mimbaruntan.com, Untan – Apa yang kamu pikirkan ketika melihat sebuah konten di media sosial yang berisi tentang masalah kesehatan mental dan ciri-cirinya? Apakah setelah itu kamu merasa memiliki masalah mental dan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang keren? Jika kamu merasa seperti itu maka kamu merupakan orang yang meromantisasi masalah kesehatan mental. Tahukah kamu bahwa kebiasaan meromantiskan gangguan mental yang menjadi tren itu memiliki dampak yang buruk dan hal tersebut tidak dapat disepelekan karena dampak yang ditimbulkannya? Sadari dan hentikan sekarang juga.
Jika melihat perkembangan tren mengenai masalah kesehatan mental di media sosial dapat menyebabkan timbulnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan mental. Timbulnya kesadaran kolektif menjadi hal yang sangat perlu diapresiasi, tapi sayangnya
Hal tersebut bisa diapresiasi karena timbulnya kesadaran kolektif, tapi sayangnya tren tersebut menjadi kesempatan pada beberapa orang untuk melakukan self-diagnosis. Padahal, dibutuhkan diagnosis dari profesional seperti psikiater agar seseorang dapat dinyatakan mengalami masalah kesehatan mental yang berat, seperti Bipolar.
Edukasi yang berkaitan dengan dunia psikologi disebut pula sebagai Psikoedukasi, dikutip dari Jurnal Carrade, menyatakan bahwa psikoedukasi dapat didefinisikan sebagai suatu intervensi yang dapat dilakukan pada individu, keluarga, dan kelompok yang fokus pada mendidik partisipannya mengenai tantangan signifikan dalam hidup, membantu partisipan mengembangkan sumber-sumber dukungan dan dukungan sosial dalam menghadapi tantangan tersebut, dan mengembangkan keterampilan coping untuk menghadapi tantangan tersebut. Psikoedukasi adalah treatment yang diberikan secara profesional mengintegrasikan intervensi psikoterapeutik dan edukasi (Lukens & McFarlane, 2004). Harapannya, akan muncul kesadaran tentang pentingnya memperhatikan dan menjaga kesehatan mental. Namun, psikoedukasi ini sering disalahartikan oleh beberapa untuk melakukan self-diagnosis tanpa berkonsultasi dengan profesional.
Berdasarkan data yang telah penulis kumpulkan sebanyak 43,9% responden mengatakan memiliki masalah kesehatan mental dengan 55,6% responden mengatakan bahwa mereka mendiagnosis memiliki masalah kesehatan mental melalui media sosial sedangkan yang mendapatkan diagnosis langsung dari profesional hanya 5,6%. Berdasarkan data tersebut, sangatlah mengkhawatirkan karena sebagian besar koresponden melakukan self-diagnosis. Jika fenomena ini tidak segera dihentikan maka efek yang ditimbulkan sangatlah besar.
Self-Diagnosis tidaklah seharusnya dilakukan, karena untuk mendiagnosis seseorang memiliki masalah kesehatan mental haruslah dilakukan oleh seorang Psikiater atau Dokter Spesialis Kejiwaan yang memang memiliki kewenangan untuk mendiagnosis seseorang apakah memilih gangguan mental atau tidak. Lantas seberapa burukkah meromantisasikan sebuah gangguan mental?
Pergeseran Makna Kesehatan Mental
Sebelum teknologi berkembang seperti sekarang, pemahaman masyarakat tentang masalah kesehatan mental masih sangat awam sehingga membicarakan tentang kesehatan mental tidak jarang mendapatkan anggapan bahwa “jika mengunjungi psikolog, seseorang akan dikatakan gila” sehingga memunculkan stigma dan membuat seseorang enggan untuk mencari bantuan profesional.
Tak hanya itu, banyak alasan yang menjadikan seseorang melakukan self-Diagnosis terkait masalah kesehatan mental, salah satunya dikarenakan lingkungan sekitar yang tidak mendukung untuk menjadi pendengar yang baik dan mengurai “benang kusut” yang ada di kepala. Terkadang, ada pula yang menjadikan keluhan kesehatan mental sebagai ajang adu nasib.
Viva, seorang Psikolog Klinis yang saat ini juga menjadi Dosen di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak pada Program Studi Psikologi Islam menjelaskan bahwa kesehatan mental merupakan kondisi dimana seseorang dalam kondisi ‘sejahtera’ dan sifatnya subjektif. Jika terdapat seseorang yang mengatakan kesehatan mentalnya terganggu, hal itu dapat disebut sebagai gangguan kesehatan mental. Penggunaan kata kesehatan mental dalam makna ilmiah artinya mereka masih mampu untuk menemukan penyelesaian masalah dalam hidupnya sendiri.
Pergeseran makna yang terjadi saat ini karena banyaknya konten edukasi tentang Ilmu Psikologi Mental yang membuat seseorang mendiagnosa dirinya sendiri tanpa adanya penanganan dari profesional.
“Tujuan dari para psikolog memberikan edukasi, apabila remaja merasa adanya gejala yang mirip atau bahkan sama dengan apa yang disampaikan di konten edukasi itu. Maka artinya itu sebagai sinyal atau tanda bagi tubuh bahwa diri kita sedang tidak baik-baik saja dan kita perlu mendapatkan ‘diagnosa’ dari profesionalnya dengan pergi ke psikolog,” jelasnya.
Bahaya Romantisasi Gangguan Mental
Kini, teknologi yang sudah berkembang pesat membuat orang-orang bisa dengan bebas dan mudah untuk mengakses informasi apapun, tetapi hal ini juga dapat menjadi “dua sisi mata uang”. Pada sisi positifnya, kemudahan untuk mengakses informasi membuat seseorang itu lebih peduli akan pentingnya menjaga kesehatan mental. Akan tetapi di lain sisi, mudahnya mengakses informasi itu juga dapat berpotensi membuat seseorang dengan mudahnya melabeli dirinya sendiri. Beberapa menganggap itu sebagai suatu hal yang keren, sesuatu yang tren, atau sesuatu yang bisa membuatnya menjadi lebih menarik, serta mencari perhatian.
Desni Yuniarni, yang merupakan Psikolog dengan spesialisasi Perkembangan Anak dan Remaja, berpendapat bahwa ini menjadi tantangan bagi para profesional dalam mengedukasi kepada masyarakat bahwa kesehatan mental bukanlah suatu hal yang tabu atau aib, tetapi bukan berarti dengan gampangnya memberikan label, klaim, atau menganggap itu sebagai suatu tren.
“Jika telah merasa ada gangguan kesehatan mental, jangan dianggap sebagai hal yang tabu melainkan sesuatu yang harus diluruskan dan disembuhkan,” tegasnya.
Desni juga berpendapat bahwa kita sebaiknya peduli terhadap keadaan di sekitar jika ada seseorang yang memiliki tanda-tanda masalah kesehatan mental sebaiknya kita menyarankan orang tersebut untuk melakukan pemeriksaan ke pihak profesional. Dukungan dari orang terdekat juga dapat mendorong seseorang untuk pergi menemui psikolog agar tidak tenggelam dalam pikiran subjektifnya sendiri.
“Jika ada kasus seperti itu, yuk ditemani, didukung, dan dimotivasi. Kita pastikan dulu benar atau tidak apa yang kamu rasakan. Nanti kalau dia sudah datang ke ahlinya, setelah itu baru akan tahu yang sebenarnya gimana,” sambungnya.
Sementara itu, Viva juga menegaskan bahwa semakin cepat menyadari bahwa kita tidak merasa baik-baik saja, maka semakin cepat untuk mendapatkan pertolongan dari masalah yang dialami. Hal ini dapat mengurangi tingkat stres yang menumpuk dan dapat menjadi bom waktu yang suatu saat akan meledak.
“Mendatangi psikolog merupakan tindakan preventif agar tidak terjadi gangguan yang lebih parah daripada itu,” jelasnya.
Viva juga menyarankan jika kita memiliki masalah kesehatan mental dapat mendatangi beberapa Rumah sakit di Pontianak yang sudah memiliki fasilitas untuk itu, antara lain RSUD Sultan Syarif Abdurrahman, RSJ Sungai Bangkong, serta dapat mengunjungi Psikolog mandiri.
Penulis: Yoga dan Fathana
Editor: Dery Wahyudi
*Tulisan ini telah terbit di Tabloid Edisi 25. Dapatkan segera versi cetaknya dengan menghubungi mimbaruntan@gmail.com/ +62 882-4229-0165 (Arum)