mimbaruntan.com, Untan – Kasus pembunuhan dan pemerkosaan terhadap seorang siswi SMP di Palembang baru-baru ini menimbulkan gelombang perdebatan di kalangan masyarakat. Tiga dari empat pelaku yang masih di bawah umur tidak dijatuhi hukuman penjara, melainkan dikirim ke pusat rehabilitasi.
Langkah ini, meskipun sejalan dengan hukum yang melindungi anak-anak, mengundang kecaman dan pertanyaan mendasar,
‘apakah rehabilitasi merupakan langkah yang tepat dalam menangani pelaku kejahatan berat?’
Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum di Indonesia, seperti banyak negara lainnya memiliki ketentuan khusus untuk anak-anak yang terlibat dalam tindak kriminal. Mereka dipandang sebagai individu yang masih berada dalam tahap perkembangan mental dan emosional, sehingga hukuman rehabilitasi seringkali menjadi pilihan yang dianggap lebih manusiawi daripada penjara.
Baca Juga: Membongkar Realita: Terselubung Kekerasan Seksual dalam Dunia Kerja
Namun, dalam kasus kejahatan serius seperti pembunuhan dan perkosaan, keputusan untuk mengirim pelaku ke pusat rehabilitasi alih-alih menghukum mereka secara lebih tegas sering kali dianggap sebagai tindakan yang mengabaikan hak-hak korban.
Keluarga korban tentu akan merasa bahwa keadilan tidak ditegakkan. Bagaimana bisa para pelaku, yang dengan sadar melakukan kejahatan brutal, hanya diberi “perlindungan” berupa rehabilitasi? Korban yang telah kehilangan nyawanya, dan keluarganya yang harus menanggung trauma seumur hidup, tampaknya tidak mendapatkan hak keadilan yang setimpal.
Salah satu argumen yang sering diajukan adalah bahwa pelaku yang masih di bawah umur belum sepenuhnya memahami dampak dari tindakan mereka. Namun, jika mereka cukup sadar untuk melakukan tindakan brutal seperti pembunuhan dan perkosaan, bukankah mereka juga seharusnya bertanggung jawab atas tindakan tersebut? Jika rehabilitasi adalah satu-satunya bentuk “hukuman” yang mereka terima, pesan apa yang kita kirimkan kepada masyarakat?
Masyarakat perlu tahu bahwa kejahatan, terlepas dari usia pelakunya, membawa konsekuensi. Hukuman yang terlalu ringan dapat memicu lebih banyak kejahatan serupa karena pelaku tahu bahwa sistem hukum tidak akan memberikan hukuman berat.
Rehabilitasi mungkin memiliki tempat dalam konteks kejahatan ringan atau perilaku menyimpang kecil, tetapi dalam kasus kejahatan berat seperti ini, perlindungan terhadap pelaku muda seharusnya tidak mengorbankan keadilan bagi korban.
Baca Juga: Pemenuhan Hak Dasar di Kalbar, Pemerintah Salah Fokus
Kasus ini juga menimbulkan kekhawatiran yang lebih luas: apakah dengan memberikan hukuman yang ringan, kita sebenarnya membuka jalan bagi anak-anak lainnya untuk melakukan kejahatan serupa? Ketika para pelaku tidak benar-benar merasakan dampak dari tindakan mereka, bagaimana kita bisa berharap bahwa mereka atau orang lain akan takut untuk melakukan kejahatan di masa depan?
Ketegasan hukum diperlukan untuk mencegah kejahatan serupa. Dengan memberikan hukuman yang lebih adil dan tegas, terutama dalam kasus pembunuhan dan perkosaan, kita tidak hanya memberikan keadilan bagi korban, tetapi juga mengirim pesan kuat kepada calon pelaku lainnya bahwa tindakan mereka tidak akan dibiarkan begitu saja.
Tidak berarti bahwa pelaku di bawah umur harus diperlakukan sama seperti pelaku dewasa, tetapi sistem peradilan kita perlu menemukan keseimbangan antara rehabilitasi dan hukuman yang sesuai. Mungkin diperlukan peninjauan Kembali terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak yang lebih memperhatikan level tingkat kejahatan.
Dalam kasus kejahatan berat, rehabilitasi harus disertai dengan hukuman yang lebih nyata, seperti pengawasan ketat, program jangka panjang, atau bahkan penahanan di institusi khusus hingga usia dewasa.
Lebih penting lagi, pendidikan dan pencegahan di kalangan anak-anak harus diperkuat. Mengajarkan mereka tentang dampak dari kejahatan dan konsekuensi hukumnya adalah langkah awal untuk mencegah insiden serupa di masa depan.
Kita tidak boleh melupakan bahwa di balik setiap kejahatan ada korban yang hak-haknya harus dihormati. Sistem hukum kita, yang berusaha melindungi anak-anak, juga harus memastikan bahwa pelaku kejahatan berat, meskipun masih muda, tetap wajib mempertanggungjawabkan tindakan mereka. Rehabilitasi semata bukanlah solusi yang adil bagi korban atau masyarakat.
Penulis: Anggun Jumiarti
Referensi
https://regional.kompas.com/read/2024/09/07/162000678/3-pelaku-pembunuhan-putrinya-tak-ditahan-ayah-siswi-smp-di-palembang–hati
https://www.kemenpppa.go.id/page/view/NTAxNg==diakses
https://narasi.tv/read/narasi-daily/fakta-pembunuhan-siswi-smp-di-palembang-korban-diperkosa-di-makam-pelaku-malah-bangga