Judul buku: Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma
No. ISBN: 979-407-218-4
Penulis: Idrus
Penerbit: Balai pustaka
Cetakan: 24
Tahun: 2008
Halaman: 172
Tebal buku: 20,5 cm
Abdullah Idrus (21 September 1921 – 18 Mei 1979) adalah penulis dari 5 novel, puluhan cerita pendek, dan beberapa naskah drama. Karena karyanya, penulis asal Sumatra Barat ini bahkan dikukuhkan oleh H.B Jassin sebagai pelopor angkatan-45.
Kehidupan susah terjadi di Jakarta, Surabaya, Plered, dan diseluruh pulau Jawa. Semua orang menengadahkan tangan ke langit, meminta rezeki dari Tuhan Yang Maha Kuasa , seperti Tuhan lupa memberi mereka rezeki. Setiap tahun padi menguning juga, beras digiling juga … Tuhankah yang salah?
Sepenggal penutup dari salah satu cerpen berjudul “Jawa Baru” dalam buku “Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma” karangan Idrus membuat saya tertegun beberapa saat. Bak peramal, tulisan tahun 40-an itu bahkan masih relate dengan keadaan sekarang.
“Dari Ave Maria ke Jalan lain ke Roma” berisikan sebelas cerita pendek dan sebuah naskah drama. Cerita cerita tersebut juga dibagi kedalam 3 bagian berdasarkan “corak” kepenulisan serta waktu kejadian didalam ceritanya. Yaitu, Zaman Jepang, corat coret dibawah tanah, dan sesudah 17 Agustus 1945.
Pada bagian zaman Jepang yang terdiri atas satu cerpen dan satu drama ini, Idrus lebih menunjukkan sisi percintaan yang dibalut situasi pergerakan pemuda pada zamannya. Kita akan merasakan romantisme dalam kapsul waktu yang membawa kita ke 78 tahun lalu disaat saudara jauh bangsa ini mulai berdatangan. Salah satunya cerpen Ave Maria, berisikan tentang kebesaran hati Zulbahri, yang ikut pergerakan tanah air dan merelakan pujaan hatinya mencintai pria lain. “Teruskanlah lagu ave maria itu, lagu bahagiamu berdua”
Baca juga:Resensi 21+ : Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Pada bagian kedua yang berisi 7 cerita pendek, Idrus meninggalkan sisi romantisnya, dan pergi menjelajahi kelamnya kehidupan sehari-hari dimasa pendudukan Jepang. Imajinasi dikepala akan terpenuhi oleh bayang-bayang lingkungan kumuh, pribumi yang kekurangan gizi, tindakan represif aparat, korupsi pejabat, dan hal pahit lainnya. Tulisan ini sangat cocok sebagai titik tolak pembelajaran masa kini dimana pemuda diharapkan lebih menghargai jasa pendahulunya dimasa lalu.
Proklamasi memang membawa angin segar bagi penduduk Indonesia, namun luka tak bisa sembuh dalam semalam. Di bagian ketiga buku ini, Idrus berkisah tentang keadaan Indonesia setelah 17 Agustus 1945. Kisah epik tentang kepahlawanan rakyat Surabaya terdapat di bagian ini. Membacanya akan merasa sedang berada di medan perang sesungguhnya. Selain itu, cerita favorit saya berada di bagian ini. Kisah sebuah celana pendek. Berisi tentang kemiskinan seorang opas atau penjaga kantor yang memakai celana pendek pemberian ayahnya dengan bangga sampai akhir hayatnya.
Baca juga:Resensi Buku: Kata “tentang senja yang kehilangan langitnya”
Pada masa sekarang, buku ini ibarat ukiran goa pada masa lampau negeri ini yang kita baca dan interpretasikan sebagai tonggak sejarah dan bukti pergerakan masyarakat akar rumput pada tanah airnya. Bagi saya, buku ini mengandung nilai sentimentil tertentu, didukung oleh penulisan dengan tata bahasa melayu modern, yang memang lazim digunakan pada zaman itu. Dan jika dibandingkan dengan karya tulis lain dengan tata bahasa yang sama, karya Idrus dalam buku ini lebih mudah dipahami.
Namun, bagi saya, cerpen Surabaya memiliki alur yang sedikit njelimet dan terlalu panjang. Namun, hal itu tidak mengurangi nilai epik kisah kepahlawanan tersebut. Dan mungkin beberapa pembaca akan sedikit kesusahan dalam mengartikan kata kata arkais dalam cerita tersebut.
Akhir kata, buku ini direkomendasikan untuk dibaca karena memiliki nilai-nilai positif yang dapat membuat pembaca lebih mensyukuri dan menghargai kehidupan sekarang.
Penulis: Daniel Simanjuntak