Pembangunan Mega proyek terminal pelabuhan Kijing sudah dilakukan sejak April 2018. Pembangunan pelabuhan modern yang akan menghabiskan biaya 14 Triliun, namun hingga tulisan ini terbit, polemik yang mewarnai pembangunan itu masih belum usai.
Memang bukan sembarang proyek yang digarap oleh PT Pelindo 2 di Kabupaten Mempawah. Akan tetapi sebuah pelabuhan berstandar Internasional terbesar di Kalimantan yang nantinya akan mengubah peta logistik khususnya di Kalimantan Barat. Misalnya saja kegiatan ekspor, bila awalnya Crude Palm Oil (CPO) asal Kalbar baru bisa diekspor melalui pelabuhan di provinsi lain seperti di Tanjung Perak danTanjung Priok maka nanti ekspor bisa dilakukan di halaman sendiri. Begitu pun dengan hasil tambang seperti bauksit andalan Kalbar.
Pembangunan ini pun dinilai akan mengkerek perekonomian di Kalbar yang masih mengandalkan industri ekstraktif sebagai tulang punggung ekonomi. Triliunan investasi dinilai akan hadir di Kalbar menyambut infrastruktur yang sedang dibangun ini.
1 juta TEUsproyeksi angka untuk kapasitas awal pelabuhan. Angka ini 3 kali lebih besar dari yang dimiliki oleh Pelabuhan Dwikora Pontianak. Belum lagi fasilitas berupa terminal curah cair dan curah kering dan multipurpose. 15 juta ton terminal curah kering untuk bahan tambang dan 8.3 juta ton terminal curah cair untuk bahan cairan. Serta untuk terminal multipurpose di tahap pertama akan berkapasitas 500 ribu ton pertahun.
Untuk memenuhi itu, lahan yang digunakan pun tidak kecil. Pembangunan tahap pertama pelabuhan terminal Kijing membutuhkan lahan seluas 200 hektare yang akan dibangun untuk lapangan penumpukan, gudang, tank farm, silo, jalan, lapangan parkir, kantor pelabuhan, kantor instansi, jembatan timbang serta fasilitas lainnya. Sedangkan untuk kawsan dermaga, tahap awal ini meliputi 15 hektare untuk dermaga curah kering, 16.5 hektare untuk dermaga curah cair, 7 hektare untuk dermaga multipurpose, dan 9.4 hektare untuk dermaga petikemas.
200 hektare lahan yang digunakan meliputi Desa Sungai Bundung laut dan Desa Sungai Kunyit laut. Angka itu diproyeksikan akan berkembang lagi dalam jangka panjang menjadi 5000 hektare pada tahap selanjutnya untuk memenuhi Kawasan Ekonomi Khusus di sekitar pelabuhan.
Meski pembangunan sudah berjalan lebih dari setahun sejak grounbreaking padaApril 2018, dari 200 hektare itu masih menyisakan persoalan. Dari belum tuntasnya pembayaran ganti rugi (per24 April), serta penolakan harga tanah oleh warga.
Penolakan Harga Tanah
Mastoer menjadi salah satu dari 18 warga pemilik tanah yang menolak harga itu. Umurnya 69 tahun. ketika reporter temui, ia masih menggunakan sarung yang ia gunakan untuk sholat jumat di masjid samping rumahnya. Matanya sayup, berkantung, entah bagaimana menggambarkan mata yang sarat pengalaman.
Pria ini kelahiran Surabaya. Ia berkelana dari tanah kelahirannya hingga sampai di pulau Borneo pada dekade 70 dan bermukim di Desa Sungai Kunyit laut sejak tahun 1979. Selain rumah yang ia tempati, ia memiliki sebuah bengkel meubel kayu di samping rumahnya dan lahan seluas 1100 m2.
Di usianya yang semakin sepuh, Mastoer masih rajin membuat meja kursi dan hiasan rumah dari kayu di bengkelnya. Akunya, bengkel itu bisa berkembang karna berada di tepian jalan. Selain mempermudah datangnya bahan, berada di pinggiran jalan juga membuat banyak pembelinya datang.
“Mata pencaharian saya ni kan ade kaitannye dengan jalan raye nih, saye kan dulu buat meubel, jual barang meubel , artinya kalau tanah saya di hutan sana (karna tidak mampu beli tepian jalan/red) siape yang singgah,” keluhnya.
Mastoer dan warga lain sebenarnya tidak berharap banyak hal. Ia hanya meminta dilakukan musyawarah ulang dan perhitungan ulang yang transparan dan dengan melibatkan masyarakat.
“Saye masih dalam perjuangan, insyaallah siape yang zalim akan diazab oleh Allah,” ungkapnya.
Mastoer pada dasarnya menunggu kehadiran pembangunan Pelabuhan Kijing. Ia pun mendukung pembangunan Pelabuhan Kijing di atas lahannya asalkan dengan ganti rugi yang sesuai. Namun harapannya berubah ketika nilai ganti rugi lahan ia dapatkan dari tim penilai jauh di bawah harga prakiraannya. Tanah miliknya “hanya” dihargai tidak lebih dari 332.000 rupiah per meter. Penghasilan utamanya dari kreasi kayu juga terancam hilang bila ia benar-benar harus pindah dan tidak bisa membeli tanah di tepian jalan seperti semula.
Rumah Mastoer berada di ring 1 (kawasan utama) pembangunan pelabuhan Kijing. Artinya lokasi tanahnya akan dibangun untuk bagian inti dari pelabuhan seperti kantor dan dermaga. Tanahnya juga berada di tepian Jalan raya sungai kunyit atau jalan utama penghubung antar kota Mempawah dengan sekitarnya.
Akibat dari tidak sesuainya harga ini, 18 warga yang menolak membentuk Tim Solidaritas yang diketuai oleh Jumli. Jumli juga sekaligus anak dari pemilik tanah di kawasan sekitar pembangunan pelabuhan Kijing. Ia menyayangkan karena tidak ada proses yang transparan dalam penilaian harga tanah dan bangunan.
“Karena tidak ada transparansi, tanah kita dibayar antara 200 sampai 300 (ribu/meter) lebih itu, sedangkan kita mau beli tanah itu harganya sudah 500 (ribu/meter) ke atas untuk yang ditepi jalan, di luar area itu (pembangunan), kite kan ibarat tanah kite di tepi jalan, otomatis kite beli tepi jalan juga,” ia memungkasi.
Namun hal berbeda disampaikan oleh Komarudin selaku mantan kepala BPN Mempawah. Menurutnya, angka yang diberikan tim penilai harusnya bisa diterima oleh warga.
“Kalau dulu tanah yang di sana sebelum ada pembangunan itu 50 ribu per meternya,” katanya.
Ia menambahkan dalam proses musyawarah juga ada tahap negosiasi, tawar-menawar agar masyarakat dapat mendapatkan nilai yang disetujui.
“Memang sebenarnya di rapat musyawarah itu satu persatu nego, karna ini kan pertama yang jelas, kan tidak mungkin tawar menawar, kami hanya menginformasikan nilai maksimal yang diberikan Appraisal itu. Kami tidak menutup-nutupi nilai itu,” imbuh pria yang kini menduduki Kepala Bidang Penanganan Masalah dan Pengendalian Pertanahan BPN Provinsi Kalbar.
Alhasil karena belum tercapainya mufakat, kini status tanah Mastoer, Jumli dan 16 warga lain memasuki tahap sidang konsinyasi per awal Februari 2019. Maksudnya adalah pihak Pelindo 2 menitipkan jumlah uang ganti rugi ke pihak pengadilan tingkat satu. Sidang konsinyasi ini meski tidak diterima oleh 18 warga yang belum setuju, tetap dilakukan.
Menurut UU no 2 tahun 2012 pasal 42, konsinyasi memang bisa dilakukan salah satunya karena tanah/lahan sedang menjadi objek sengketa lahan. Konsinyasi juga bisa dianggap “pemaksaan” kepada pemilik tanah karena bersedia atau tidaknya sang pemilik tanah, nantinya akan dilakukan pemutusan hak kepemilikan tanah oleh BPN sehingga tanah itu tetap digarap oleh perusahaan.
Namun meski begitu, 18 warga tersebut tetap menolak sidang konsinyasi tersebut. Selain isi konsinyasinya yang tidak sesuai dengan apa yang terjadi, alasan lain adalah mereka mengaggap proses-proses sebelumnya penuh dengan keganjilan dalam pengadaan tanah.
Proses Pengadaan Tanah
Proses pengadaan tanah terminal Kijing didasari dari UU no 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Bangunan dan Kepentingan Umum. Dalam proses pengadaan tanah itu terdapat empat tahap yang dilalui, yaitu perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan pengumuman hasil.
Perencanaan telah dilakukan oleh PT Pelindo 2 dan sebelum tahun 2017, dilanjutkan dengan tahap persiapan oleh pemerintah daerah provinsi, atau gubernur. Produknya berupa penentuan lokasi (penlok) proyek dalam hal ini berada di Mempawah tepatnya di Desa Sungai Kunyit laut dan Desa Sungai Bundung laut. Hasil dari penlok ini yang kemudian diberikan kepada BPN Provinsi sebagai pelaksana pembebasan tanah dengan menugaskan BPN Kabupaten Mempawah sebagai pelaksana Tugas.
Tanah yang sudah ditentukan kemudian dinilai oleh tim penilai Kantor Jasa Penilai Publik Appraisal. Nama perusahaan ini keluar sebagai pemenang dalam lelang tender yang dibuka oleh PT Pelindo 2. Tim penilai ini kemudian menilai harga tanah, bangunan berikut juga tanaman yang dianggap bernilai yang tumbuh di atas lahan. Hasil dari penilaian ini kemudian akan diberikan oleh BPN sebagai dasar dari nilai ganti rugi untuk warga terdampak. Namun tidak semua menerima. Beberapa menolak nilai dari tim penilai karena terdapat keganjilan dalam prosesnya.
Keganjilan Dalam Penilaian Tanah
Keganjilan bahkan sudah terjadi sebelum proses penilaian harga tanah dan barang oleh tim penilai. Pada saat itu, Mastoer dan warga sekitar diberi informasi oleh Kepala desa Sungai Kunyit Laut yang bernama M Kaut, bahwa warga bisa bertemu dengan presiden yang dijadwalkan akan berkunjung ke Mempawah. Syaratnya, mereka harus menandatangani sebuah lembaran yang menyatakan diri akan bertemu Presiden.
Mastoer tak sempat melihat dengan jelas karena keterbatasan penglihatannya dan ia kemudian menandatangani itu. Karena ragu, anak Pak Mastoer mendatangi rumah kepala desa untuk menanyakan ulang dan mengecek lembaran yang telah ditandatangani ayahnya. Ia kemudian berang karena surat yang ditandatangani oleh pak Mastoer sebelumnya bukanlah sebagai syarat untuk bertemu Presiden, melainkan pernyataan untuk “bersedia menerima berapapun berapapun harga yang diberikan oleh tim penilai”. Karena mencurigakan, lembaran itu pun diambil oleh anak pak Mastoer dan disimpan sebagai bukti.
Keganjilan lain disampaikan oleh Jayakusuma anak pak Mastoer yang juga sebagai sekretaris Tim Solidaritas. Jaya sapaan akrabnya mengabarkan dalam pertemuan rapat musyawarah tidaklah benar-benar terjadi musyawarah. Masyarakat sebagai pemilik tanah hanya diberikan amplop dengan nilai harga tanah yang sudah tertera di dalamnya. Langkah ini dinilai melompat karena dalam rapat musyawarah, pihak yang tidak setuju dapat mengajukan nego harga kepada tim dari BPN.
“Dan bagi yang tidak setuju dengan harga tanah dipersilahkan untuk menggugat dipengadilan,” ungkapnya.
Pada akhirnya masyarakat yang menolak harus menggugat ke PN Mempawah, dengan termohon adalah PT Pelindo 2. Dalam gugatan tersebut, sebanyak 20 orang yang terdiri dari 17 perkara nilai tanah dan 3 nilai bangunan yang mengajukan gugatan. Dan kesemua gugatan ditolak.
Dalam pengadilan menurut Jaya juga terdapat banyak kejanggalan. Salah satunya adalah alasan penolakan gugatan. Jayakusuma sebagai pemilik kuasa dari Mastoer misalnya. Ia diberikan 3 alasan penolakan gugatan.
Alasaan pertama karena administrasi dinilai tidak lengkap, lokasi tanah yang tidak jelas, dan yang mengajukan permohonan bukan orang yang berhak/pemilik tanah. “Jadi sudah jelas itu cacat hukum,” tudingnya.
Tak sampai disitu, salinan pengadilan juga baru diterima pemohon seminggu selepasnya. Lambatnya keluar hasil pengadilan menghalangi Tim Solidaritas untuk mengajukan kasasi di tingkat Mahkamah Agung yang hanya memberikan waktu maksimal 14 hari setelah putusan pengadilan.
“Kita harus bikin konsep, sementara hasil keputusan sudah berualang kali diminta dan belum jadi terus alasananya, baru setleah satu minggu baru selesai salinan itu, jadi kami hnya punya waktu satu minggu untuk mempersiapkan kasasi, bikin konsep apa-apa, akhirnya terlambat,” beber pria itu.
Berdasarkan alasan-alasan di atas dan konflik yang tak kunjung rampung Tim Solidaritas meminta bantuan ke DPR RI untuk menjembatani konflik yang terjadi. Hasil dari pertemuan dengan DPR itu menghasilkan dibentuknya Pansus (Panitia Khusus) Pelindo 2. Pansus ini pun meninjau lokasi pembangunan pelabuhan Kijing pada 19 Oktober 2018 lalu.
Hasilnya, pansus meminta kepada PT Pelindo 2 untuk melakukan musyawarah kepada masyarakat dan mengecek nilai ganti rugi yang diberikan. Pelindo 2 diminta untuk membuat agenda musyawarah bersama masyarakat seminggu setelah survei dilakukan. Namun hingga kini tidak ada musyawarah antara masyarakat dan pelindo terlaksana.
Hingga beberapa bulan kemudian, surat undangan untuk menghadiri sidang konsinyasi datang di kediaman Mastoer dan warga yang masih menolak. Sidang konsinyasi dilakukan di PN Mempawah. Tepatnya pada bulan Februari, tanggal 8, 12 dan 13.
Jayakusuma dan yang lainnya hanya menghadiri sidang itu pada tanggal 8 Februari, sisanya tidak. Ketidak hadiran itu dikarenakan menurutnya tidak akan memiliki arti lebih untuk perjuangan mempertahankan haknya.
Hingga kini, status tanah masyarakat masih buram. Masyarakat masih menolak dengan alasan-alasan yang disampaikan. Di sisi lain, Pelindo 2 dengan pelaksana teknisnya seakan tidak menghiraukan suara-suara penolakan warga.
Pelabuhan dan Nelayan
Masalah sebenarnya tidak hanya terjadi dalam proses pembebasan lahan di darat. Di bagian laut sebagai arus mondar-mandir kapal juga menimbulkan dampak sosial kepada nelayan yang mencari tangkapan di daerah sekitar pembangunan pelabuhan terminal Kijing.
Sedikitnya terdapat 1416 alat tangkap yang terdiri dari kelong tancap, kelong apung dan togok yang terkena dampak itu. Kesemua alat tangkap ini masuk dalam Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) pelabuhan Kijing. DLKr yang seluas 15 km x 6.67 km atau sekitar 100 km2.
Rizal selaku kordinator pemilik kelong tancap mengatakan untuk jenis kelong tancap dan kelong apung, bagannya hanya dihargai 82 juta. Nilai ini terdiri dari 23 juta rupiahpenggantian nilai fisik dan 59 juta lostopportunity atau nilai ganti rugi akibat tidak melakukan kegiatan nelayan selama se tahun kebelakang.
“saye mau tanya ini mau ganti rugi atau ganti untung, kalau ganti rugi ini memang benar-benar rugi ini.”
“wajar ajak kalau ade pelabuhan ni penduduk aslinyetersingkir semue, karne ndak sesuai ganti ruginye,” tambahnya.
Nilai itu dinilai sangat jauh dari harapan mengingat dari awal pembangunandilakukan, nelayan sudah tidak boleh lagi beraktivitas di wilayah DLKR pelabuhan Kijing. Opsinya adalah nelayan dialihkan ke wilayah yang lebih jauh atau menjurus ke laut luar. Dan hal itu membutuhkan kapal dan mesin yang lebih besar.
Seperti kata Teddy Prawoto selaku kepala bidang perikanan. Meski belum ada kejelasan alternatif pekerjaan pengganti bagi nelayan terdampak.
“Nah kedepan apakah nanti dialihkan ke alat tangkap lain atau apa nah itu yang belum tau, tapi ynag jelas mereka akan dapat penggntian kalau mrka mau menggunakan alat tangkap lain maka tidak boleh beroperasi di sekitar pulau Temaju daerah pelabuhan, kalau bisa keluar dari daerah DLKr.
Berbeda dengan kasus pembebasan lahan yang aturannya jelas bila terdapat masalah pembebasan lahan, bagi nelayan yang tidak setuju dengan nilai ganti rugi alat tangkap (togok dan kelong) ini masih belum jelas arahnya.
Nelayan yang belum setuju hanya bisa memblokadepembangunan pelabuhan di bagian laut. Ini dilakukan sebagai bentuk protes mereka terhadap nilai ganti rugi yang nilainya begitu jauh dari perkiraan.
Selain itu, upaya lain yang dilakukan dengan melakukan aksi ke pemimpin daerah baik bupati maupun gubernur. 2 Mei lalu, ratusan nelayan terdampak pembangunan pelabuhan bertandang dari Mempawah ke kantor gubernur. Aksi itu dilakukan setelah aksi serupa dihadapan Bupati Mempawah tidak membuahkan hasil.
Aksi di depan kantor gubernur itu ditemui langsung oleh Sutarmidji dan telah berjanji untuk memediasi antara nelayan dengan Pelindo 2.
Akar Masalah Pembebasan Lahan
Pembangunan infrastruktur memang sering disertai dengan berbagai efek samping. Dampak sosial seperti yang terjadi pada nelayan atau masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi pembangunan hingga pembebasan lahan sering dianggap sepele oleh instansi terkait. Bukan hanya itu, penangan masalahpun dianggap tidak tepat karena tidak berdasar dari akar masalahnya.
Iqra Anugrah, peneliti agraria di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dalam tulisannya di theconversation.com mengatakan ada dua alasan utama permasalahan lahan seringkali terjadi dalam pembangunan infrastruktur.
Alasan pertama karena persoalan konflik lahan antara masyarakat dan pemerintah atau korporasi lebih pelik dari sekadar besaran uang pengganti.
Betul bila masyarakat yang terkena dampak pembebasan lahan sering meributkan soal kompensasi finansial, namun, akar masalahnya bukan hanya soal besaran, melainkan persepsi bahwa pemerintah cenderung menakar harga tanah warga secara rendah. Penawaran pemerintah yang terlalu rendah tersebut dianggap kurang adil bagi banyak komunitas. Hal ini diperparah dengan mekanisme pembebasan lahan yang tidak melibatkan masyarakat dan bertele-tele.
Proses konsultasi dan eksekusi dalam suatu upaya pembebasan lahan juga tidak sesederhana dan semudah yang dibayangkan. Ini dikarenakan dalam pelaksanaan pembebasan lahan, seringkali banyak kepentingan-kepentingan terselubung yang bermain, misalnya kepentingan calo tanah lokal.
“Tanpa adanya perubahan persepsi dan mekanisme pembebasan lahan yang lebih baik, maka proses pembebasan lahan akan selalu diwarnai konflik, meskipun besaran kompensasinya bertambah,” jelasnya.
Alasan yang kedua menurut Iqraakibat adanya perebutan ruang hidup antara masyarakat dengan negara dan korporasi yang sering terjadi dalam relasi politis dan sosio-ekonomi yang timpang. Relasi yang timpang ini terjadi karena kekuatan politik dan dana baik pemerintah negara maupun perusahaan yang lebih kuat dibandingkan masyarakat.
Dengan kata lain, konflik agraria pada dasarnya selalu bersifat struktural. Hal ini menjelaskan mengapa konflik agraria di Indonesia jamak terjadi dan besar kemungkinan akan terus berlanjut.
Penulis: Adi Rahmad