“Bomb City”, film yang dirilis tahun 2017 ini adalah sebuah keniscayaan. Bahwa upaya untuk menghargai perbedaan dan melawan diskriminasi belumlah berakhir meski generasi baru terus bermunculan. Sebuah laku yang masih harus selalu untuk diperjuangkan sampai waktu yang masih belum jelas akhirnya.
Film yang diangkat dari kisah nyata ini bercerita tentang dua kelompok anak muda yang saling berseteru. Brian Deneke, tokoh utama dalam film ini mewakili kelompoknya yang dianggap urakan, sampah masyarakat dan penyebab kerusuhan. Sementara itu, dilain pihak, mewakili kumpulan atlit football (Jock) dari sekolah populer di Kota Amarilo, Texas. Dengan gaya necis yang menggambarkan anak muda yang “normal” ia adalah Cody Gates.
Baca Juga: Bentar-Bentar Servis
Perseteruan hadir sebenarnya akibat perbedaan pandangan antar kedua kubu. Jock menganggap Brian dan teman-temannya sebagai pembuat onar dan perusuh kota. Sedangkan anggota Brian dan kelompoknya menganggap otoritas pemerintah berlaku tidak adil dan diskriminatif kepada mereka.
Dengan perbedaan mendasar tersebut, mereka saling berbenturan meski dalam film ini praktis hanya satu kali perkelahian besar yang terjadi yaitu di bagian akhir cerita. Perkelahian yang merupakan klimaks hasil dari diskriminasi berkepanjangan yang dilakukan oleh Jock kepada Brian dan kelompoknya. Perkelahian yang melibatkan puluhan orang melawan 5 orang dari pihak Brian Deneke. Perkelahian tersebut berakhir menewaskan satu orang yaitu Brian Deneke setelah ditabrak dan terlindas Cadillac yang dikendarai oleh Cody.
Namun yang tak kalah menarik adalah bagian akhir dari film ini, yaitu ketika seorang pengacara dari pihak Cody yang mengatakan bahwa terbunuhnya Brian adalah hasil yang ia terima setelah 6 tahun berada dalam kehidupan menjadi “punk”. Dalam kata lain sesuatu yang memang sudah seharusnya terjadi. Sedangkan tindakan yang dilakukan Cody bukanlah suatu kesalahan meski ia dengan sengaja melakukannya. Sehingga Cody yang merepresentasikan manusia “normal”, baik dan beradab harus dipertahankan dan diselamatkan. dan pada akhirnya Cody Gates sebagai tersangka dinyatakan bebas dari perbuatannya bahkan bisa tetap melanjutkan kehidupannya dengan normal.
Kondisi Intoleransi dan Diskriminatif di Indonesia
Keadaan itu tidak berbeda jauh dari apa yang terjadi di negara hukum Indonesia. Negara yang menganut sistem demokrasi dan paham keadilan sosial sebagai dasar dari bangsa majemuk ini. pembenaran atas nama perbedaan masih kerap terjadi di berbagai wilayah Indonesia.
Pembunuhan Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, persekusi kaum marjinal dan penganiayaan terhadap KH Umar Basri dan kasusnya Meiliani bukankah adalah bentuk dari belum seluruhnya manusia Indonesia bisa menerima perbedaan. Ditambah mengamini bahwa mereka yang berbeda adalah suatu kesalahan tanpa pembenaran.
Suatu pertanyaan besar muncul yaitu mengapa kemudian intoleran ini masih kerap terjadi di zaman yang semakin moderen ini. Film Bomb City mengambil cerita nyata yang terjadi 21 tahun yang lalu, sekitar tahun 1997. Persekusi Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik tahun 2011, Pembakaran pemukiman aliran Gafatar di Kalimantan Barat terjadi tahun 2016 dan diskriminasi kepada kaum marjinal (termasuklah LGBT, ODHA dan sebagainya) tentu terjadi sepanjang tahun. Seakan tidak adanya proses perbaikan dari tiap tahunnya.
Efek Rezim Orde Baru
Pramoedya Ananta Toer, dalam wawancara ekslusif oleh Andre Vltchek mungkin bisa menjawab sedikit pertanyaan besar tersebut. Ia yang tidak cukup rasanya hanya diberi gelar penulis hingga tidak berlebihan adanya bila seorang yang berjasa banyak ini disebut juga seorang budayawan, sejarawan dan juga pelaku sejarah.
Dalam buku terbakar amarah sendirian karya Andre Vltchek ia menjelaskan yang dinilai terdapat hubungan dengan sikap bangsa indonesia yang masih intoleran ini. menurutnya semua itu bermula sejak tahun gerakan gerakan 30 September dan terus hingga kini efeknya masih dirasakan.
Soeharto yang mengawali kesuksesannya menjadi presiden terlama di Indonesia karena ia menggunakan “bahan bakar” berupa ketakutan yang ditanamkan kepada masyarakat indonesia. Ia dengan militernya melakukan genosida dengan membunuh sekitar 2 juta jiwa penduduk hanya dalam waktu 1965-1966, buntut dari konspirasi G30S. Tak hanya disitu, selama 32 tahun kepemimpinanya juga tercatat berulangkali terjadi pertumpahan darah, peristiwa Malari, Kekerasan di Tanjung Priok, peristiwa 1998 atau reformasi juga bentuk sikapnya yang represif dan tidak menghendaki adanya perbedaan dengannya.
Hidup 32 tahun dalam ancaman dan ketakutan nyatanya mampu membuat manusia indonesia yang mulanya masih memiliki bara semangat kemerdekaan menjadi semakin mengecil, padam bahkan trauma. Trauma terutama terhadap adanya perbedaan baik itu secara pemikiran maupun fisik seperti gaya dan tingkah.
Tiga puluh dua tahun memberikan contoh langsung sebagai manusia yang tak menghendaki perbedaan dan dengan apapun menghilangkan perbedaan. Itu nyatanya Soeharto berhasil mentransferkan sifatnya yang tidak suka akan perbedaan dan selalu menghendaki keseragaman dan “ketertiban” untuk terjadi di Indonesia kepada manusia Indonesia.
Potensi di Tahun Politik
Tentu bukanlah suatu hal yang diimpikan bagaimana kehidupan 20 tahun yang lalu namun efeknya masih dirasakan hingga kini. Terlebih bukanlah efek baik yang terasa, melainkan nilai-nilai yang jauh dari nama demokratis serta Pancasila poin ke lima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
Namun sebenarnya, bukanlah upaya perbaikan itu tidak ada. Timbulnya Serikat Jurnalis Keberagaman (Sejuk) ini bisa menjadi pembenaran bahwa upaya perbaikan itu ada dan semakin berlipat ganda. Meski untuk tahun ini dan tahun politik 2019 upaya tersebut akan mendapatkan tantangan yang jauh lebih besar dari tahun sebelumnya. Seperti yang dinukil dari sejuk.org bahwa tahun politik berpotensi untuk mencederai toleransi, terutama jika pemilu 2019 dibumbui praktik yang terjadi di pilkada DKI 2017 silam. Maka bisa dikatakan bahwa toleransi dan demokrasi bukannya berjalan maju, namun malah sebaliknya, mundur ke tahun-tahun sebelumnya.
Baca Juga: Ruang “Bernafas” itu Kian Terbuka Lebar
Meski begitu, tahun politik sebenarnya bisa juga menjadi momentum baik terhadap perbaikan sikap toleran manusia Indonesia. Terutama ketika asas-asas demokrasi yaitu: kebebasan berekspresi ditanggung penuh oleh negara, perbedaan pendapat bisa diterima oleh setiap peserta ditegakan. Hal baik yang tentu akan berdampak positif, bukan hanya pada pemilu itu sendiri, namun pada kehidupan masyarakat setelahnya.
Oleh karena itu penting sekali agar masyarakat sipil yang telah sadar akan kondisi intoleransi yang berpotensi menguat di tahun politik ini untuk mendorong pemerintah ataupun otoritas negara tuk berlaku demokratis. Mengawasi pelaksanaan dan mendorong ditegakannya supremasi hukum sesuai dengan UU. Dengan begitu juga akan dengan sendirinya mendinginkan situasi panas yang ditimbulkan dari pemilu.
Penulis: Adi Rahmad