Well, sekilas sampul buku ini terlihat seperti novel fiksi penuh kisah romansa. Disajikan dengan ilustrasi lelaki berdiri di bawah rintik hujan dan judul yang cukup puitis membuat saya menerka bahwa alur ceritanya dipenuhi momentum menye-menye yang menggelitik perut. Namun, pepatah ‘jangan menghujat buku dari sampulnya’ terasa ketika saya menghabiskan lembar terakhir dari Lelaki di Tengah Hujan, novel sejarah dengan empat puluh dua bab yang membahas kisah Bujang Parewa dan teman-teman dalam memperjuangkan kebebasan dari penguasa yang tak berpihak pada rakyat.
‘Sebuah novel sejarah yang terinspirasi oleh kisah nyata seorang aktivis reformasi dalam meruntuhkan rezim yang otoriter’ tertulis pada sampul bagian belakang, memberikan gambaran kecil tentang apa yang ada di dalamnya. Sejumlah afirmasi dari beberapa tokoh ternama turut menghiasi, salah satunya John Tobing, pencipta lagu Darah Juang yang kisahnya juga tertulis selintas di dalam novel ini. Berlatar belakang era Reformasi 1998, sang penulis, Wenri Wanhar membawa kisah nyata sejarah ini dengan cukup padat dan pelik. Bagi saya yang tak gandrung terhadap sejarah, bacaan ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk dihabisi. Begitu banyak informasi yang perlu ditelisik lebih lanjut dan perlu saya telusuri sebab sekali lagi; saya buta sejarah. Pengakuan dosa kecil ini sebagai klaim awal bahwa saya memberanikan (re: bersikap bodoh) dengan mencoba membuat ulasan singkat dari novel ini.
Antara Parewa, Lereng-Lereng Gunung Desa dan Lorong-Lorong Sesak Kota
Adalah Bujang Parewa, pemuda sedikit punya nyali yang namanya menghiasi bagian pertama dalam cerita tentang bom di kawasan Tanah Tinggi tahun 1998 silam. Sebagai pemuda bergelar mahasiswa, ia tak mau hanya duduk di balik bangku perkuliahan saja. Ia membawa langkah kakinya menjauh hingga ke pedalaman sana, menelusuri rumah-rumah rakyat yang anak-anaknya meringis menahan lapar. Parewa, walau ia tahu punya otak cukup cerdas dan wawasan luas, tak ia biarkan namanya hanya mengisi mading prestasi kampus saja, namun melanglang buana menghimpun relasi dan kekuatan untuk satu tujuan yang sama: kemerdekaan rakyat dari pemimpin represif.
Enam bab pertama memberikan ‘spoiler’ pada apa yang dialami Parewa dan kawan-kawan di akhir perburuan oleh aparat keamanan negara dengan meledaknya bom (Parewa bilang adalah alat yang bisa meledak) di Tanah Tinggi. Disuguhi dengan cerita beralur maju mundur, Wenri Wanhar menyertakan tanggal pasti di setiap kejadian, sehingga memudahkan pembaca memahami alur cerita bolak-balik ini. Pada bab 7 dan selanjutnya, Wenri Wanhar memulai kisah Parewa sejak pertama kali menginjak bangku perkuliahan, membangun forum-forum diskusi mulai dari skala kampus hingga nasional serta dinamika pergerakan mahasiswa yang rentan terhadap kekerasan dan penghilangan paksa. Dari sini, Parewa membawa pembaca dalam kisahnya yang pelik dan bertemu dengan banyak orang hebat, Joni Trotoar dan Widji Thukul salah satunya.
Dari Pers Kampus Hingga Konferensi Agustus
Dalam kisahnya, Parewa menyentil pergerakan berbasis pers mahasiswa (persma) di era reformasi yang rawan represifitas. Bukan kisah umum lagi di masa tersebut pers umum tak punya kebebasan bergerak, sehingga persma-lah yang berperan menjadi corong kritik kepada penguasa. Berawal dari diskusi-diskusi kecil hingga diklat-diklat jurnalistik, Joni Trotoar, aktivitas jalanan yang juga berperan sebagai Pimpinan Redaksi Majalah Pijar bersama rekan sejawat membentuk Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) sebagai formalisasi jaringan persma se-Indonesia. Meski dilindungi sejumlah peraturan dan perundang-undangan, pergerakan persma di masa orde baru (orba) kerap kali mengalami pemberedelan sebab kritik telah dianggap menjadi musuh negara, mungkin hal ini menjadi kebiasaan hingga saat ini. Buku ini pula membawa pembaca pada sepanjang tahun 1991 hingga 1997, sejumlah lembaga pers mahasiswa dan pers pada umumnya diberangus paksa gerak dan produknya. Suasana yang sama pula terjadi pada aktivis pergerakan di jalanan, termasuk Parewa dan kawan-kawan.
Bermula dari pers mahasiswa, aktivis pergerakan, hingga organisasi mahasiswa berskala nasional turut ambil andil dalam perjuangan melepaskan diri dari kekuasaan orba. Parewa dan sesama rekan perjuangan menghimpun kekuatan antara mahasiswa, buruh tani dan rakyat kota dalam satu komando yang sama. Saya mendapati banyak sekali dinamika politik dan kepentingan terselubung yang mewarnai kisah perjuangan dalam buku ini. Parewa dan idealismenya ingin mengabarkan bahwa karakteristik jalan pergerakan Indonesia tidak bisa disamakan dengan negara lain, melainkan harus berkaca pada kondisi internal di dalam negeri itu sendiri. “Pentingnya Iqro!,” kata Parewa dalam membaca situasi negara, khususnya pada masalah pengangguran, kemiskinan, demokrasi dan keadilan. Parewa dalam masa mudanya memperjuangkan kesadaran mahasiswa dan rakyat akan potensi bangsanya sendiri yang dijajah kepentingan pribadi.
Semoga saya tidak memberi contekan terlalu banyak dalam ulasan ini. Sebab, pembaca harusnya mengalami sendiri rasanya menyusuri sejarah lewat Parewa dan perjuangannya meruntuhkan kekuasaan oligarki. Terakhir, saya sertakan sebuah puisi karangan Joni Trotoar, salah satu karakter favorit dalam cerita ini.
Benar kami hanya rakyat jelata
Tepi negeri ini pun kami punya
Hak kami tak bisa kau rampas
Benar kami hanya buruh biasa
Tapi kami pun punya harga diri
Tanpa kami..
Pabrik adalah rumah-rumah hantu
Mesin adalah rongsokantak berguna
Dan modal hanyalah sebuah angka
Sebab uang bukanlah babi yang bisa beranak
Adios, selamat membaca!
Penulis: Himalaya