“Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah”
– Soe Hok Gie.
Politik itu tentang kekuasaan, tak lebih! Sejak zaman bung besar hingga nanti semua serba kuasa. Lingkar oligarki kian mengekang dan mengikat, rakyat menjerit dan melarat.
Partai-partai belomba untuk bisa mencapai pucuk kekuasaan, dengan berbagai cara mereka mendulang suara, entah mengemis dengan baliho-baliho panjang di pinggir jalan, menangis dengan nama Tuhan, atau hal-hal lain yang bisa membuat mereka mendapatkan sesuatu yang diidamkan: Suara rakyat!
Kampus pun tak terkecuali, kepentingan di atas sana akhirnya turun jauh sampai ke dunia perpolitikan kampus. Dengan metode yang sistematif dan masif, melalui Organisasi Kemasyarakatan Pelajar (OKP) underbouw partai maupun tidak, dengan kepentingan masing-masing yang bahkan jauh dari semangat mahasiswa, mereka datang.
Baca juga: Kalau Setuju, Boleh?
Politik kampus tak kurangnya sama dengan politik di atas sana, kotor, penuh intrik dan tunggangan pribadi. Yang harusnya kampus ini adalah tempat untuk merencanakan masa depan negara yang lebih baik dan bersih, tidak ada bedanya dengan sekarang. Tidak ada regenerasi yang signifikan sebab paham yang dibawa sama, melulu tentang kuasa. Rakus!
Tunggang-menunggang perpolitikan kampus bukan rahasia umum lagi. Di Universitas Tanjungpura (Untan) sendiri tak terhitung partai-partai yang ditunggangi oleh OKP-OKP itu.
Sebut saja ada Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan OKP-OKP lainnya yang berkeliaran dengan kader-kader terselubung di kampus.
Semua itu tampak ketika Pemilihan Raya Mahasiswa (Pemirama) diadakan, eksistensi mereka dipertaruhkan dengan membawa nama partai-partai yang diusung. Kampus berubah menjadi kakus. Semua hanya omong kosong yang dibungkus sedemikian rupa agar mendapat kekuasaan. Menjadi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang dipertuan agung mungkin adalah tujuan mulia bagi mereka.
Yang sialnya ketika itu terjadi mereka tetap mengatas namakan kami mahasiswa, untuk kepentingan pribadi kelompok mereka. Berapa banyak peraturan-peraturan yang kita tuntut untuk disahkan dan perjuangkan mereka tolak. Sebut saja seperti Rancangan Undang-undang Pencegahan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) dan Yang terbaru Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) no 30 tahun 2021.
Kalau tidak mereka tolak, hal-hal diatas hanya menjadi kendaraan politik untuk menggiring suara sesuai yang mereka inginkan. BEM Untan terbaru saja mengakui hal tersebut secara gamblang. Mahasiswa bagaikan anak domba, digembala kesana kemari hanya untuk kenyamanan mereka duduk diatas sana.
Pecah! Itu yang terjadi akibat pengaruh OKP-OKP tersebut berada di kampus. Mahasiswa di adu, atas nama agama, atas nama tuhan, atas nama keyakinan, dan atas nama kepentingan senior-senior di atas, semua diberdayakan. Mahasiswa yang harusnya menjadi satu kesatuan terpecah menjadi beling-beling penuh darah tak bertuan. Masalah dipandang tak lagi independen seperti seharusnya mahasiswa. Semua kembali ke kepentingan OKP-OKP yang dianut dan diyakini.
Baca juga: Untan: Antara Maju Jalan atau Mundur Ke Selokan
Lalu ketika terjadi dualisme yang terjadi di atas sana seperti GMNI, KAMMI, HMI, dan lain-lain. Bukankah itu sudah menandakan bahwa hal ini hanya tentang kekuasaan. Tak lebih!
Mau dibawa kemana masa depan negara jika dari mahasiswa sendiri sudah tamak?
Semua serba gelap. Sampai kapan permainan kuda-kudaan ini berlangsung?
Mahasiswa hanya berharap bahwa politik kampus yang terlanjur seperti selokan ini bersih. Tidak ada lagi intervensi-intervensi kepentingan diatas, satu kesatuan bergerak memperjuangkan hal yang patut di perjuangkan.
Apakah itu mustahil?
Penulis: Azis
*Opini ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian dari tanggungjawab redaksi mimbaruntan.com