mimbaruntan.com, Untan– Qodja kembali berbagi prespektif dalam buku karya Eduard Douwes Dekker dikenal dengan Multatuli berjudul Max Havelaar. Beberapa mahasiswa serta dari berbagai profesi turut memenuhi ruangan lantai dua Kedai Kopi Qahwa berlokasi di Jl. Alianyang, Sungai Bangkong (29/08).
Ia juga bernama asli sebagai Abdul Qodir Jaelani membuka diskusi dengan penggambaran busuknya kolonialisme tragedi tanam paksa pasca perang Jawa. “Buku ini mengkompilasi beberapa kejadian yang sempat direkam oleh Eduard Douwes Dekker, ketika saat itu penguasa sangat dominan lalu memonopoli media sehingga tidak ada lagi jurnalisme yang memihak kepada rakyat, maka sastra akan bicara,” terangnya di tengah pembicaraan.
Multatuli yang menjadi inspirasi bagi Pramoediya Ananta Toer dalam novelnya Bumi Manusia ini juga menegaskan bahwa modus penjajahan itu adalah kolaborasi antara penjajahan kolonialisme dengan feodal pribumi. “Jadi pertarungan sebenarnya adalah antara penindas dan yang ditindas,” tegas Qodja.
Rahma salah satu mahasiswi FKIP Untan yang hadir mengatakan bahwa dalam buku yang ditulis Multatuli banyak pelajaran dalam hal melawan dengan kritik sosial yang relevan. “Mengajarkan bagaimana kita melawan dengan berbicara atau sebagainya, memang banyak sekali perlawanan lewat karya sastra dengan menyelipkan hal-hal yang relevan supaya kita memahami bagaimana menjadi manusia,” komentarnya.
Reporter: Mita Anggraini
Penulis : Maratushsholihah
Editor : D.A. Fauziah