mimbaruntan.com, Untan – Belasan spanduk bertuliskan #GagalkanRUUTPKS dan #CabutPermendikbud digelar di depan Gedung DPRD Kalbar. Bendera dari masing-masing organisasi dikibarkan sembari mengucapkan Takbir, menjadi saksi bahwa demonstran dengan tegas menolak peraturan ini.
Aliansi Tolak Permendikbud ini merupakan sekelompok organisasi dari Pusat Komunikasi Daerah Kalimantan Barat yang terdiri dari KAMMI wilayah Kalimantan Barat, KAMMI Komisariat Untan, BKMI Untan, LDK As-Salam IAIN Pontianak, serta LDK Immsah Polnep melayangkan pernyataan sikap dan seruan aksi menolak Permendikbud 30.
Rudi Nopiansyah, koordinator lapangan aliansi menyatakan bahwa hadirnya Permendikbud 30 menjadi sebuah kesempatan bagi masyarakat khususnya di lingkungan kampus untuk membenarkan tindak asusila di luar hubungan pernikahan.
“Permendikbud 30 ini melegalkan perzinahan, ini bisa menjadikan karpet merah untuk zina,” ujarnya saat diwawancari oleh reporter mimbaruntan.com di tengah seruan aksi penolakan (25/11).
Dita Dwi Anggreiny, Kepala Departemen Perempuan KAMMI Kalbar memperjelas bahwa yang dapat melegalkan perzinahan adalah frasa “consent”.
Selain itu, frasa ‘kekerasan’ juga dianggap menimbulkan multitafsir.
Tak hanya itu, Dita menambahkan bahwa pembentukan Permendikbud 30 ini menggunakan Ideologi Feminisme sehingga akan berdampak kepada hadirnya kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender/Transeksual) di Indonesia.
“Jelas diketahui bahwa ideologi pembentukan Permendikbud 30 ini adalah Feminisme dimana membedakan antara seks dan gender, kami takut akan ada penunggang gelap,” paparnya.
Secara spesifik, terdapat beberapa pasal yang dipermasalahkan oleh Aliansi Tolak Permendikbud 30 ini, yaitu:
Adalah Toni Kurniadi, salah satu perwakilan DPRD (Dewan perwakilan Rakyat Daerah) Kalbar menjelaskan bahwa perlu adanya antisipasi karena khawatir adanya penumpang gelap yang menyalah gunakan Permendikbud 30 tersebut.
“Kami akan merekomendasikannya kepada pimpinan karena masalah ini harus direspon oleh semua pihak. Meskipun kita bukan negara islam, kita tidak kompromi apapun bentuk perzinahan. Oleh karena itu kami mendukung penuh pernyataan aliansi,” tuturnya di depan para demonstran saat audiensi (25/11).
Menanggapi hal tersebut, Lasma Natalia selaku direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung menjelaskan pada hakikatnya Permendikbud 30 ini dibentuk melalui perspektif korban dengan tujuan untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di lingkungan kampus, sehingga hadirnya Permendikbud karena ideologi feminisme tidak tepat untuk dilayangkan.
“Permendikbud ini hanya mengatur tentang kekerasan seksual yang hadir melalui perspektif korban-korban yang telah ditemukan,” tegas Lasma saat mengunjungi Sekretariat LPM Untan (26/11).
Sedangkan dalam Pasal 1 ayat 1 pada frasa “dapat berakibat” dianggap merupakan rumusan pasal yang sangat abstrak dan berpotensi menjadi alat bagi terduga yang mengaku korban untuk mengintimidasi terduga pelaku tanpa pertimbangan unsur hukum yang jelas dengan melihat kualitas.
Sedangkan, dalam Permendikbud ini sudah mengatur mekanisme penanganan kekerasan seksual penerimaan laporan, pemeriksaan, penyusunan kesimpulan dan rekomendasi, pemulihan, dan tindakan pencegahan keberulangan.
Dimana dalam bagian pemeriksaan terdapat 7 langkah untuk mengumpulkan keterangan dan/atau dokumen yang terkait dengan laporan kekerasan seksual hingga terbitnya laporan acara.
Membedah Frasa dan Argumentum a Contrario pada Tuntutan Aliansi
Pada frasa consent atau “tanpa persetujuan korban” yang diuji dengan menggunakan metode pengujian Argumentum a Contrario, dimana sesuatu dapat dianggap benar karena tidak dibantah dalam perkara tertentu.
Dalam hal ini, masa aksi menganggap bahwa apabila korban setuju maka perzinahan dapat terjadi, yang di mana melanggar norma agama dan sosial.
Menanggapi hal tersebut, Ivan Wagner selaku Dosen Hukum Universitas Panca Bhakti (UPB) Pontianak menjelaskan bahwa peraturan ini tidak bisa dilihat menggunakan Argumentum a Contrario karena bentuk Arugentum a Contrario yang sebenarnya adalah sebagai berikut :
Jika peraturannya adalah “Tidak boleh mencuri di malam hari”, maka setelah diuji dengan Argumentum a Contrario mejadi “Boleh mencuri di siang hari”.
Jadi, Argumentum a Contrario hanya digunakan untuk kata yang berlawanan dalam suatu peraturan, misalnya gelap dan terang, pria dan wanita, janda dan duda, dan sebagainya. Bukan dalam kondisi kejadian yang berlawanan.
Apabila kondisi yang berlawanan terjadi, maka permendikbud tidak mengatur hal tersebut, sebab setiap peraturan hanya mengatur satu masalah. Soal perzinahan sudah diatur di peraturan lainnya.
“Kalau dilihat dari sifat dasar hukum, terutama untuk yang tertulis itu hanya bisa mengatur sesuatu yang diinginkan untuk diatur, tidak lebih dari itu,” tutur Ivan.
Ivan menjelaskan bahwa dalam tatanan kehidupan masyarakat tidak hanya diatur oleh peraturan tertulis saja. Aturan agama, budaya, sosial, dan internasional juga berada dalam kedudukan yang seimbang.
Ia menegaskan juga jika semua orang setuju dengan penghapusan kekerasan seksual di lingkungan kampus, maka tidak seharusnya Permendikbud 30 ini menimbulkan kubu pro dan kontra.
“Semuanya sepakat kekerasan seksual harus dihapuskan. Kalau takut adanya zina, maka silahkan buat saja peraturan baru tentang zina di luar permendikbud ini,” tutupnya.
Penulis : Monica dan Daniel
Editor : Nia