Baru dua semester yang kujalani di kota orang ini, dan tanpa sadar besok adalah hari pertamaku memasuki ramadhan. Aku sendirian sebagai anak rantau tak berkeluarga tanpa ayah ibu yang selalu ada di sisiku. Hal ini membuatku merasa menyedihkan, akan jadi apa aku tanpa ayah yang pasti membangunkanku sebelum sahur, dan ibu yang selalu memasakkan makanan enak untukku.
Tak kupungkiri, rasa rindu ini sangat mendesakku untuk pulang. Tapi, haruskah? Berapa nominal lagi yang harus kurogoh hanya untuk angkutan umum nantinya. Sekali jalan saja pasti langsung habis lima puluh ribu, kalau kembali lagi sudah seratus ribu. Ah, menyebalkan.
“Tapi, sudah lama aku tak pulang…” Pikirku kalut. Terbayang sudah tatapan keluargaku yang tak kalah merindu padaku. Ayah ibu yang tak lagi muda sering terlintas dibenakku, “Apakah mereka hidup dengan baik tanpaku?” Ringisku.
“Hah, apa kabar mereka?” Tanyaku ambigu pada gemicing kalung liontin yang tahun lalu ayah berikan padaku. Mataku menatap nanar pada benda itu, sangat lama sehingga agaknya menimbulkan tanya teman seperkosanku, Fani.
Fani melongok dan menepuk pundakku, “Oi, ngapain? Ga tarawih?” Benar saja, sudah berapa lama aku termenung pada hamparan halaman luas di rumah Cik Tiwi, tempat kosku yang tak berganti.
Aku bercengir di hadapannya, “Gak papa, ini loh aku lupa. Tarawihnya malam ini?” Celotehku tak karuan. Fani mengangguk, “Mau kutungguin?”
“Boleh dong!” Aku berlari mendahului Fani, berniat untuk mengambil air wudhu. Saking cepatnya tanpa sadar diriku menabrak seseorang yang ada di depanku, sebut saja ia kak Yunda.
“Apaan sih?” Mata kakak kelasku yang memang sangat galak itu melotot sangat besar melebihi amarah tante Bunga, adiknya ayahku. Ia melanjutkan seraya menunjuk pada kertas-kertas yang berserakan di lantai, “Kau pikir gampang menyusun benda-benda ini?! Jalan tuh pake mata, bukan dengkul!” Katanya pedas yang sejujurnya agak melukai hatiku.
“Alah, munafik. Kau kira aku tak tahu kalau kau sengaja? Dasar gak punya adab, gak pernah diajarin sopan santun dirumah kah?!” Lanjutnya sewot. Kak Yunda menatapku dengan mata merah dan hidung kembang kempis, “Seenggaknya tuh, minta maaf dong!”
Baca Juga: Pengantar Tidur Panjang, Kepergian Ayah
Kulihat Fani yang seperti ingin menghampiri ke arah kami berada. Aku menahan air mata yang tertampung di bawah kelopak mataku, sebisa mungkin kutahan rasa sesak di dadaku. Aku berjongkok, memungut satu per satu lembaran kertas itu, memberikannya kembali pada pemiliknya kemudian beranjak masuk kedalam kamar mandi tanpa berkata apapun pada kak Yunda.
Selagi didalam kamar mandi, air mata meleleh melewati pipiku. Ucapan kak Yunda mungkin memang tak masalah bagi sebagian orang tapi bagiku, yang baru saja berusaha untuk melewati kesedihan, malah merasakan perasaan yang penuh dengan berbagai emosi. Hatiku tak siap, rasanya sangat campur aduk membayangkan kata-katanya yang seakan menyalahkan orang tuaku.
Aku keluar dengan mata yang sembab, kulewati kak Yunda yang hendak berbicara denganku. Fani juga begitu, aku tak menoleh ke arah mereka dan hanya lurus menuju kamarku.
“Kak, jangan begitu dong…” Samar kudengarkan suara Fani yang seakan sedang mendebat kak Yunda. Namun kakak kelasku itu masih saja diam tak berkutik. Tak menyahut ataupun membalas ucapannya.
Lima menit adalah waktu terlama bagiku untuk bangkit dari balik pintu kamar kos, aku yakin disana Fani masih menungguku.
Kubuka pintu kamarku, “Fan, yuk…” Aku menarik tangannya dan tak berani menatap kearah kak Yunda yang ada disebelahnya.
Fani gelagapan, ia bergegas menyusul langkahku sambil mengeluarkan suara yang agak keras, “Duluan kak!” Pamitnya pada kak Yunda yang tak bergerak sedikitpun.
Esoknya aku agak merasa menyesal, mengapa tak kuucapkan saja kata maaf jika kemarin memang itu kemauan kak Yunda padaku? Karena masalah sepele itu kami sama sekali tak bertegur sapa sedikitpun, entah kak Yunda yang gengsi atau egoku yang tak mau mengalah.
“Ukh…” Kupegangi perutku yang kian meronta, seakan minta untuk diisi. Sabarlah, tinggal sebentar lagi dan semuanya akan sia-sia jika kubuka saat ini.
Ngomong-ngomong kepalaku terasa agak pusing dan parahnya sekarang aku sedang berada di tengah tangga yang menghubungkan lantai satu menuju lantai dua.
Saat aku sibuk memegangi perutku yang keroncongan dan kepala yang tak bisa diajak diskusi, satu tangan hinggap di punggungku, dan yang lain menyentuh keningku dari belakang. Kak Yunda.
“Kamu demam ini!” Serunya agak panik, “Udahlah, buka aja. Minum obat!” Ia jadi peduli padaku. Aku menggeleng, “Makasih kak, tapi gak. Aku mau full puasa hari ini” Jawabku membuatnya menarik napas.
“Lho, Yun? Nisa kenapa?” Suara Cik Atik menggema di lantai satu, “Ini lho Cik, demam” Jawabnya, Cik Atik membalas lagi “Kalau memang ga bisa, jangan dipaksakan ya. Dia puasakan?”
“Iya Cik!” Balasku. Tak lama kak Yunda merangkul pundakku supaya tubuhku tak oyong lagi, “Lanjut naik…” Suruhnya padaku.
“M-makasih kak” Ia mengangguk padaku, “Jangan sok kuat. Kalau memang ga bisa, buka aja. Nanti kamu makin sakit” Ucapannya agak membuatku sedih, “Makasih kak!” Ulang ku padanya sebelum akhirnya Kak Yunda masuk ke kamarnya yang berada tepat di sebelah kamarku.
Aku menutup pintu dan langsung tepar diatas kasur saat itu juga, “Jadi inget ayah…” Perkataan kak Yunda padaku barusan membuatku teringat rumah.
Tanpa sadar aku kembali menangis. Mungkin karena demam membuat dadaku kembali sesak dan tangis yang membludak membuat perasaan yang selama ini kupendam langsung melonjak begitu saja.
Tok tok tok
“Ada apa?” Kak Yunda yang perhatian justru membangkitkan rasa pahit di hatiku. Sedih rasanya ketika kembali membayangkan wajah ibu dan ayah yang sedang menungguku di depan teras rumah.
Lantas begitu kubuka pintu itu, memeluknya menjadi satu-satunya jawaban untuk menghilangkan rasa rindu pada keluargaku.
“Sudah setahun aku tak balik kampung! Ibu, kakak… Maaf karena tak bisa selalu ada disamping kalian. Ayah… Aku rindu padamu…”
Baca Juga: Erra Si Merpati Putih
*
Aku bermimpi. Kala itu aku menatap punggung kedua orang tuaku yang kian menjauh dari pandanganku.
“Ayah! Ibu!” Aku berteriak. Menangis sekuat tenaga. Tapi menoleh pun mereka tak mau. Perlahan langkah bahkan bayangan mereka kian lenyap dari indera pengelihatanku. Senyap. Semuanya menjadi hamparan yang hitam dan gelap.
Kata Fani, aku jatuh pingsan. Dan disana ada kak Yunda, ia memandangi ku dengan matanya yang merah dan agak sembab. Bahkan Cik atik dan beberapa temanku ada disini. Aku menundukkan kepalaku, “Maaf… Maaf telah merepotkan kalian semua”
Cik atik, ibu kosku mengetuk kepalaku, “Nak, nak. Kau anggap aku apa? Aku ini ibumu di rumah ini. Kalau ada apa-apa ya hubungi aku, kau juga anakku disini” Cik atik mengomel tanpa henti dan ia terus berceloteh selama beberapa selang waktu.
“Nisa, kalau memang rindu rumah kenapa tak pulang saja?” Bella menepuk pahaku, “Kau takkan begini kalau pulang kerumahmu…” Ujarnya sambil melirik ke arah kak Yunda.
“Maaf…” Ucapan itu keluar dari bibir kak Yunda sendiri, membuatku agak terkejut. Kak Yunda duduk di sampingku, “Kemarin aku agak sensi… Bagaimana menceritakannya ya, ayahku…” Ia menggigit bibirnya sendiri.
Kak Yunda menyentuh pipiku, “Jika kau bisa pulang, pergilah. Jangan menyesal sepertiku” Orang yang selama ini dianggap paling kuat dan galak meneteskan air mata di hadapan semua orang. Ia mulai memeluk lututnya sendiri, tatapannya tampak kosong.
“Sudah lama aku menumpang di tanah orang, kesibukan terus mengejarku. Deadline, praktikum, magang. Semuanya kulakukan!”
“Tapi satu hal, Nisa. Aku melupakan rumahku satu-satunya. Aku mengecewakan ayah yang kupunya setelah dua tahun ibuku tiada”
“Aku tak pernah pulang kesana. Dan dua hari yang lalu… Ayah-” Tangisnya merajalela. Kak Yunda menutupi wajahnya sendiri yang sudah banjir air mata, “Ayahku pergi meninggalkanku! Teganya aku!”
Aku ikut menangis. Itukah alasannya begitu terburu-buru saat itu? Oh Tuhan, dari sepersekian hal yang terjadi dalam hidupku, seseorang justru mengalami hal-hal hebat yang kurasa aku pun takkan sanggup mengalaminya.
Cik Atik mengusap punggung kak Yunda, “Sudah, sudah. Ayahmu takkan senang jika begini. Lagipula adikmu juga pasti mengerti, mana ada lagi transport kapal di awal puasa ini. Semuanya pasti meliburkan diri, tenang Yun. Tenang, semua pasti ada hikmahnya”
Kak Yunda mengangguk, “Maafkan aku yang terlalu sensi padamu. Aku terlalu jahat bukan…” Aku menggeleng, “Gak, itu juga salahku. Kakak tak perlu merasa bersalah hanya karena itu!”
Jawabanku justru membuatnya tersenyum, “Makasih…” Ia lalu melanjutkan, “Nis, jangan ragu. Pulanglah selagi bisa, mereka pasti menunggumu”
“Kak, kuatkan dirimu. Aku tahu ini berat. Memang tak pantas bagiku untuk mengatakan ini tapi, beliau juga pasti merindukanmu. Betapa sayangnya dia padamu, kak” Ia menitikkan air mata sambil tersenyum ke arahku, “Ya!”
Tepat pada saat itu, azan berkumandang. Cik Atik pergi ke belakang dan membawakan kami kue takjil dan air putih. Ia berseru dengan suaranya yang melengking, “Ayo! Ayo batalkan puasa kalian dulu! Nisa gelis, minum obatnya!” Aku tertawa.
Begitulah akhirnya kisahku berakhir. Berbuka puasa disini memang tak buruk, tapi aku juga mendapatkan sebuah pelajaran. Aku takkan melupakan rumahku disana, aku juga pasti akan mengingatnya bahwa orang-orang yang ada di dekatku sekarang adalah keluargaku. Merekalah yang selalu berusaha mengingatkanku akan keteledoranku dan menolongku dikala susah. Terima kasih semuanya Cik Atik, teman-teman dan kak Yunda.
Penulis: Rizka Fajria