mimbaruntan.com, Untan – Saat tengah terbaring di rumah sakit karena stroke, Gus Dur enggan menolak tamu. Datang menjenguknya, Amien Rais tokoh yang lantang mengritik kepemimpinan Soeharto. Ia meminta kesediaan Gus Dur untuk menjadi Presiden dari Poros Tengah yang merupakan koalisi partai-partai berlabel Islam di Pilpres 1999. Gus Dur pun mengiyakan permintaan Amien Rais.
Greg Barton, seorang peneliti Perbandingan Seni, Sains dan Agama dari Deakin University dalam bukunya Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurahman Wahid menuliskan pembicaraannya dengan Amien Rais. “Greg, Gus Durlah satu-satunya yang dapat mempersatukan muslim, non-Muslim, dan yang lainnya. Segala tergantung kepadanya. Dia adalah harapan kita satu-satunya,” (15:2011).
Mendekati pemilihan, ada tiga calon dalam pemilihan presiden tahun 1999. Dialah Megawati Soekarnoputri dari PDI-P, Bacharuddin Jusuf Habibie dari Golkar, dan Abdurahman Wahid dari PKB.
Baca Juga: Salam Tangan Kiri
Sekilas nama Gus Dur tidak terlalu diperhitungkan. Agaknya banyak kalangan yang menganggap mencalonkan Gus Dur sebagai persiden dianggap suatu ide gila. Apa yang bisa diharapkan dari seorang yang nyaris buta. Bahkan berjalan saja pun sulit. Berbagai penyakit merundung tubuhnya dan tahun 1998 stroke hampir merenggut nyawanya.
Namun Rabu pagi, 20 Oktober 1999, hanya beberapa jam sebelum pemungutan suara dari anggota MPR, Habibie mengundurkan diri dari pertarungan. Golkar pun tak bisa mengajukan penggantinya karena waktu yang sangat sempit. Tersisalah dua calon, Megawati dan Gus Dur.
Ketika penghitungan suara dimulai, banyak yang menganggap Megawati akan meraih kemenangan. Namun kejutan belum habis. Gus Dur mengumpulkan 373 suara dan Megawati mengumpulkan 313 suara.
Nampaknya hasil yang mengejutkan itu tidak hanya dirasakan oleh rakyat Indonesia, baik kubu Megawati maupun Gus Dur, tetapi juga di luar negeri. Majalah The Economist memuat foto dirinya dengan judul “Astaga, Gus Dur yang terpilih: Presiden baru Indonesia yang mengejutkan.”
Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden merupakan sebuah “keberuntungan” bagi Gus Dur. Bahkan Gus Dur pernah beranekdot, “Berpolitik tidak usah pakai biaya. Saya saja jadi presiden tanpa tim sukses, tanpa biaya dan hanya modal dengkul, itu pun dengkulnya Pak Amien Rais.”
Baca Juga: Kemerdekaan dan Analogi Pernikahan
Kesederhanaan Gus Dur memang representasi dari Nahdlatul Ulama (NU) yang identik dengan Islam tradisional, pesantren, dan orang desa. Gus Dur atau Abdurahman Wahid lahir di Jombang, 7 September 1940. Ia adalah anak dari Wahid Hasyim, Menteri Agama pada era Soekarno. Kedua kakeknya, Hasyim Asy’ari dan Bisri Syansuri adalah pendiri NU. Ia lahir, tumbuh dan besar di pesantren. Namun ia menjadi seorang yang getol menyurakan pluralisme. Ia bak pahlawan bagi penganut agama minoritas di Indonesia.
Saat Jokowi mengumumkan siapa pendampinya di pilpres 2019, agaknya banyak yang de javu dengan kejadian tahun 1999. Pimpinan NU kembali berlaga dalam pentas politik Indonesia. Meski tidak sementereng Gus Dur menjadi Presiden, Ma’ruf Amin dipercaya dari serangkaian nama tenar lain yang sebelumnya diisukan menampingi Jokowi, seperti Mahfud MD. Nampaknya Jokowi cukup cerdas untuk menjaring “suara umat.”
Penulis : Aris Munandar
Editor : Fikri R. F