkap Herlizen (21), pemuda dusun Sagang.
Menurut Herlizen melalui pesan pendeknya, dengan adanya pelestarian tersebut generasi muda yang ada di dusun sagang desa tri kembang akan lebih jauh lagi dalam hal-hal tersebut walaupun hal ini juga sirik dipanadang dalam segi agama akan tetapi hal ini bisa diambil dari segi positifnya misalnya dalam penyatuan antara yang muda dengan yang lebih tua karena yang muda sulit untuk mengakrabkan dirinya dengan yang lebih tua disebabkan yang mudah nilai egois lebih tinggi. “oleh karena itu khususnya desa sagang desa tri kembang mari kita tingkatkan lagi kebersamaan kita,” seru Herlizen.
Begitulah keadaan budaya yang ada di dusun Sagang, desa Tri Kembang, Kecamatan Galing, Kabupaten Sambas. Rata-rata generasi mudanya tidak mengetahui kebudayaan nenek moyang mereka disebabkan kurangnya pelestarian.