Tiap tahun kabut membuat kota ini muram, kelabu tak bersemu.
Langit abu-abu dengan gagah beraninya menepukkan dadanya seraya berkata, “Inilah akibat yang telah kalian lakukan kepada alam kalian,”.
Mereka hanya mampu menunggu dengan penuh harap bahwa kegagahannya segera larut dan menangis sejadinya. Agar langit biru menjemput rindunya dengan gumpalan kapas serta kicau burung yang hadir di pagi hari.
Namun sekarang itu hanya mimpi dan delusi saja, seakan semua agar itu nyata tanpa khayalan sedikitpun.
Khayalan itu hilang saat membuka mata dengan penuh perih, bernafas dengan lirih, seakan semua ini sebuah keserasian yang harus di nikmati.
Kota yang biasa di indahi senyum manis, tegur sapa, dan berbicara sesuka hati kini sedang tidak kutemui.
Mereka selalu menggunakan penutup mulut dan hidung untuk mencegah masuknya sesuatu yang menyesakkan, hingga untuk tersenyum manis saja tidak terasa. Apalagi berbicara banyak, meronta-ronta seluruh organ.
Langit sesungguhnya melihat jelas sebab akibat runtutan kejadian ini. Ia hanya memilih diam, meruntuhkan seluruh raganya sangat berbahaya sebab belum waktunya.
“Pembakar lahan ongkang kaki, pemadam tertatih melawan api.”
Hanya itu yang dapat dikatanya.
Entah apa yang ditahannya hingga air mata tidak luruh. Mungkin menunggu amarahnya memuncak. Semoga itu tidak terjadi.
Langit melihat lagi pembakaran semakin meluas, tapi ia hanya bergumam, “Ketahuilah wahai pembakar, aku rindu rasa manis seluruh senyum dan tegur sapa kota ini,” ucapnnya.
Penulis: M. Rezky Abrar