Sejak itu, sejak Ayah bercerita perihal kebenaran yang kian hari kian terkikis , aku jadi mengerti tentang sesuatu yang harus kuperjuangkan hari ini dan seterusnya. Tidak lagi tentang menuntut uang jajan berlebih, jalan-jalan setiap waktu libur tiba, atau tentang kemerdekaan diri sendiri tanpa aturan yang merepotkan. Ini bukan mengenai aku dan duniaku yang hakiki, tetapi ini tentang bagaimana peranku bagi orang lain, bagaimana aku dapat bermanfaat, dan merendahkan hati untuk sedikit berbagi apa yang dapat kubagikan.
Ayah bilang, dunia semakin hari semakin butuh orang-orang baik. Orang-orang yang tidak hanya cerdas secara pola fikir, tetapi mereka yang kaya akan budi, hati, dan imajinasi. Kita tidak boleh terlalu sibuk memikirkan urusan sendiri, memperkaya diri, sampai lupa bahwa definisi kesuksesan kita di dunia sebetulnya adalah tentang sejauh apa kita dapat menolong sesama dan bermanfaat. Kini aku sadar, dari dulu hingga detik ini aku hanya terlalu kalut dengan urusan jam tidurku, menu makan enakku, kuotaku, atau tentang rentetan tugas kuliah yang kubuat semaksimal mungkin. Semua hanya semata-mata dariku, untukku, dan olehku. Tidak ada unsur memerdekakan hak orang lain, bertindak untuk mereka, atau setidaknya sedikit melirik dan mendoakan rakyat kecil agar mendapatkan hidup layak sebagaimana mestinya. Aku lupa, bahwa selama ini misiku cuma satu, definisi suksesku terlalu sempit, hanya sebatas kebahagianku agar tidak rusak direnggut orang lain. Terlalu mendewakan ego, apatis, dan ini kusebut kanker yang harus diberantas tuntas.
“Tentang kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan zaman, sebetulnya solusi utamanya tidak melulu soal pendidikan.” Ayah membuka percakapan di meja makan, siang itu. Ia sedang mengajakku mengkritisi argumennya hingga akhirnya berakhir dengan kekalahanku karena jawabanku selalu tidak pernah cocok untuknya. Selalu begitu, sejak aku duduk di bangku sekolah dasar hingga kini sudah menjadi seorang mahasiswa semester tiga. Ia bilang, ini semua mata pelajaran yang tidak diajarkan di sekolah dan akan diberi tau jawabannya oleh waktu.
“Tapi pendidikan adalah ukuran mutlak untuk mengetahui kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Pendidikan adalah pilar utama suatu pembangunan. Kalau sumber daya manusianya berkualitas maka suatu bangsa akan ikut berkualitas pula, baik dari segi pembangunan sosial, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya.” Aku menatapnya penuh senyum, kurasa ini jawaban terbaik dan tidak bisa terpatahkan lagi.
“Itu jawaban paling klasik yang sudah sering kudengar. Mana jawaban dari seorang mahasiswa yang katanya terdidik dan terpelajar?” Ia tertawa menatapku, masih belum puas akan jawaban yang kurasa sudah sesuai dengan literatur yang kubaca.
“Permasalahannya karena pemerintah belum melakukan pemerataan pendidikan secara maksimal. Sarana prasarana pendukung kemajuan siswa hanya dapat dinikmati oleh mereka yang tinggal di kota, sementara untuk daerah-daerah terpencil harus sabar dengan fasilitas minim yang seadanya dan bahkan tak layak. Itu jelas mengurangi kualitas yang dapat mempengaruhi persaingan daya saing secara global.” Kataku mencoba menjelaskan sambil mengingat kasus kesenjangan yang marak terjadi belakangan ini.
“Apakah sistem pendidikan kita cenderung membosankan? Sampai-sampai banyak anak di kampung yang lebih suka kerja kemudian menghasilkan uang dibandingkan bersekolah tapi menghabiskan uang? Satu hal lagi, pendidikan tidak bisa dijadikan patokan kesuksesan pembangunan suatu bangsa kalau faktanya justru yang korupsi adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi.” Katanya menatapku serius, rupanya ia belum juga kehabisan cara untuk menundukkanku.
“Bukan sistem pendidikannya yang salah, tetapi diri individunya itulah yang perlu diperbaiki. Pendidikan itu mahal, karena bayarannya adalah memberantas kebodohan, kemiskinan, dan segala bentuk penjajahan yang ada. Salah satu yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah buruknya infrastruktur yang ada. Kelayakan infrastuktur memainkan peranan penting bagi terselenggaranya proses pembelajaran yang ada. Itu saja. ”Nada bicaraku sudah mulai naik, pertanda akan ada ledakan besar terjadi.
“Pemikiranmu terlalu sempit. Hanya lihat sesuatu dari sudut pandang morfologi atau yang nampak saja. Kalau itu jawabanmu, aku juga sering baca itu di google. Coba berfikir lebih intens lagi, resapi, amati, dan pekalah terhadap apa yang terjadi.” Ayah membetulkan letak kacamatanya, mengunyah makanannya dengan semangat. Seperti sedang melumatku agar kembali kalah, untuk kesekian kalinya.
“Ayah memang tak pernah suka dengan jawabanku. Selamanya memang tidak pernah sependapat denganku. Ini terakhir kalinya aku mau diajak diskusi tentang hal-hal yang tidak perlu kufikirkan!” Selera makan siangku sudah hilang direnggut amarah yang berapi-api. Tidak lagi mau kuteruskan berdiskusi membosankan yang selalu terjadi setiap jam makan siang sejak 14 tahun lamanya. Menghabiskan waktu dan energi dengan sia-sia.
*****
Sudah tiga hari aku mogok bicara dengan Ayah. Tidak mau makan siang di meja makan, tidak juga mau diajaknya jalan-jalan sore tiap akhir pekan tiba. Pikiranku sedang berkecamuk, tidak sabar akan jawaban makna dibalik empat belas tahun aku di ajak berdiskusi membahas isu yang tidak penting buatku. Ayah betul-betul membuatku bingung. Menuntutku untuk ikut masuk dalam pemikirannya, tidak membiarkan rumusan konsepku bebas tanpa batas.
“Kita terlalu sibuk melihat dunia dari kacamata romantis, terlalu cerah, hingga lupa ada yang lebih perih, didustakan, meringis karena siksa sebuah kejahatan besar, kekejaman manusia terhadap manusia lainnya. Kita terlalu takut kehilangan harta, takhta, popularitas, dan hal-hal menyangkut duniawi. Kita egois, minim akan empati, dan kusebut kita sedang krisis kemanusiaan.” Ayah menghampiriku sambil membacakan tulisan di buku pribadinya. Aku sedikit tertampar oleh kalimat-kalimat itu, namun kupastikan aku tetap seimbang dalam mempertahankan kemarahanku padanya.
“Permasalahan pendidikan di negara ini sebetulnya hanya satu, kita hanya terus menerus berusaha mencerdaskan bangsa, lupa bahwa sebetulnya yang paling penting adalah bagaimana memperkaya pikiran, hati, jiwa, dan budi dengan kepedulian terhadap sesama dan merendahkan perasaan untuk berbagi. Kita hanya sibuk mengukur yang terukur, tidak mencoba meresapi makna lain.” Ia duduk di sebelahku, menatapku hangat, lebih hangat dari biasanya.
“Proses pendidikan terbaik adalah ketika kita bisa mentransfer ilmu dan segenap kebermanfaatan kita untuk orang lain. Dan kita akan dikatakan sukses berilmu ketika kita bisa membuat orang lain mengerti sebuah kemengertian, bukan malah mengerti dalam ketidakmengertian. Butuh memahami dengan pemahaman yang baik. Butuh meruntuhkan ego dan segala macam penghakiman yang kita buat di depan. Karena kita mencerdaskan, memperkaya, dan membahagiakan bersama bukan pribadi atau golongan.” Ayah tersenyum sekali lagi, menyejukkan hati sampai aku harus mati-matian menahan air mata.
“Polemik di negeri ini bisa teratasi kalau semua orang sadar, peduli, bahwa sistem pendidikan tidak hanya melulu soal nilai-nilai yang terukur secara pasti. Ada banyak nilai-nilai yang tidak terukur tapi penting untuk kita pelajari secara sempurna. Jangan bungkam hal-hal baik. Jangan sampai nurani kita mati karena kita diam melihat kebodohan, ketertinggalan, kemiskinan, dan kemelaratan. Ambil peran dan bertindaklah.”Ayah mendekapku erat, erat sekali.
Inilah jawaban dari empat belas tahun aku diajarkan berdiskusi banyak hal di meja makan siang. Bobroknya moral belakangan ini, sudah jadi bukti bahwa ada sistem yang perlu diperbaiki. Perkembangan minat berpendidikan juga belum tersosialisasi secara utuh, masih banyak pemikiran kolot yang mengatakan bahwa pendidikan tidak penting. Pun pendidikan bukan indikator untuk gelar kesuksesan seorang manusia. Karena kalau hanya sekedar cerdas dalam berfikir, tapi tidak berkontribusi apa-apa untuk negeri ini, lantas buat apa?
Oleh : Sekar Aprilia Maharani