Sejak awal abad ke-15, pedagang Portugis telah sampai ke Pulau Timor untuk berdagang. Setelah berdagang, mereka memonopoli dan kemudian menjajah. Namun pada tahun 1859, terjadi konflik dengan Belanda yang saat itu sudah menguasai hampir seluruh wilayah Nusantara. Kalah dalam konflik dengan Belanda, Portugis harus merelakan bagian dari Pulau Timor dimiliki oleh Belanda.
Saat Indonesia dikuasai oleh Jepang (1943-1945), Portugis harus kembali merelakan Pulau Timor yang hanya tersisa bagian timur. Namun begitu Perang Dunia II usai, Portugis kembali berkuasa di Timor Timur.
Revolusi Anyelir yang terjadi di Portugis yang terjadi sejak 25 April 1974 membuat Portugis harus benar-benar melepaskan Timor Timur. Rezim otoriter berganti demokrasi.
Setelah Portugis meninggalkan Timor Timur, tiga partai politik muncul di Timor Timur. Masing-masing dengan tujuan dan cara mencapai tujuan itu. Partai yang menuntut segera kemerdekan Timor Timur dan dikenal radikal adalah Frente Revolucionaria Timor Leste Independente atau Front Revolusioner Kemerdekaan Timor Timur. Lebih dikenal dengan Fretilin, Partai beraliran komunis.
Partai yang memiliki tujuan yang sama dengan Fretilin, namun dengan berbeda cara mencapainya adalah UDT (Uniao Democratica Timorense atau Persatuan Demokratik Rakyat Timor). Mereka ingin merdeka secara bertahap.
Satu partai memiliki tujuan berbeda dengan dua partai sebelumnya. Ialah Apodeti (Associacao Popular Democratica Timorense). Tujuannya ingin menggabungkan Timor Timur dengan Indonesia.
Namun belakangan, Fretilin dan UDT yang berlaga di pentas kekuasaan dan politik Timor Timur. Perang saudara pecah pada bulan Agustus 1975. Antara Fretilin dan UDT. Sebabnya kudeta yang dilakukan oleh UDT. UDT yang menilai Fretilin terlalu radikal dan tidak mempersiapkan kemerdekaan secara matang. Fretilin di atas kertas merupakan partai penguasa, karena Fretilin banyak menempatkan orang-orangnya di jabatan penting.
Kudeta UDT dibalas serangan Fretilin terhadap basis pertahanan UDT di Batugade. Membuat pasukan gabungan harus mundur ke hutan. Menurut Kolonel Infanteri Widjdan Hamam dkk, dalam buku Sejarah TNI AD: 1974-1975, serangan ini mengakibatkan korban jiwa 6 orang dari Timor Timur dan 1 warga negara Indonesia. (2005: 98-99)
Fretilin memproklamasikan kemerdekaan secara sepihak 28 November 1975. Dua hari kemudian melalui Deklarasi Balibo, empat partai politik yaitu UDT, Apodeti, KOTA, dan Trabalhista memproklamasikan keinginan mereka untuk mengintegrasikan diri dengan Indonesia.
Respon Indonesia, seperti yang diungkapkan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2007: 590) bahwa, “Jakarta tidak ingin menoleransi adanya sebuah negara merdeka, dan cenderung kiri, di dalam kepulauannya sendiri.” Sejak saat itulah dimulai operasi militer untuk mencegah kemerdekaan Timor Timur dan menjadikannya bagian dari wilayah Indonesia. Operasi itu dikenal dengan Operasi Seroja. Dimulai pada 7 Desember 1975. Tepat hari ini, 43 tahun silam.
Baca Juga: Ramadi dan Malari
Bercak Hitam Operasi Seroja
Seperti yang diungkapkan Ricklefs pada buku yang sama, operasi itu dijalankan dengan kondisi pasukan Indonesia yang kurang terlatih. Juga kurang pengalaman. Hingga ada laporan penyiksaan, pemerkosaan dan perampasan yang dilakukan oleh pasukan Indonesia. Sasaran utamanya adalah etnis Tionghoa.
Kabarnya juga ada lima wartawan Australia yang dibunuh. Namun Jakarta membantah semuanya. “Warga sipil yang menjadi korban diperkirakan 60.000 orang, yang merupakan 10% dari penduduk Timor Timur,” tulis Riclefs (2007: 590).
Amnesti Internasional dan organisasi pegiat HAM mengutuk kebrutalan yang dilakukan militer Indonesia terhadap rakyat Timor Timur. Namun selalu dibantah dan menolak tuduhan itu.
Pada bulan April 1976, sudah 35.000 pasukan Indonesia berada di Timor Timur. Meskipun dengan angka yang lebih rendah, yaitu 30.000 pasukan, Husein Abdulsalam dalam Tirto.id (7/12/2017) menuliskan bahwa Operasi Seroja adalah operasi militer terbesar yang pernah dilakukan Indonesia.
Sekitar 500 orang tewas dalam pertempuran. Fretilin terdesak ke bukit. Terjadi kekosongan kekuasaan. Pada 17 Juli 1976, Timor Timur digabungkan menjadi provinsi ke-27 Indonesia. Kado manis di ulang tahun ke 31 kemerdekaan Indonesia. Tapi tidak manis untuk pendukung Fretilin yang mendukung kemerdekaan Timor Leste.
Oleh negara-negara kapitalis, Indonesia berjasa dalam membendung komunisme. Terlebih setelah Amerika Serikat dipermalukan di Vietnam. Hal ini dikarenakan kekuatan utama dalam perang saudara, yaitu Fretilin yang beraliran Marxisme-Komunisme. Merdekanya Timor Timur berarti membangun sebuah negara komunis.
Integrasi Timor Timur ke Indonesia tidak diakui oleh PBB. Namun dukungan secara de facto maupun de jure oleh negara-negara seperti Amerika Serikat dan Australia serta negara-negara tetangga. Ini sudah cukup untuk melawan pengakuan dari PBB bahwa Portugis masih berkedudukan di sana.
Seperti menyapu debu dan menyimpannya di bawah karpet yang indah dan mahal. Jimmy Carter yang baru naik menjadi Presiden Amerika Serikat pada November 1976 seakan “membiarkan” isu-isu pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer Indonesia di Timor Timur maupun yang lebih besar lagi, yaitu peristiwa pembantaian 1965-1966. Bukan hanya Amerika Serikat sebagai representasi penegakan HAM. Juga karena Jimmy Carter mengusung isu Hak Asasi manusia dalam kampanyenya.
Namun tidak lagi aneh jika ada isu geopolitik yang lebih besar. Ialah Perang Dingin. Indonesia dianggap sahabat yang dibutuhkan dalam membendung komunisme. “…antikomunisme merupakan satu unsur penting dalam keputusan Indonesia menduduki Timor Timur pada Desember 1975,” tulis Ricklefs (2007: 598)
Timor Timur menjadi bagian Indonesia dan matinya pergerakan Fretilin bukan jaminan tidak ada lagi masalah di kemudian hari, karena masih ada hal-hal yang patut diperhatikan. Indonesia berdiri di atas semua wilayah jajahan Belanda yang dulu dinamai Hindia Belanda. Sedangkan Timor Timur adalah wilayah jajahan Portugis. Hal ini menimbulkan perbedaan dalam aspek budaya. Ditambah lagi dalam aspek ekonomi, pembangunan, administrasi dan peraturan yang dirasa diskriminatif untuk mereka. Hal ini menimbulkan masalah politik dan keamanan baru.
Baca Juga: Salam Tangan Kiri
Kemerdekaan Timor Leste
Akibat perbedaan sejarah, budaya, dan ketimpangan ekonomi (provinsi dengan PDB perkapita terendah di Indonesia), terjadi pergolakan di sana. Ricklefs melihat saat itu Timor Timur merupakan wilayah yang berbahaya bagi Jakarta. Sama halnya Aceh dengan GAM-nya. “Hingga 1989, provinsi ini tertutup bagi dunia luar dan ABRI bebas berkeliaran di sana, sebelum provinsi itu dibuka kembali.” (2007: 627).
Terbukanya Timor Timur memberi kesempatan dunia luar untuk menilai kekuasaan pemerintah Indonesia di Timor Timur. Ditemukan ketertekanan identitas politik rakyat Timor Timur dan eksploitasi hasil alam oleh tokoh-tokoh senior ABRI.
Oktober 1991, terdengar kabar bahwa akan datang delegasi dari parlemen Portugis untuk mengunjungi daerah bekas jajahannya. Mereka berkunjung juga dengan membawa 12 orang jurnalis internasional. Terindikasi bahwa mereka mencoba mengorek kembali peristiwa-peristiwa lama yang menjadi catatan kelam militer Indonesia di bumi Lorosae. Jelas permintaan itu ditolak oleh Soeharto.
Aktivis-aktivis pro kemerdekaan yang selama ini melakukan perlawanan bawah tanah sangat menyambut baik kedatangan delegasi dari Portugis. Mereka sudah mempersiapkan penyambutan. Namun nahasnya niatan itu diketahui intelejen Indonesia. Mereka yang membuat spanduk penyambutan di dekat gereja Moteal Dili terus diawasi.
Hingga terjadi keributan pada minggu malam, tanggal 27 Oktober 1991 terjadi keributan antara pemuda pro-kemerdekaan dengan aparat. Ditenggarai sebabnya adalah provokasi yang dilakukan oleh intelejen Indonesia yang memang sengaja memancing keributan. Besoknya, ditemukan jasad Sebastian Gomez. Salah satu pemuda aktivis pro kemerdekaan. Dekat lokasi keributan.
Dua pekan setelah meninggalnya Sebastian Gomez, Pastor Alberto Ricardo memimpin misa arwah di gereja Motela Dili. Misa untuk memperingati kematian Sebastian Gomez ini diikuti oleh ribuan umat Katolik Timor Timur.
Setelah misa, jemaat tadi melanjutkan dengan melakukan unjuk rasa dan long march sejauh 4 km ke pemakaman Santa Cruz. Tempat Sebastian Gomez dimakamkan. Mereka juga membentangkan spanduk bergambar Xanana Gusmao, pemimpin gerakan pro kemerdekaan Timor Leste.
Sampai di pemakaman, tentara Indonesia dengan baju preman telah menunggu. Terjadi lengkingan suara sirine yang memekakan telinga dan tembakan membabi buta. Massa lari tunggang langgang. Beberapa aktivis pro-kemerdekaan tertembak di punggung saat hendak melarikan diri. Kejadian ini dituliskan oleh Paul R. Bartrop dan Steven Leonard dalam Modern Genoside (2014).
Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid I (2009: 28) menyatakan bahwa perubahan politik di Indonesia dengan lengsernya Soeharto dan naiknya B.J. Habibie memberikan dampak yang signifikan terhadap permasalahan Timor Timur. B.J. Habibie menjanjikan status otonomi khusus pada Timor Timur. Namun ditolak oleh tokoh penting dan salah satu pendiri Fretilin, Ramos Horta. Sebab menurut Horta, menerima berarti mengakui penaklukan Indonesia atas Timor Timur.
Pada 39 Agustus 1999 dalam suasana yang damai dan tenang, dilakukan referendum untuk menentukan nasib Timor Timur. Segera setelah jejak pendapat selesai, Kofi Annan dari markas besar PBB di New York mengumumkan sendiri hasilnya. Dari 438.968 suara sah, 78,5% memilih untuk merdeka dan sisanya mendukung otonomi.
Penulis: Aris Munandar