Pagi itu, embun masih setia melekat di dedaunan, ayah bangun dengan sorot mata yang hangat, namun garis-garis lelah tak bisa disembunyikan. Ayahku bukan orang yang banyak bicara, ia membiarkan tangannya kasar dan langkah tegapnya bercerita.
Dari pagi ke pagi, ayah memikul karung demi karung dengan tenaga yang tak pernah surut. Ia memulai pekerjaannya sebelum fajar menyapa, dengan mengangkat karung-karung berat berisi beras, tepung, atau apapun yang perlu dipindahkan. Langkahnya kokoh, tapi terkadang pulang dengan bahu merosot. Seolah semua berat beban hidup beristirahat di sana.
Begitu menginjakkan kaki di rumah, ayah menyapa dengan senyuman yang sama hangatnya. Ia menepuk punggungku lembut, bahkan saat tangannya terasa kasar di kulitku.
“Bagaimana sekolahmu, Nak?” Tanyanya.
Selalu diikuti senyuman yang membuatku merasa aman. Aku tahu, di balik senyum itu ada janji yang tak pernah ia ucapkan, bahwa aku tak akan pernah kekurangan.
Aku tumbuh dalam naungan pengorbanan yang tak pernah ia ceritakan padaku. Ia adalah sosok pertama yang kulihat saat membuka mata dan sosok terakhir yang kupikirkan sebelum tidur.
Waktu berlalu dan aku mulai menyadari. Pakaian ayah semakin lama semakin lusuh, tapi ia tak pernah sekalipun membeli pakaian baru. Sepatunya mula usang dan aku melihatnya menjahit diam-diam di malam hari, menambah bagian-bagian yang robek agar masih bisa digunakan.
Saat itu aku berjanji, aku akan membuat ayah ku tersenyum, tapi bukan senyum lelah yang biasa dipakai untuk menutupi segala beban hidupnya. Aku ingin memberi ayah senyuman sejati, senyum yang tak perlu disembunyikan oleh rasa lelah.
Tahun-tahun berlalu, aku berdiri di atas panggung kelulusan, mengenakan toga yang tak pernah kuimpikan. Dari kejauhan aku melihat ayah berdiri di barisan belakang, mengenakan pakaian sederhana yang pernah ia kenakan. Sorot mata bangga dengan senyum hangatnya, meskipun garis-garis keriput yang bertambah di wajahnya.
“Ayah,” kataku pelan,
“Ini semua untuk ayah. Aku berjanji, aku akan selalu membuat ayah bangga,” sambungku berucap penuh haru.
Air mata yang selama ini disembunyikannya akhirnya tumpah. Ia mengangguk dan untuk pertama kalinya, ayah tak perlu lagi memakai senyum yang dipaksa. Aku tahu, di dalam tangisan itu ada rasa lega yang tak pernah bisa ia utarakan.
“Ayah hanya ingin kau bahagia,” jawabnya dengan suara bergetar pula, memelukku erat. Pelukan yang selalu menenangkanku sejak kecil.
Penulis: Uis