mimbaruntan.com, Untan – Paradise Of Peatland merupakan film dokumenter yang menceritakan mengenai lahan gambut di Desa Permata, Kecamatan Terentang, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat.
Berangkat dari latar belakang bahwa gambut dikenal dengan sifatnya yang sepok yang berarti tanah yang tidak subur, film ini membuka pikiran masyarakat bahwa sifat tanah gambut tersebut bisa dijadikan lahan pertanian.
Gambut merupakan tanah yang memiliki sifat mudah terbakar, sangat masam, dan minim unsur hara yang menjadikan gambut tidak cocok untuk menjadi lahan pertanian. Desa Permata yang didominasi 70% lahannya adalah lahan gambut. Namun, bagi masyarakat Desa Permata, gambut justru menjadi lahan pertanian.
Mayoritas masyarakat Desa Permata merupakan transmigrasi yang kebanyakan dari pulau Jawa. Di antaranya adalah Sahrul dan Sriyono yang merupakan perwakilan dari warga Desa Permata sekaligus terlibat dalam penggarapan film dokumenter.
Sebagai ketua Gapoktan di Desa Permata, Sahrul mengusahakan penggunaan lahan tanpa bakar (PLTB) dengan tujuan menjaga lahan dan sistem air gambut. Hal ini telah dilakukannya sejak 2018.
Sementara itu, faktor sejarah menjadi salah satu mengapa masyarakat Permata menerapkan penggunaan lahan tanpa bakar (PLTB). Hal itu disampaikan oleh Sriyono saat diwawancarai pada diskusi dan pemutaran film yang berlangsung di Hotel Harris.
“Kita mengajak kawan-kawan untuk tidak membakar, mengingat sejarah di tahun 2015, khususnya di Desa Permata itu terjadi kebakaran hebat, apinya sampai berminggu-minggu tidak bisa dimatikan”, ujar Sriyono pada Rabu (7/9).
Baca Juga: Kepulan Asap dari Sudut Untan
Akibat dari kebakaran hebat saat itu, membuat petani disana tidak dapat memanfaatkan lahan yang tersedia. Hal inilah yang memantik masyarakat untuk mengadakan pelatihan.
“Ketika kita mau memanfaatkan lahannya gak bisa, kita tanam sawit pun mati, apalagi ditanami sayur-sayuran, gak bisa sama sekali. Dari situlah kami berpikir gimana caranya jangan sampai ada kebakaran lagi, sehingga kita adakan pelatihan secara kontinu dan alhamdulillah hingga saat ini tidak pernah terjadi lagi kebakaran di Desa Permata”, tambah Sriyono.
Menjadi tantangan baru dalam mengelola lahan gambut, Sahrul sempat mengalami kegagalan dalam mengelola gambut. Namun, setelah mempelajari kadar asam dan pH dari gambut, Sahrul berhasil mengelola lahan gambut menjadi lahan yang layak untuk ditanami oleh jenis tanaman seperti jahe, padi, dan lain-lain.
Baca Juga: Benih Baru LBH Kalbar
Perjalanan Sahrul dalam mengusahakan lahan pertanian di Desa Permata bukanlah hal yang mudah. Awalnya Sahrul memiliki ekspektasi bahwa tanah gambut merupakan tanah yang subur dilihat dari segi fisik tanah gambut yang berwarna hitam dan berair.
“Pertama kali saya datang ke Kalimantan tuh, wah asik nih tanahnya hitam semua, pasti subur, sedangkan di Jawa kan, tanahnya sudah lika-liku, berbatu. Kalo di tempat saya kan perkebunan susah nyari airnya, sedangkan di Kalimantan kan mudah sekali, tanahnya banyak airnya, ga perlu ambil air lagi dari sungai atau dari mana, itu udah ada. Ternyata uji coba saya pertama kali itu jauh dari gambaran saya,” jelasnya.
Metode tumpang sari yang Sahrul gunakan juga menjadi tantangan baginya. Pemeliharaan tanaman cukup sulit dilakukan. Hal ini karena pemakaian pestisida yang harus dibatasi.
“Misalnya pestisida atau lainnya gitu, kalo dikasih, unsur-unsur hara tuh mudah hilang, sedangkan kalo ga pakai pestisida atau bahan kimia lainnya kok susah sekali,” ungkapnya.
Selain berhasil menerapkan metode PLTB, warga Desa Permata juga berhasil mengolah atau membuat produk berupa jahe instan. Namun, sangat disayangkan produk tersebut belum dapat dipasarkan bahkan belum dikenal oleh banyak orang.
Tingkat persaingan dalam pemasaran hasil panen sangat sulit, terlebih lagi letak desa yang jauh dari perkotaan membuat para petani mengeluhkan pemasaran produk hasil panennya. Faktor cuaca yang akhir-akhir ini hujan dan menyebabkan banjir juga menjadi kendala dalam memasarkan hasil panennya terkhusus untuk dibawa ke Kota Pontianak, sehingga hasil panen tersebut menjadi busuk.
Tidak adanya teknologi khusus, Dwi Astiani yang juga merupakan ahli gambut menyarankan inovasi untuk para petani khususnya di Desa Permata untuk menanam jenis tanaman yang cocok agar dapat menambah jenis-jenis produk yang ada di lahan gambut.
“Jadi perlu ada proses dalam menanam di lahan gambut, bisa bisa menanam jenis-jenis tanaman buah yang cocok, bisa dicoba produk-produk yang ditanam cocok yang mana, kalau baru dibuka apa yang cocok di tanam di situ, sehingga produk-produk nanti bisa menambah jenis-jenis produk yang ada di gambut, saran Dwi.
Pada penghujung diskusi, Sahrul mewakili Desa Permata berharap petani yang khususnya di lahan gambut itu untuk masalah pembinaannya terealisasikan bagaimana pemberdayaannya. Syahrul juga mengingatkan kepada para petani ketika diberikan pelatihan agar dituntaskan hingga selesai.
“Saya harapkan, kalo petani khususnya di ladang gambut itu untuk masalah pembinaannya ya mudah-mudahan direalisasikan bagaimana pemberdayaannya, kalau di kasih pelatihan itu dituntaskan dari A sampai Z. (sampai selesai),” harapnya.
Sahrul menambahkan harapannya untuk pemerintah tidak terlalu sering mengimpor jahe, sedangkan menurutnya di Desa Permata sudah melimpah ruah hasil jahenya.
“Tolonglah untuk jahe, pemerintah jangan dikit-dikit impor, sedangkan kemarin di Desa Permata aja udah melimpah ruah hasil jahenya, mudah-mudahan petani jahe terutama di Desa Permata itu baik-baik saja,” tutupnya.
Penulis: Ifdal dan Vanessa
Editor: Lulu