Pagi itu mentari tak seterik biasanya. Gurat awan tampak mendung bekas hujan tadi subuh. Seantero desa sudah memulai aktivitasnya lebih pagi dari matahari. Walau hawa dingin menusuk tulang, tak ada alasan untuk bergulung dalam balutan selimut hangat atau sekedar duduk menyeduh secangkir kopi. Padi-padian yang mulai menguning, pohon-pohon hijau menjulang tinggi, dan kerbau pembajak sawah menjadi kawan setia mereka. Semua tampak sibuk menyambut hari walau dengan caping dan sandal jepit seadanya. Tak terkecuali Ayahku, ia sudah siap berkebun, mengeluarkan sepeda ontelnya, dan tas ransel yang di dalamnya berisikan buku-buku. Sementara Ibuku juga sudah mulai mempersiapkan perlengkapan membatik untuk kelas membatik yang ia adakan setiap pagi di depan teras rumah. Setiap kali kami sekeluarga menyelesaikan sarapan, Ayah dan Ibu selalu berpesan agar aku dan adik belajar di sekolah dengan sebaik-baiknya. Pendidikan adalah pilar pembangunan penting ke depannya, itulah yang senantiasa ditanamkan kedua orangtuaku.
“Tenang saja, nanti pulang aku bawa sekeranjang penuh ilmu,” kataku diikuti suara tawa Ayah dan Ibu.
“Kalau aku, bawa dua keranjang penuh,” sambung adik kecilkku yang masih duduk di bangku kelas satu sekolah dasar.
“Jangan pakai keranjang, kapasitasmu lebih besar dari itu,” saran Ayah sambil memeluk aku dan adik.
***
Aku baru menyadari sesuatu hal penting yang seharusnya sudah kupertanyakan sejak dulu. Ayahku adalah pemimpin di desaku. Beliau punya kebun yang luas, sawah berpetak-petak, rumah dinas, gaji yang besar, bahkan belakangan aku baru tau bahwa pendiri sekolah, puskesmas, jalan, dan beragam kemudahan aksesibilitas yang ada di desa ini adalah Ayahku sendiri. Seluruh warga desa sangat baik pada Ayah, begitu juga sebaliknya. Tetapi, rasanya dari pertama aku dilahirkan hingga kini telah duduk di bangku kelas 3 SMA yang kudapati adalah kehidupan yang jauh sekali dari kata mewah. Setiap hari yang kujalani adalah kesederhanan yang dibungkus manis oleh keramahan Ibu dan kasih sayang Ayah yang tak ada habisnya. Sebetulnya ini semua sudah cukup membahagiakan. Namun sekali lagi, dari bagian hatiku yang paling dalam kurasa ini tidak adil. Aku juga ingin menemukan mobil, AC yang dingin, makanan mahal, dan benda-benda yang lebih layak berada di rumahku. Ayah, Ibu, aku, dan adik berhak mendapatkan itu semua. Ayahku sudah terlalu keras bekerja untuk banyak orang, Ibu juga sudah begitu rela menyumbangkan waktunya untuk mengajari warga desa membatik, sementara aku dan adik pun sudah kelelahan kalau harus jalan kaki ke sekolah. Seharusnya kehidupan kami tak sesederhana ini.
Desaku adalah desa yang sejahtera. Ayah sudah berhasil membangunnya dengan sangat baik. Bayangkan saja, ketika desa-desa lain tertinggal dan masih merangkak memakmurkan warganya, desaku sudah lebih dulu mencapai taraf berkecukupan bahkan lebih dari cukup. Tak ada lagi keluhan kemiskinan, kebodohan, kemeralatan, dan segala permasalahan di negri ini yang hari ini masih dipertanyakan solusinya. Anak-anak bersekolah dengan fasilitas pendidikan yang layak dan tenaga pendidik lulusan universitas terakreditasi. Para kepala rumah tangga produktif dalam bekerja, tidak ada istilah pengangguran. Ibu-ibunya juga aktif dalam kegiatan wirausaha, membatik, berkebun, dan segala macam kegiatan lain yang membuatnya tak hanya jadi ibu rumah tangga. Semua sudah membentuk citranya masing-masing. Dan Ayahku, berperan di balik kesuksesan itu semua.
“Aku ingin punya handphone canggih yang bisa lihat dunia ini lebih dekat, ”pintaku pada Ayah malam itu.
“Nanti kamu akan keliling dunia dengan kakimu sendiri,” jawabnya dengan senyum ciri khasnya.
“Tapi kapan Yah? Aku juga mau punya mobil, biar sekolah tidak kehujanan dan kepanasan,”lanjutku tak mau kalah. “Ayah kan pemimpin di desa ini. Ayah punya rumah dinas, punya sawah dan kebun yang luas, gaji besar, dan banyak hal lainnya tapi kenapa kita hidupnya masih begini saja? Kenapa tidak pindah ke rumah dinas Ayah yang lebih besar itu? Di sini atap kita sering bocor kehujanan, tidak ada AC, tidak ada kolam renang, dan aku bosan Yah. Ayah juga bisa beli mobil, kenapa mempertahankan sepeda ontel tua yang jelek ini? Aku dan adik sudah lelah jalan kaki ke sekolah, makan tempe dan tahu setiap hari, dan aku ingin kita berhenti berjuang melawan hidup yang sebetulnya dapat kita terima dengan segala kemewahan yang tersedia,” keluhku.
“Akhirnya kamu sampai di titik ini juga Rim. Di titik dimana kekritisanmu mulai tampak dan di titik ini pula Ayahmu wajib menuntunmu ke jalan yang benar,” Ayah tetap tenang, tidak tersulut api amarah.
“Kesederhanaan yang akan menuntun kita menuju kebahagiaan yang hakiki. Kemewahan yang terlihat indah tak selamanya indah. Yang penting itu kita kaya hati, bukan materi. Kebahagiaan orang lain adalah kebahagiaan kita juga. Itu esensi kebahagiaan sejati,”Ibu ikut menambahkan. Menutup makan malam hari itu lalu menyuruhku dan adik untuk tidur.
***
Sabtu sore di akhir bulan Juni ini, aku berniat menjelajahi seluruh rumah warga desa. Menyapanya hangat lalu mengajaknya bicara banyak hal perihal Ayah. Aku ingin melihat dengan lebih dekat bagaimana presepsi mereka tentang Ayah yang konon kata orang adalah sosok pemimpin ideal. Seluruh warga desa menyambutku dengan sangat manis, menyuguhkan secangkir teh hangat dan biskuit gandum hasil buatannya sendiri.
“Kamu ingat waktu krisis pangan dua tahun yang lalu?” tanya Pak Mansur saat kuselesaikan penjelasan maksud kedatanganku ke rumahnya.
“Ya, ingat. Lalu apa kaitannya dengan pertanyaanku?”kataku balik bertanya.
“Sangat jelas kaitannya. Ketika seluruh penjuru negri harus mengalami krisis pangan yang melanda secara tiba-tiba, desa kita tetap eksis mempertahankan kemakmurannya. Kita tidak merasakan bagaimana sulitnya mencari sesuap nasi, berbelanja kebutuhan, dan segala macam yang dielu-elukan orang lain di luar sana. Bahkan kita justru mengadakan donasi untuk negri, menyumbangkan apa yang dapat kita sumbangkan, dan berbagi hal yang mampu kita bagikan. Kita tidak pernah merasa miskin karena selama ini Ayahmu lah yang mengajarkan bersyukur dan hidup dalam kesederhanaan. Dan yang paling berkesan, berbagi tak pernah memiskinkan kami” jelasnya dengan logat Jawanya yang kental.
“Kalau soal berhemat begitu, aku pun tau betapa iritnya biaya hidup di rumah,” responku tak sepaham.
“Begini Nak, Ayahmu rela hidup dalam kesederhaan demi kebahagiaan banyak orang. Berkat simpanan uang dan beras Ayah, desa kita terbebas dari krisis pangan. Terlalu banyak pembangunan yang dibuat atas dasar inisiatif Ayahmu. Kebaikannya tidak mampu kuceritakan kalau hanya dalam waktu sehari. Ayahmu adalah pemimpin terbaik,” jawabnya dengan wajah berseri-seri. Rupanya sebegitu berjasanya Ayah di mata banyak orang.
“Aku pamit pulang,” tutupku setelah merasa puas akan perjalanan hari ini.
Akhirnya pertanyaanku sudah menemukan jawabannya. Ini alasan dibalik kesederhanaan hidup yang Ayah ajarkan.
******
Sejak hari itu, aku tidak lagi banyak mengeluhkan hidup pada Ayah dan Ibu. Penerimaan yang baik ini kujalani dengan perlahan-lahan. Apalagi mengingat bahwa setelah ini aku akan merantau jauh dari desa, melanjutkan pendidikan di kota besar untuk kemudian pulang membawa kelulusan yang didambakan banyak orang. Sekali lagi menurut Ayah, ini bukan persoalan label gelar wisuda, melainkan tentang bagaimana setelah ini aku dapat mengabdi menjadi insan yang bermanfaat. Baiklah, akan kupegang erat amanah Ayah ini.
Kehidupan kota betul-betul mengubah mataku seratus delapan puluh derajat. Di sini tidak lagi kutemukan pepohonan menjulang tinggi, melainkan menjadi gedung-gedung penembus cakrawala. Tidak lagi kutemukan keramahan orang-orang, udara segar, dan segala keakraban yang sering kudapati di desa. Modernitas, kecanggihan teknologi, dan gaya hidup mendekati titik glamoritas yang tak ada ujungnya. Materi, materi, dan materi. Kehidupan yang dijunjung tinggi adalah kemewahan yang dihindari Ayah dan Ibu. Aku seringkali menelfon Ayah untuk memastikan bahwa tempat yang kujalani sekarang tak pernah berbeda dari zaman yang sedang Ayah jalani di desa.
“Lingkungamu boleh berubah, tapi prinsipmu tidak. Bergaul dengan siapa saja, asalkan tetap pada jalan yang benar. Ingat saja pesan Ayah,”nasehat dari ujung telefon.
“Tetapi dunia di sini lebih kejam Yah. Banyak sekali kriminalitas, seperti perampokan dan pembunuhan. Di balik kemewahan gedung-gedung, justru ada banyak orang miskin dan terlantar. Anak yang seharusnya masuk dalam usia sekolah sering kudapati sedang mencari sampah untuk menyambung hidup barang sehari dua hari. Pengangguran begitu membludak hingga seringkali dikaitkan dengan kemiskinan dan kriminalitas. Kendaraan menjadi moda yang memperparah kemacetan. Sangat jarang kulihat sepeda ontel mirip punya Ayah ada dijalanan. Ketimpangan ini, membuatku demam selama satu hari,”ceritaku dengan antusias.
“Selama ini kamu hanya berada dalam kotak kecil yang tak ada apa-apanya. Sudah saatnya kamu lihat dunia dengan kacamata kelas dewasa, saksikan sendiri betapa kompleksitasnya masalah di negri ini,”tutup Ayah pada telfonku malam itu.
Aku selalu menceritakan apapun yang kuhadapi di sini pada Ayah dan Ibu. Mulai dari ketakjubanku melihat bangunan mewah, ketidakramahan manusianya, hingga polusi udara yang buruk. Hal manis semacam melihat wisatawan asing atau perihal jatuh cinta pada rasa es krim di kampus juga tak luput untuk kuceritakan.
***
Setiap kali masa liburan semester tiba, aku selalu pulang ke desa. Membayar segala kerinduan pada keluargaku, kampung halamanku, dan perasaanku yang masih tertinggal di sana. Hari ini adalah liburan semester akhir yang membuat kepulanganku menjadi lebih berharga. Berharga, karena ada bahan diskusi bersama Ayah yang sudah ingin kupertanyakan sejak lama.
“Banyak sekali pejabat yang terjerat kasus koruptor. Mereka mengambil uang rakyat, terbuai dalam jabatan yang seharusnya erat sekali dengan amanah yang nantinya akan dipertanggung jawabkan dunia akhirat. Mereka seakan lupa bahwa makan uang haram itu tidak bikin kenyang. Berkah yang Ayah ajarkan benar-benar tidak tergambar nyata di hati orang-orang berpendidikan tinggi itu. Kenapa sih Yah koruptor tidak dihukum mati saja?”tanyaku sambil mengunyah ubi goreng buatan Ibu.
“Kamu harus tau, bahwa ada banyak hal yang melenakan di dunia yang fana ini. Harta dan jabatan. Sangat realistis kalau orang melakukan kesalahan, namanya juga manusia. Setinggi apapun pendidikan seseorang, sebaik apapun ia di mata orang, kalau imannya lemah ya hancur sudah. Disitulah pondasi keimanan punya peran,”kata Ayah sambil membetulkan letak kacamatanya.
“Bukan realistis, tapi tidak berperikemanusiaan. Esensi Pancasila betul-betul tidak tertanam di hati orang-orang yang mengakunya cinta Indonesia. Tidakkah mereka malu” komentarku dengan wajah kecewa.
“Menurut Ayah, yang perlu dimatikan bumi ini adalah permasalahannya bukan manusianya.”lanjutnya.
“Ayah selalu marah setiap kali aku menceritakan tentang kasus pembunuhan, pemerkosaan, diskriminasi, kemacetan, dan sebagainya. Sementara tiap kali aku bercerita soal korupsi di negri ini, Ayah memilih untuk tetap berprasangka positif. Kenapa?”tanyaku dengan tegas.
“Tidak, Ayah hanya tidak tau bagaimana solusinya.”
“Tidak tau bagaimana solusinya? Apa jangan-jangan Ayah juga bagian dari koruptor itu? Ayah selama ini korupsi?” tanyaku tanpa beban.
Plak. Meja di depanku dipukul dengan keras. Mata Ayah sudah tak sehangat biasanya. Ada amarah yang berkecamuk dalam raut wajahnya. Kulihat Ibu menahan Ayah agar tidak meluapkan emosinya pada kekerasan. Kusaksikan untuk pertama kalinya dalam hidup kemarahan Ayah yang hebat.
Hari itu, aku dan Ayah mogok bicara.
******
Satu hari akan terasa seperti satu tahun ketika perasaan kita sedang tidak baik-baik saja. Terlebih ketika permasalahan tersebut menjadi momok kebisuan di rumah ini. Ayah diam saja, tidak mau menghampiriku yang sedang salah tingkah di pojok jendela. Kemudian adikku datang, membisikiku bahwa Ayah ingin bicara serius. Akhirnya dengan segenap keberanian aku duduk di depan Ayah, bertekuk lutut, dan memohon maaf di hadapannya. Tak kusangka, ia menangis dan memelukku.
“Ayah paham, kamu benci kejahatan. Ayah senang kamu sudah sampai pada titik ini lagi, titik dimana kamu tak hanya kritis tapi juga sudah siap terjun mengabdi. Sudah saatnya, kamu gantikan posisi Ayah memimpin desa ini. Ayah percaya kamu bisa dan punya potensi yang jauh lebih baik dari Ayah,”ia membuka pembicaraan hari itu dengan wajah sembabnya.
“Ayah percaya padamu,”lanjutnya.
Itu momen terakhirku bersama Ayah. Hari itu, tepat pukul dua belas siang, di hari kemerdekaan Republik Indonesia Ayahku meninggal dunia. Ia pergi bersama tangisan kesedihan banyak orang dan kenangan-kenangan yang masih membekas hangat dalam ingatan. Tak akan terlupakan.
*****
“Ayah adalah anak seorang koruptor yang kemudian dihukum mati di penjara. Ibunya meninggal setelah tidak tahan mendapatkan hukuman sosial dari tetangga dan kerabat sekitar. Abang Ayahmu melarikan diri pada narkoba hingga harus menjadi narapidana dan menjalani rehabilitasi. Hanya Ayahmu yang menyelamatkan hidupnya dengan baik, hijrah ke desa ini dan menikahi Ibu. Ia memulai kembali hidupnya mulai dari awal, kehilangan justru menguatkannya, dan tekadnya hanya satu membayar dosa-dosa Ayahnya lewat pengabdiannya pada pembangunan desa ini. Ia ingin setelah ini setidaknya sekian persen hartanya dapat disumbangkan untuk anak negri yang membutuhkan.”
“Benarkah Bu?”
“Itu alasan kenapa Ayahmu tak pernah mau bersuara tiap kali kamu membahas mengenai koruptor. Yang harus diperangi itu karakter buruknya, bukan manusianya.”
Sejak hari itu, aku sadar bahwa perjuangan Ayah sesungguhnya belum selesai. Akulah yang harus meneruskan jejak kebaikannya, semangat juangnya, dan kepemimpinannya yang dermawan. Semua ini untuk Indonesia, setitik kebaikan akan melahirkan kebaikan-kebaikan lainnya dan aku ingin seisi negri bahagia. Terjauh dari bencana kemiskinan, kemelaratan, kebodohan, bahkan korupsi. Benar kata Ibu, yang harus diperangi adalah karakter buruknya, bukan manusianya.
Karya : Sekar Aprilia Maharani