Cuaca pagi itu cerah. Halaman Fakultas Pertanian (Faperta) Untan terlihat padat oleh ratusan mahasiswa menggunakan kostum layaknya petani zaman dahulu. Dari kejauhan keberadaan dua traktor besar berwarna hijau dan traktor berwarna merah yang sedang dinaiki oleh mahasiswa. Reporter melakukan perbincangan singkat dengan agenda yang tertanggal dilakukan. “Kami ingin jalan-jalan yang mengolahnya bang, soalnya di jalan raya banyak orang tidak tahu traktor,” kata Safriadi.
Safriadi merupakan mahasiswa pertanian yang siap melakukan pengemudian traktor. Mahasiswa yang bermuka oval ini tampak semangat memakai topi berwarna hijau menaiki traktor berwarna merah. Terlihat Safriadi sangat menikmati mengemudikan traktor itu sampai scream kepada orang yang lewat. “Ingatlah dulu petani dulu, bagaimana mereka melawan dulu,” katanya.
Baca Juga: Belajar Damai Dari Masjid – Pura
Setelah kewajiban mengemudikan traktor itu berhenti di depan pintu masuk utama Faperta Untan untuk mengiring mahasiswa pertanian melakukan pawai yang akan diperlihatkan Jalan Ahmad Yani Pontianak. Kostum yang merupakan mahasiswa beraneka ragam. Mulai dari kostum yang cocok dengan daun-daunan, kostum dari aneka holtikultura, kostum dari daging merah, dan sebagainya.
Dalam melakukan perjalanan menuju Bundaran Digulis, kemacetan mulai terlihat. Hampir sepanjang perjalan mahasiswa ini menyanyikan lagu buruh tani ciptaan Safi’i Kemamang. Seorang pria kelahiran Lamongan, Jawa Timur, 5 Juni 1976. Tidak hanya lagu, kata-kata yang mereka ucapkan, “Petani Pahlawan Bangsa,” disuarakan sepanjang jalan.
Lebih dari satu jam, ratusan mahasiswa ini mulai dari bundaran sampai menuju Faperta Untan. Sesampai di bundaran kemacetan mulai panjang terlihat. Para petugas polisi kewalahan untuk mengatasi kemacetan.
Baca Juga: BEM Faperta Untan dan AIESEC Untan Adakan Pengmas di Pulau Lemukutan
Orasi singkat disampaikan oleh Presiden Mahasiswa (Presma) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Pertanian Untan dengan menggunakan megaphone berwarna putih dengan naik di atas traktor. Sigit Gigih Prasetyo menilai bahwa konflik reforma agraria di Kalimantan Barat semakin meningkat bahkan para petani selalu mata sebelah mata. Pemerintah daerah harus mendesak reformasi reforma agraria dalam mewujudkan Indonesia lumbung pangan tahun 2045.
Saat ini para petani selalu mengintronisasikannya terhadap perusahaan dalam mengambil hak milik para petani. “Tanah ini kurang dipahami oleh pihak perusahaan dalam perluasaan lahan”, ungkapnya disela-sela orasi.
Di sisi lain para mahasiswa yang tergabung dalam agenda ini sangat menyenangkan. Seperti yang dialami oleh Cordinus Asado, mahasiswa asal Ketapang. Ia mengaku sangat senang dapat mengikuti agenda ini selalin memberikan pengalaman baru dan juga merintis usaha dalam menghasilkan produk pertanian dalam memenuhi kebuthan masyarakat. “Luar biase celane saye dari bawah ke atas bang sampai koyak ngikut pawai ini,” ceritanya.
Penulis: Suryansah
Editor: Aris Munandar