Judul: Kota Pontianak Doeloe-Kini-Mendatang
Penulis: Syafaruddin Usman MHD
Penerbit: PT. Mitra Bangun Kota
Tahun Terbit: 2016
Tebal Halaman: 137 halaman
Buku yang ditulis oleh Syafaruddin Usman berisi tentang sejarah kota Pontianak, sebuah kota yang menjadi ibukota provinsi Kalimantan Barat. Kota Pontianak sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Barat mempunyai keunikan daripada kita lainnya di Indonesia, karena letaknya tepat di garis khatulistiwa dan tidak banyaknya kota besar memiliki pemandangan sungai, pemandangan akan perahu besar dan kecil yang lalu lalang menyusuri sungai Kapuas sebagai salah satu sungai terpanjang di Kalimantan.
Dalam buku ini pun berkisah tentang awal berdirinya sebuah Kesultanan yang paling muda di Nusantara dengan nama Pontianak, dimana Kesultanan ini berdiri pada 23 Oktober 1771 oleh Abdurrahman Alkadrie, yang datang dari arah Mempawah untuk mencari tempat untuk dijadikan pusat kekuasaan terbarunya.
Namun, sebelum buku ini memulai dari poin penting pembahasan berdirinya Kesultanan Pontianak, terdapat alasan latar belakang Kesultanan Pontianak itu berdiri. Hal ini bermula dengan kedatangan seorang ulama besar keturunan Sayyid dan penyebar agama Islam bernama Habib Husin Alkadrie ayahnya Abdurahman Alkadrie, dimana dia berasal dari Trim Hadramaut, Yaman Selatan. Hussein adalah salah seorang penganut mazhab Syafii termasuk ulama tasawuf.
Awal Mula Kedatangan Habib Husin
Pada usia 22 tahun Habib Husin Alkadrie dari bersama dengan temannya untuk melakukan penjelajahan ke belahan selatan dunia yang belum dijangkau, karena niat yang dilakukannya berbekal dari anjuran gurunya untuk menyebarkan agama Islam dan mencari negeri-negeri yang subur di daerah selatan. Singkatnya, dalam perjalanannya teman teman Husin telah nyaman dan menetap di semenanjung Melayu, sementara Husin masih terus melanjutkan perjalanannya hingga sampailah ke negeri Matan (Ketapang) tahun 1735 dan menetap. Kedatangannya ini tentu disambut oleh penguasa Matan karena sebagai mubaligh untuk menyebarkan syariat Islam dan akhirnya Raja Matan mengangkat Habib Husin sebagai Mufti atau penghulu agung yang bertugas untuk menghakimi masalah-masalah sosial, politik dan keagamaan.
Namanya cukup terkenal di daerah itu tetapi terdapat suatu masalah yang menyeret Habib Husin, karena perkara kasus amoral yang hukumnya harus dibunuh, sedangkan dari Habib mencoba untuk melakukan perundingan dengan melakukan hukum agama yaitu bertaubat dan memohon ampun kepada Allah serta ampunan pula kepada Raja. Karena hal itu, Raja Matan melakukan tindakan pembunuhan ke pelaku amoral di sungai Kayung Matan yang membuat Habib Husin marah besar dan meninggalkan Matan. Sebelumnya, Habib Husin melakukan pernikahan dengan Nyai Tua, seorang kerabat istana Kerajaan Matan Keturunan Dayak Batulapis yang telah memeluk agama Islam dan lahirnya Syarif Abdurrahman Alkadrie.
Habib Husin beserta keluarganya akhirnya hijrah ke Sebukit Rama (Mempawah) yang dipimpin oleh Opu Daeng Manambun dan kelak Habib Husin meninggal di daerah terakhir yang melakukan misi penyebaran agama Islam. Abdurahman memiliki tiga saudara kandung yakni Syarifah Khadijah, Syarifah Mariyah dan Syarif Alwie Alkadrie.
Sejak muda, Abdurrahman menunjukkan keahliannya dalam perdagangan dan penjelajahan karena berbekal ia juga suka dengan membaca buku terutama sejarah dan tertarik untuk mengetahui keadaan di luar. Maka dari itu Abdurahman melakukan pelayaran ke Siak Sri Indrapura dan Pelembang, mengadakan perdagangan Lada di daerah Banjarmasin, tak luput mengadakan perang dan berhasil mengalahkan kapal Perancis di Pasir (Banjarmasin) dan menenggelamkan jung-jung Cina. Di Banjarmasin, ia dinikahkan dengan Putri Sirih Anim atau Syarifah Anim oleh Sultan Saad tahun 1768. Karena kelakuannya yang punya ambisi sangat kuat, dia pun sangat dibenci oleh kerabat Kerajaan ini, hingga akhirnya pulang ke Mempawah. Di Mempawah, ayahnya Habib Hussein telah lama meninggal dunia setelah lamanya Abdurahman melakukan pengembara. Karena hal itu, Abdurahman meninggalkan Mempawah dan melakukan penjelajahan lebih lanjut untuk menemukan wilayah yang cocok untuk dijadikan tempat tinggalnya. Sebelum meninggalkan Mempawah, Abdurrahman sempat menikah dengan Utin Tjandramidi putri Opu Daeng Manambun.
Baca Juga: Kenapa Pontianak: Romantisasi Kota Khatulistiwa
Berdirinya Kesultanan Pontianak
Buku ini menerangkan secara rinci tentang pendirian Kesultanan Pontianak, yang dimulai setelah shalat Jum’at, Syarif Abdurrahman Alkadrie beserta keluarganya dan rombongannya dengan 2 kapal besar dan 14 kapal kecil berbagai perlengkapan perangnya melakukan penjelajahan ke selatan Mempawah. Empat hari mengarungi sungai sampailah rombongan Abdurahman ke sebuah pulau kecil yang belakangan dinamakan Batu Layang yang berada tidak jauh dari muara sungai Kapuas. Tempat ini kelak menjadi pemakaman resmi keluarga Kesultanan Pontianak sekarang dan dari tempat ini juga rombongannya menemukan persimpangan tiga pertemuan sungai Kapuas dan sungai Landak.
Pada 23 Oktober 1771, tepatnya subuh, rombongan Abdurahman memasuki kawasan pertempuran sungai Kapuas dan sungai Landak kemudian menembaki dengan median ke arah bajak laut atau lanun yang sudah mengintai dan tinggal di kawasan tersebut.
“Maka berangkatlah ia beserta pengawalnya dan dalam perjalanannya ia berperang dengan bajak-bajak laut [zeerovers] dan pada waktu itu menjadikan persimpangan tiga sungai Landak dan Kapuas sehingga sebagai basis operasi pembajakannya. Dalam dongeng kuno dikatakan sebagai Hantu Pontianak [Kuntilanak] yang sebenarnya adalah bajak laut yang ditembaki dengan meriam-meriam,” tutur Jimmy Mohammad Ibrahim.
Setelah dari itu, rombongan ini kemudian mendarat pada salah satu kawasan tepi sungai Kapuas yang tidak seberapa jauh dari muara sungai Landak dan mereka membangun Masjid Jami Syarif Abdurrahman Alkadrie sebagai bangunan pertama yang berdiri di Pontianak dan setelah itu baru Istana Kadriah sebagai simbol kedinastian oleh Abdurahman. Tanggal 23 Oktober 1771 dinyatakan sebagai penanggalan berdirinya dan hari lahirnya Kota Pontianak.
Pengaruh Kolonialisme Belanda
Dari tahun ke tahun perlahan daerah itu kemudian berkembang menjadi kawasan perdagangan dan perniagaan karena mulai disinggahi sehingga dianggap sebagai kota dagang. Hal ini disebabkan karena letak geografis berdekatan Malaka, Laut Cina Selatan dan Singapura. Pada 1778, Syarif Abdurrahman Alkadrie menobatkan dirinya menjadi Sultan yang dilakukan oleh Raja Haji dari Kerajaan Riau yang masih ada hubungan kerabat dengan Abdurahman, sehingga Kesultanan Pontianak resmi berdiri.
Vereenigde Oost Indische Company (VOC) sebuah perusahaan swasta Belanda, mengetahui adanya kawasan perdagangan di Kalimantan Barat yang ramai dikunjungi, hingga akhirnya VOC mulai menanamkan pengaruhnya terhadap Kesultanan Pontianak. Hal ini bermula ketika Kesultanan Pontianak melakukan ekspansi militer terhadap Kerajaan Sanggau, akhirnya Raja Sanggau selaku vassal meminta bantuan kepada Kesultanan Banten. Akan tetapi pihak Banten meskipun secara masih dipandang, tetapi secara nyatanya Banten juga tidak berdaya lagi karena sedang bertempur dengan VOC dan kebetulan juga Sultan Pontianak sudah dibantu oleh VOC. Singkatnya pada tanggal 26 Maret 1778 Sultan Banten menyerahkan supremasinya kepada VOC dan selanjutnya kekuasaan Sanggau pun diserahkan kepada Pontianak.
Setahun kemudian, muncul perjanjian 5 Juli 1779 antara Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie dan VOC, menjadi titik balik penataan Pontianak diatur secara bersama. Hal ini juga menandai lahirnya kolonialisme Belanda di Pontianak karena VOC menguasai wilayah selatan keraton dan dibatasi sungai Kapuas dan tempat itu bernama Tanah Seribu atau dalam bahasa Belanda disebut Vierkante Paal karena areal 1.000 x 1.000 meter atau Paal (istilah latin Palas berarti panjang) dan VOC membangun benteng Fort Marianne yang memiliki tembok-tembok besar, kubu-kubu militer dan pintu gerbang. Pejabat, pegawai pemerintahan dan tentara bermukim didalam benteng dan wilayah sekitarnya.
Di luar wilayah kesultanan, keadaan masyarakat bermukim berdasarkan status (kasta) sosial ekonomi, status keagamaan dan status kekuasaan dalam kerajaan. Pemukiman di luar kompleks kesultanan terdiri dari para kerabat sultan, seperti para Hulubalang atau pembantu kerajaan keturunan Bugis dan Arab, kaum kerabat keraton dan Hulubalang bermukim di Kampung Dalam Bugis, Arab, dan Banjar sekarang. Kebijakan penetapan pemukiman kelompok-kelompok etnis berbeda ini sebagai strategi pengelolaan area boundary dan cultural boundary antar dengan berkaitan soal pembagian lapangan pekerjaan, sehingga konsep ini tidak memicu pertikaian atau konflik antar-etnis.
Adapun kedatangan imigran Tionghoa (Khek dan Teochew) yang sebenarnya sudah lama didatangi dari arah Utara dipimpin oleh Lo Fong Pak (kelak mendirikan Kongsi Lan Fang di Mandor) beserta 100 pengikutnya mendarah sebuah lahan kosong utara Sungai Kapuas pada 1772 setahun setelah Abdurahman membuka kawasan kekuasaannya. Lahan kosong itupun diberi nama Siantan (konon katanya itu adalah perkampungan Marga Tan) dan mereka pun langsung membuka permukiman di daerah tersebut. Di wilayah ini, dalam perkembangannya orang-orang Tionghoa menjadikannya kawasan niaga yang ramai dikunjungi jung, kapal layar dan sampan. Sehingga meluaskan pemukiman orang Tionghoa di tepian kanan sungai Kapuas dan sungai Landak.
Sementara itu ada juga penetapan pemukiman bagi orang Dayak Kanayatn yang diberi kebebasan mendirikan pemukiman di sebelah timur kesultanan, yakni di sepanjang Sungai Ambawang. Hal ini karena orang Dayak sendiri lebih memilih mengembangkan sistem pertanian ladang sebagai pola kehidupannya.
Setelah VOC bubar dan pusat Kekuasaan Pontianak beralih dibawah pimpinan Syarif Usman Alkadrie, pengaruh Belanda masih belum hilang melainkan muncul otoritas baru yaitu Hindia Belanda sebaliknya pengaruh Kesultanan Pontianak kian melemah. pada 1818 di tanah Seribu, melalui komisioner Belanda Van Boeckholyz mendirikan kantor permanen termasuk markas pertahanan, karena mendapatkan isu menghadapi kekuatan baru di Kalimantan Barat yakni kongsi-kongsi Tionghoa.
Selain menjelaskan tentang keadaan politik, sosial dan ekonomi. Terdapat penjelasan soal pelaksanaan pembaruan bidang pendidikan, pemerintah Hindia Belanda membuka Volkschool atau sekolah desa di Pontianak pada 1892, kemudian diikuti pembukaan Volkschool oleh misi Katolik pada 1910 dengan pendidikan berdurasi tiga tahun. Dibukanya Volkschool ini ternyata hanya diperuntukkan bagi putra golongan atas, pada 1914 berdirinya Hollandsch Inlandsche Scholen disingkat HIS atau sekolah Belanda-Pribumi di jalan Tamar. Sejak itu pendidikan golongan Tionghoa yang ada perubahan awalnya Vervologschool menjadi Hollandsch Chineesche School disingkat HCS yang sekitar jalan Sisingamangaraja atau sekarang kampung Bali.
Baca Juga: Perangnya Nanti Lagi
Menjadi Kota Kolonial
Ketika Pontianak dalam kurun waktu 1919 sampai 1942 keseluruhan mengalami perkembangan wilayah pemukiman cukup luas. Beberapa kampung yang terbentuk awal abad 20 antara lain Kampung Tok Kaya (Tokaya), Kampung Sungai Amat, dan Kampung Sungai Raya di Pontianak Tenggara, Kampung Saigon dan Kampung Kapur di Pontianak Timur, serta Kampung Haji Salim dan Kampung Haji Adam di Pontianak Utara. pada 1934 wilayah kota Pontianak kemudian dibagi tiga yaitu Kampung Marianne, Kampung Tengah dan Kampung Darat Sekip agar mudah diawasi oleh pemerintah Kolonial berhubung muncul pemberlakuan status ibukota Pontianak sebagai geweest, wilayah Afdeeling Pontianak mencakup onderafdeeling Pontianak, Landak, Sanggau dan Sekadau. Kawasan tanah seribu ini pada akhirnya disebut sebagai Kota Kolonial sementara diseberangnya yang dipisah oleh sungai Kapuas disebut kota Tradisional atau kotanya Sultan.
Penataan dan perkembangan kota secara keseluruhan memburuk setelah pemboman berkala Jepang atas Pontianak. Pemboman dilakukan 3 kali pada 19, 22 dan 27 Desember 1941. Pemboman pertama di kawasan Parit Besar (kawasan pasar Pontianak), Kampung Bali (sebelah selatan Pasar Pontianak) dimana Holland Chineesche School turut terkena bom hingga menelan korban sedikitnya 20 murid, kawasan gereja Katolik dan kampung Melayu juga menjadi sasaran dan didalam kota untuk menghancurkan infrastruktur penting Belanda dan pusat militer KNIL. Insiden ini dikenang oleh warga Pontianak yaitu “Kapal terbang sembilan” karena pengeboman nya berjumlah 9 pesawat terbang Jepang.
Pemboman tersebut setidaknya membuat Pontianak kacau dan tidak terkendali, begitu pula perekonomian kota. Pontianak menjadi sunyi dan tegang hingga kedatangan prajurit Rikugun (Angkatan Darat) Jepang dan tidak memberikan perhatian kepada orang-orang Tionghoa yang pengendali perekonomian Pontianak sehingga aktivitas ekonomi terganggu. Pelayaran antar pulau dan antar negara diawasi ketat oleh Kaigun (Angkatan Laut) Jepang, maka semenjak pendudukan militer Jepang pada 1942, perkembangan ibukota Pontianak sebagai kota Kolonial praktis terhenti total.
Setelah diuraikan persoalan sejarah kota Pontianak, adapun didalam buku tersebut disertakan foto-foto lama Kota Pontianak yang membuat para pembaca bisa melihat dan menggambarkan situasi Kota Pontianak pada zaman dahulu.
Buku Kota Pontianak Doeloe-Kini-Mendatang yang ditulis oleh Syafaruddin Usman MHD, menjadi rekomendasi untuk dibaca ketika ingin mengetahui sejarah singkat perkembangan dan pertumbuhan Kota Pontianak dari masa lampau, mulai dari kedatangan Sultan Syarif Abdurrahman, kedatangan Belanda, hingga kedatangan Jepang di Kota Pontianak. Buku inipun juga masih mengundang banyak teka-teki mengenai asal muasal penamaan Pontianak, beberapa istilah asing yang tidak ada penjelasannya.
Penulis: Judirho