mimbaruntan.com, Untan – Pagi itu cuaca memang tak begitu cerah. Sebagian toko yang berjejer di pusat Kota Singkawang sudah menunjukkan aktivitasnya, Selasa (11/9). Begitupun Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang terletak di persimpangan pasar, pintunya sudah terbuka lebar. Tampak beberapa warga Tionghoa telah selesai melaksanakan ibadah di vihara atau klenteng yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya dan dilindungi UU Nomor 11 Tahun 2010 itu.
Sekitar 200 meter, tak jauh dari klenteng, berdiri tegak pula Masjid Raya Singkawang. Sebuah masjid tertua yang ada di Kota Singkawang. Bukan hanya soal jaraknya yang cukup dekat, namun kedua tempat beribadah ini merupakan simbol dari bentuk sosial budaya dan wadah pengembangan masyarakat. Any Rahmayani dalam bukunya Permukiman Tionghoa di Singkawang menyebutkan, klenteng dalam kehidupan masyarakat Tionghoa berfungsi sebagai tempat religius dan sosial.
Selain itu juga, klenteng dan masjid ini menjadi saksi tumbuh kembangnya sikap toleransi serta harmonisasi antar umat beragama di Kota Singkawang, Kalimantan Barat (Kalbar). “Masjid Raya dibangun tidak jauh darinya (Vihara Tri Dharma Bumi Raya-red). Sekitar dua ratus meter. Kondisi ini menunjukkan bahwa di masa itu hubungan yang harmonis telah terjadi antara kaum muslim dan masyarakat Tionghoa,” tulis Ruslan Karim dan Abroorza Ahmad Yusra dalam buku Masjid Raya Singkawang, Pilar Teguh Umat dan Kota.
Sikap toleransi ini pun tampaknya masih dijaga hingga kini. Hendri (22) pemuda yang bekerja sebagai salah satu tukang gigi di Pasar Singkawang menjelaskan, toleransi antar umat beragama di Kota Singkawang berlangsung sangat baik. Menurutnya hal ini perlu dirawat dengan cara saling memahami dan tidak egois.
“Tidak ada perbedaan, kamu suku apa dan agama apa, tetap bersatu dalam Bhineka Tunggal Ika,” kata pria yang juga berprofesi sebagai Tatung (orang sebagai perantara roh leluhur, penganut Tao, untuk membantu menjalankan amal sosial seperti pengobatan dan pengusiran roh jahat) sejak kecil ini saat ditemui di rumahnya, Selasa (11/9).
Dilansir dari Tribun Pontianak, Wali Kota Singkawang periode 2017-2022 Tjhai Chui Mie menargetkan kota ini menjadi kota nomor satu dalam hal toleransi. Berdasarkan laporan Indeks Kota Toleran (IKT) 2017 yang dikeluarkan Setara Institute dan Unit Kerja Presiden-Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), menunjukkan Kota Singkawang masuk dalam lima kota toleran dengan skor tertinggi. Kelima kota tersebut mendapat skor yang sama, 5,90.
Wajah Keberagaman Kalbar di Tahun Politik
Kota Singkawang merupakan contoh kecil dari wujud toleransi dalam keberagaman agama, suku dan budaya yang ada di Kalbar. Jumlah penduduk menurut agama semester 1 tahun 2018, berdasarkan data statistik dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kalbar mencatat, penduduk beragama Islam berjumlah 3.226.008, Kristen 618.991, Katolik 1.203.638, pemeluk agama Hindu 3.087, Buddha 339.006 dan Konghuchu 13.117 serta aliran kepercayaan berjumlah 2.706 jiwa.
Ismail Ruslan selaku Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kalbar menyebutkan bahwa Provinsi Kalbar merupakan miniatur dari Indonesia. “Sebagai miniatur Indonesia karena memang beragamnya etnis dan agama,” katanya saat ditemui di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontinak, Kamis (13/9).
Namun di sisi lain, terkait penyelenggaraan Pilkada lalu, ia mengungkapkan, sebelumnya ada dua institusi melalui hasil risetnya memrediksi Kalbar sebagai zona merah atau daerah rawan konflik. “Kita FKUB dengan Kapolda, Pangdam serta tokoh agama merasa bahwa warning itu sebagai tantangan bukan sebagai momok. Kita berupaya dan alhamdulillah atas kerja sama berbagai pihak, Kalbar mampu membalikkan prediksi itu dan Kalbar aman,” uangkapnya.
Ia menambahkan bahwa toleransi merupakan hal yang dinamis begitu pula di tahun politik. Isu agama dan etnis, menurutnya memang selalu dijadikan komoditas untuk kepentingan pragmatis yang dapat berujung pada konflik. Sehingga berbagai pihak, khususnya di Kalbar selalu menggaungkan tentang Pilkada damai.
Ismail Ruslan yang juga pengajar di IAIN Pontianak ini mengatakan bahwa generasi muda atau kaum milenial memiliki peran dalam merawat toleransi dan menjaga keberagaman di tahun politik dalam hal ini Pilkada dan Pilpres mendatang. Menurutnya, generasi muda memiliki akses informasi yang luas sehingga harus bisa menyaring informasi hoaks yang bisa memecah belah.
“Harus bisa menyaring kalau ada informasi tentang sesuatu yang berkaitan dengan kerukunan, toleransi dan moderasi beragama, dia harus mengukur apakah berita ini benar atau tidak, hoaks atau tidak,” jelasnya.
Menanggapi hal ini, Syarifah Ema Rahmaniah Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura (Untan), mengatakan bahwa sebenarnya upaya merawat keberagaman di Kalbar sudah banyak diterapkan lewat berbagai seminar kebangsaan dan memang memerlukan kerja sama seluruh masyarakat untuk mewujudkannya.
Ia juga menjelaskan, dalam membangun kesadaran dan pemahaman bagi generasi muda akan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, demokrasi, kemanusiaan dan pluralisme dalam pergaulan masyarakat yang beragam latar belakang kulturalnya dapat melalui penerapan pendidikan multikultural.
“Berdasarkan kondisi sosial budaya Kalbar yang sangat plural, pendidikan multikultur menjadi urgen untuk diimplementasikan, dimana pendidikan model ini tidak hanya dapat dikenalkan dalam bentuk pendidikan formal namun dapat juga disosialisasikan ke dalam bentuk pendidikan informal dan nonfomal agar lebih mudah diserap oleh masyarakat,” katanya, Jumat (14/9).
Penulis: A.Rahman
Editor : Fikri RF