“Ayo kita taruhan.”
“Taruhan apa?”
“Kira kira pasangan suami istri rumah depan ini akan mulai bertengkar jam berapa?”
“Huss, jangan begitu.”
“Ayolah, aku bertaruh mungkin sekitar jam sembilan nanti.”
“Aku jam sepuluh.”
Jarum jam masih menunjukkan angka delapan tepat. Masih belum ada tanda tanda peperangan. Suasana masih damai. Hanya terdengar suara kodok yang bersahut-sahutan menyanyikan lagu pujian syukur atas turunnya hujan tadi sore dan suara lantai papan yang berderit jika diduduki. Tampak gugus Orion terlukis di langit Utara. Tiga buah bintang yang berjejer tampak mencolok diantara bintang lainnya, menemani kami berdua didepan teras gubuk kecil itu.
“Kau tahu, aku mulai menikmati tinggal disini,” ucapku
“Kenapa?” Tanya perempuan itu sembari menghidupkan rokoknya dan mengepulkan asap yang menari-nari mengelilingi lampu oranye redup itu.
“Aku menemukan banyak inspirasi, sayang,” jawabku. “Aku bisa membuat banyak puisi hanya dengan sekali duduk di teras gubuk ini.”
“Kau benar, tapi kita tidak bisa makan nasi ditemani puisi.”
“Siapa bilang, itu artinya kau belum memahami makna dari puisiku,” ucapku berusaha menyombong di depan perempuan ini.
“Memangnya kau pernah makan dengan lauk puisimu?”
“Pernah lah, kau tidak tahu puisi yang berjudul ayam goreng itu kubuat untuk apa?”
“Bukannya puisi itu tentang perasaan seekor ayam yang merasa sedih karena semua unsur tubuhnya dieksploitasi?” Ucap perempuan itu sambil meletikkan bara rokok di kaleng cat Paragon kosong yang entah sejak kapan telah berubah menjadi asbak.
“Umm, kau tidak sepenuhnya salah. Tapi puisi itu juga tentang kenikmatan dari ayam tersebut,” jelasku.
“Kau gila,” ucapnya sambil tersenyum pahit.
Baca juga: Laila Perempuan Batu
Aku hanya tersenyum mendengar ucapan perempuan yang kusayangi itu. Aku tahu dia tak serius mengatakannya, sekali pun dia serius mengatakannya, aku juga tak masalah dengan itu.
Kupandangi lamat-lamat wajah cantiknya, lampu oranye itu berpendar ke rambut hitamnya, yang entah kesekian kalinya, menginspirasiku membuat puisi. Mungkin sudah kukatakan kalau aku bisa membuat banyak puisi hanya dengan sekali duduk di teras ini, tapi tak sekali pun aku pernah membuat puisi untuk perempuan ini. Aku bisa saja membuat puisi dari suara kodok setelah hujan atau dari abu rokok yang tanpa sengaja terjatuh dari baranya, atau apa pun. Tapi ketika aku melihat wajah perempuan ini, sebaris kalimat pun tak sampai tertulis.
“Ngomong-ngomong kau tidak pernah membuat puisi tentangku,” ucap perempuan itu.
Aku terbatuk sedikit mendengar ucapan perempuan ini. Seakan-akan dia bisa mendengar apa yang sedang aku pikirkan.
“Ehh, aku menyiapkan puisi yang megah untukmu,” ucapku agak ragu.
“Kapan aku bisa membacanya?”
“Tunggu saja, masih belum kutulis, masih butuh waktu sekitar.., setahun lagi, ya setahun lagi.”
“Kenapa sangat lama? Bukannya kau bisa menulis banyak puisi hanya dalam sekali duduk di teras ini?”
“Yang biasa kutulis hanyalah puisi kacangan, aku tidak mau menghinamu dengan puisi seperti itu,” ucapku mengelak
“Hmm, terserahmu saja,” ucapnya sambil mematikan rokoknya.
“Hm, mending kita lihat pertunjukkan didepan rumah ini,” kataku. “Suaminya baru saja pulang,” ucapku mengalihkan pembicaraan.
“Kira kira mereka akan memakai senjata apa kali ini?”
“Mungkin seperti biasa, sapu,” ucapku datar.
Samar samar mulai terdengar suara laki laki yang meninggi dari rumah didepan kami.
“Aku ini baru pulang kerja, capek, jangan coba–coba bikin emosi lagi”.
Tak menunggu lama, suara samar samar lelaki itu hilang ditelan suara kaca yang pecah.
“Hmm, nampaknya itu piring,” ucapku.
Perempuan disampingku hanya diam dan mengangguk tanda setuju. Kami seperti para kritikus musik yang sedang menikmati musik di sebuah opera.
Selang beberapa detik, terdengar suara perempuan yang melengking;
“Aku di rumah, anak gadismu di rumah, kau malah enak enak di sana sama perempuan lain!”
Perempuan disampingku sedikit mengernyitkan dahinya. Nampaknya ia kurang menikmati pertunjukkan kali ini, tak seperti malam-malam sebelumnya.
“Apakah kau butuh cemilan?” Tawarku untuk menyenangkan hatinya.
Tak sempat ia menjawab, suara tamparan yang terdengar agak keras dan diikuti suara erangan perempuan memotong percakapan kami. Suara tamparan itu seperti menghentikan waktu di lingkungan itu sejenak.
“Ahh, aku tak suka suara itu,” ucap perempuan di sampingku
“Benar, mendengarnya saja sudah bikin ngilu.”
“Kira kira sampai kapan kita akan mendengar ini terus?” Tanya perempuan itu dengan raut yang sedikit sedih.
“Entahlah, aku juga tak mengerti permasalahan rumah tangga mereka.”
“Aku jadi takut untuk berumah tangga.” Perempuan itu menatap mataku. Kerling matanya berbinar menyiratkan suatu ketakutan akan masa depan. Sontak aku merangkul lembut tubuh perempuan itu. Ia menyandarkan kepalanya di bahuku, ditemani langit dengan bintang yang tak banyak, dan suara piring piring yang pecah. Ahh, sangat puitis.
Baca juga: Kiat Sukses Menjadi Penulis
Suara kaca dan kaleng yang bersahutan dilempar di dalam rumah itu membunuh suara sepi yang dari tadi mendiami lingkungan ini. Bahkan suara kodok yang sedari tadi bersahutan sudah tidak ada lagi. Tampaknya mereka juga sedang menikmati pertengkaran itu. Ibarat sedang merasa di perang dunia, tetapi tanpa suara granat atau pun pesawat Fokker yang terbang melintas untuk menyebarkan selebaran propaganda Nazi.
“Bisakah kau menulis puisi tentang pertengkaran mereka?” Tanya perempuan itu tiba tiba.
“Tentu saja bisa, tapi mungkin agak lama selesainya.”
“Tidak apa, aku akan menunggunya,” ujarnya
“Baiklah, tapi kau lebih baik pulang sekarang dan obati ibumu, tampaknya tamparan tadi sangat keras.”
Penulis: Napoleon