Pemimpin militer dan politikus di beberapa bagian luar Jawa menilai pembangunan dan perekonomian di tahun 1950-an, tepatnya pasca pembubaran RIS terlalu condong berfokus di Jawa. Merespon ketimpangan yang terjadi antara daerah di Jawa dan daerah di luarnya, terbentuklah golongan regionalis di Sumatera dan Sulawesi.
Golongan regionalis yang tumbuh ini adalah para pemimpin militer dan politisi yang meningkat rasa sadar akan kedaerahannya yang dipicu oleh perasaan dianaktirikan oleh negara. Dicatat dua Indonesianis dari Australia, Daniel S. Lev dan Herbert Feith dalam The End of Indonesian Rebellion (1963), kelompok regionalis menilai bahwa pemerintah cenderung sentralistis, birokratis, korup dan membelakangi situasi di luar Jawa. Mereka menuntut system pemerintahan desentralisasi yang memberikan otonomi luas bagi daerah.
Kecenderungan anti komunis juga menjadi ciri yang melekat pada kelompok ini. Karena orang-orang di kelompok ini berasal dari golongan militer dan Partai Masyumi. Keberhasian PKI di pemilu 1955 dan semakin dekatnya golongan komunis dengan kekuasaan membuat mereka khawatir. Ini yang nanti menjadi tali penghubung antara kelompok regionalis dengan Amerika Serikat yang sedang berupaya membendung komunisme. Bahkan Barbara Harvey dalam Permesta: Pemberontakan Setengah Hati(1984), berani berkesimpulan bahwa PRRI bersama “teman senasibnya”, dua kelompok serupa tapi tak sama ini dibentuk demi membendung komunisme di Indonesia.
Dick Howards dalam Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an. Pembongkaran Narasi Besar Integrasi Bangsa (2011), dinamika ekonomi Indonesia tahun 1950-an menjelaskan bahwa konflik regional merupakan akibat dari persaingan daerah dengan pusat dalam menguasai sumber-sumber ekonomi yang melimpah di luar Jawa, seperti kopra, karet, dan minyak. Hasilnya digunakan untuk membiayai anggaran militer dan sedikit digunakan untuk kebutuhan masyarakat daerah yang tidak dipenuhi negara.
Pemimpin kelompk regionalis di Sulawesi Utara menjalin hubungan niaga illegal dengan Singapura dalam perdagangan kopra sebagai bentuk protes terhadap pemerintah. Kekecewaan orang Minahasa karena pemerintah melakukan monopoli perdagangan kopra. Hubungan niaga illegal ini mereka sebut dengan pembangunan untuk Indonesia timur. Begitu juga dengan karet yang dijual secara illegal oleh kelompok regionalis di Sumatera.
Agar gerakan kaum regionalis lebih tertata rapi, Kolonel Ahmad Husein pada 20 Desember 1956 membentuk Dewan Banteng di Sumatera Barat. Menyusul kemudian di daerah-daerah lain seperti Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda di Sumatera Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara. Nantinya dewan-dewan ini bergabung menjadi Dewan Perjuangan.
Kolonel Maludin Simbolon: Lika-liku Perjuangannya dalam Pembangunan Bangsa (1996) karya Payung Bangun menceritakan Maludin Simbolon melakukan pemutusan hubungan dengan pemerintah pusat. Jakarta merespon dengan mengeluarkan perintah penangkapan. Pemimpin Dewan Gajah ini melarikan diri ke Sumatera Barat dan ditolong oleh Ahamd Husein.
Itikat baik demi mencari solusi bukan tak pernah diupayakan. Mestika Zed dalam makalah bertajuk Dekade Pergolakan Daerah: Mendekati Isu-Isu Konflik Pusat-Daerah dalam Perspektif Pembangunan Nasional Tahun 1950-an (2010) mencatat upaya-upaya pendamaian konflik pusat dengan daerah ini. Ada lobi-lobi pribadi maupun penyelenggaraan forum nasional yang bersifat terbuka seperti Munas (Musyawarah Nasional) dan Munap (Musyawarah Nasional Pembangunan), Piagam Palembang dan lain-lain. “Namun niat baik itu menjadi mentah ketika terjadi Peristiwa Cikini di akhir November 1957, sehingga segala sesuatu yang diupayakan sebelumnya menjadi buyar dan pada saat yang sama teror, intimidasi dan fitnah makin tak terkendali.” (hal. 3).
Sebuah Ultimatum yang Tak Digubris
Kelompok regionalis yang belakangan berubah menjadi Dewan Banteng mulai terlihat akan mencapai puncaknya ketika Ahmad Husein mengirimkan ultimatum kepada Kabinet Juanda. Mestika Zed dalam makalah yang sama menguraikan isi ultimatum itu. Antara lain tuntutan agar Kabinet Juanda dibubarkan dan menyerahkan mandatnya kepada Presiden atau Pejabat Presiden. Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX diminta untuk membentuk cabinet sementara sampai Pemilu berikutnya. Selanjutnya meminta kepada Presiden Soekarno agar bersedia kembali sebagai Presiden konstitusional dengan membatalkan semua tindakannya yang melanggar konstitusi selama ini.
Jika ultimatum itu tidak dipenuhi, Dewan Perjuangan mengancam untuk membentuk pemerintahan sendiri. Ternyata bukan sekedar ancaman. Pada 15 Februari 1958, hari ini 61 tahun lalu, diproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) diikrarkan di Padang, Sumatera Barat. Syafruddin Prawiranegara, mantan Presiden PDRI, menjadi Perdana Menteri. Sedangkan Simbolon menjadi Menteri Luar Negeri PRRI.
Baskara T. Wardaya dalam Bung Karno Menggugat (2010) menuliskan pidato Syafruddin Prawiranegara masa itu. “Dengan kesedihan dan kesusahan yang mendalam, kita terpaksa mengibarkan bendera menentang Kepala Negara kita sendiri. Kita telah bicara dan bicara. Sekarang tiba saatnya untuk bertindak!”
Berawal dari tuntutan ekonomi lebih luas dan keadilan lebih merata, namun PRRI disikapi dengan tegas oleh Pemerintah RI. PRRI, juga Permesta dianggap sebagai gerakan separatis, memisahkan diri dari Negara kesatuan, dan akhirnya dituntaskan dengan cara militer.
Seperti dicatat Hasril Chaniago dan Khairul Jasmi dalam Brigadir Jenderal Polisi Datuk Rangkayo Basa: Gubernur di Tengah Pergolakan (1998), “… Sekitar 400 mahasiswa dan pelajar Sumatera Barat bergabung dengan PRRI.” Mereka simpati dengan gerakan PRRI dan memilih pulang ke kampong halaman untuk menerima latihan dasar menggunakan senapan dan senjata api otomatis.
Sutan Mohammad Rasjid adalah salah satu orang yang kecewa dengan reaksi keras pemerintah pusat. Mantan Gubernur Militer Sumatera Barat dan Tengah ini saat itu sedang menjabat sebagai Duta Besar… Kepalang tanggung, sebagai bentuk protesnya, ia memilih mengambil peran sebagai Duta Besar PRRI untuk Eropa.
Soe Hok Gie dalam Zaman Peralihan (2017) juga ada menyentil tentang ini. “Pemuda-pemuda tentara pelajar PRRI-Permesta ini percaya bahwa cita-cita perjuangan mereka adalah untuk pembangunan, dan karena pembangunan dihalangi, kita harus mengangkat senjata melawan Soekarno-PKI. Ribuan dari mereka menghancurkan hidupnya demi cita-cita murni,” tulis aktivis 66 ini.
Banyak narasi sejarah menceritakan keterlibatan Amerika, khususnya CIA dalam menyokong kekuatan PRRI. Tim Weiner dalam Membongkar Kegagalan CIA (2008) banyak mengungkap tentang ini. Richard Nixon yang masa itu menjadi wakil presiden mengusulkan pada Amerika Serikat yang sedang dalam pusaran Perang Dingin untuk bekerjasama dengan organisasi militer Indonesia untuk membendung komunisme. CIA membantu PRRI dalam persenjataan, keuangan dan pelatihan militer.
Mestika Zed dan Hasril Chaniago dalam Ahmad Husein: Perlawanan Seorang Pejuang (2001) menaksir kekuatan PRRI mendekati 15.000 personel, terdiri dari tentara regular, tentara pelajar dan mahasiswa yang dikenal dengan The Second Army, serta para pegawai negeri sipil termasuk guru-guru.
Direspon dengan Penumpasan
Situasi yang mulai mendesak membuat Soekarno melancarkan operasi militer. Pada Meret 1958, Operasi Tegas digelorakan untuk menumpas gerakan yang dianggap pemberontakan ini. Operasi ini melibatkan semua angkatan bersenjata, yaitu Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara, termasuk juga Kepolisian. Operasi itu dikomandani oleh Khairudin Nasution. Sasarannya adalah Riau.
Martin Sitompul dalam Historia.id (27 Mei 2018) memberikan keterangan pemilihan Riau sebagai sasaran operasi, meskipun pusat PRRI berada di Sumatera Barat dan Sumatera Utara. “Posisi Riau cukup strategis karena berbatasan dengan jalur lalu lintas laut internasional. Menguasai Riau akan menutup kemungkinan pemberontak melarikan diri melalui Selat Malaka.”
Pada Mei 1961, gerakan itu berhasil ditumpas. Para pemimpinnya ditangkap dan menyerahkan diri. Ahmad Husein menyerahkan diri pada 29 Mei 1961. Iswara N. Raditya dalam Tirto.id (13 Juli 2017) menuliskan, setelah gerakan yang dianggap separatis itu ditumpas, pemerintah melalui Surat Keputusan Presiden No. 449/1961 yang keluar bertepatan dengan peringatan kemerdekaan yang ke-16. Isinya memberikan pengampunan untuk tokoh-tokoh PRRI.
Penulis: Aris Munandar