mimbaruntan.com, Untan – Melangkahkan kaki di ruangan berlantai semen, disambut suara merdu alunan musik Sape’ yang dimainkan oleh Thambunesia. Mata kami dimanjakan oleh keindahan lukisan-lukisan dengan paduan warna padan yang terpajang dan menghiasi dinding ruangan. Tidak hanya itu, beragam penampilan lain seperti puisi dan teater ikut menyumbang pastisipasinya dalam kegiatan Pongo Fest yang diadakan di Rumah Jepin yang berlokasi di Jalan K.H Ahmad Dahlan No 6, Sabtu (13/11).
Pongofest yang diadakan sejak 7 November 2021 lalu merupakan sebuah panggung solidaritas yang dilatar belakangi oleh Hari Peduli Orangutan Sedunia. Kegiatan ini melibatkan banyak seniman dan pegiat literasi di Pontianak seperti Band Merah Jingga, Sang Sylva, Pradono, dan lain-lain.
Ilham Pratama selaku penanggung jawab Pongo Fest menjelaskan bahwa tujuan mengkampanyekan peran orangutan melalui sastra dan seni agar cakupan jangkauannya lebih luas.
“Kami pingin kampanye tentang orangutan ini tidak hanya dilakukan di lingkungan itu saja, seperti komunitas yang bergerak di ranah lingkungan. Tapi juga semua pemuda dari latar belakang apapun boleh turut andil. Kami mengaitkan dengan aktivitas anak muda (sastra dan seni) agar kampanye ini bisa lebih luas jangkauannya,” jelasnya.
Adalah Layau, salah satu personil Band Merah Jingga yang turut memeriahkan acara Pongo Fest tersebut menceritakan bahwa ia menampilkan sebuah karya yang berjudul People of The Land pada kampanye kolektif ini. Melalui lagu ini, Layau menyampaikan pesan implisit bahwa keadaan Borneo saat ini sedang tidak baik-baik saja.
“Lagu People of The Land, liriknya aku yang buat. Lagu ini tentang Borneo, aku ndak ceritain tentang keindahannya tapi kenyataannya dengan harapan orang-orang bisa peduli dengan kerusakan yang terjadi,” ceritanya.
Adapun Aditya Teguh, seniman dengan lukisannya berupa satu mata berlatar merah dengan seekor orangutan di dalamnya. Dalam karyanya, Aditya menyiratkan sebuah pesan yaitu bentuk ketidakpedulian manusia terhadapap orangutan dan kebakaran hutan yang marak terjadi.
“Bagi saya, semua orang terkadang melihat hanya dengan acuan sebelah mata saja. Lalu mengapa orangutannya tidak menjadi one of focus-nya? Kalau dari hal kecil saja tidak diperhatikan lalu bagaimana dengan hal besarnya pula. Lalu untuk pemilihan warna, saya memadukan warna merah dan kuning sebagai sebuah nuansa yang dinarasikan seperti maraknya kebakaran hutan yang sering kerap terjadi, lalu dengan warna hijau pada tumbuhan, saya berharap tetap aka nada yang tumbuh walaupun hanya sebercak harapan,” pungkasnya.
Repoter : Syifa, Rizky, Marissa
Penulis : Dita, Hera
Editor : Monica Ediesca