Mimbaruntan.com, Untan – Seruan hati menginginkan kemerdekaan sudah menyatu dalam diri pejuang ini. Serta sosok pemimpin yang memiliki kemauan dan tidak takut terhadap risiko yang menimpa dirinya. Tidak pernah terlintas untuk mundur bahkan menyerah dengan keadaan disekitar atau bahkan kepada orang asing yang terus menekan hingga diasingkan jauh dari tempat kelahiran.
“Tanah Borneo” nama ini begitu melekat bagi pulau terluas keempat di Indonesia dan tempat terbuktinya, betapa pejuang dengan keras hingga sakit badan dan pikiran untuk menyingkirkan rantai belenggu penjajahan di Kalimantan Barat. Kepedulian menjadi tonggak yang menancap tepat dijiwa pejuang hingga rela meninggalkan bahkan menukar yang terbaik untuk dirinya demi kebebasan rakyat Kalimantan Barat.
Bernama Gusti Soeloeng Lelanang atau Gusti Sulung Lelanang merupakan pejuang Kalimantan Barat berasal dari daerah Ngabang. Nama ini hanya akrab sebagai nama jalan di kecamatan Pontianak Selatan. Namun, di eranya nama ini sangat diincar, dimata-matai bahkan menjadi nama yang ingin dilenyapkan oleh pemerintah Belanda. Gusti Sulung Lelanang merupakan 10 orang yang diasingkan secara serempak ke Boven Digoel karena laskar keberaniannya melawan penjajah Hindia Belanda.
Baca Juga: Peringati Hari Pahlawan, HIMEPA Bagi-bagi Stiker ke Pengendara
Sehingga untuk mengingat perjuangannya didirikanlah monumen “Tugu Digulis”. Tugu berbentuk bambu runcing yang berjumlah 11 menandakan bahwa ada 11 pejuang besar di Kalimantan Barat dan tugu ini tersusun tidak sama tinggi namun saling melengkapi.
Terlahir dari keluarga bangsawan Landak, membuat Gusti Sulung Lelanang berkesempatan bersekolah di luar Kalimantan dan menjadi angkatan pertama rakyat Kalbar yang merasakan pendidikan Barat. Hollandsche Inlandsche School (HIS) Jati Negara, Jakarta merupakan sekolah tempat ia menuntut ilmu.
Di sanalah Gusti Sulung Lelanang belajar dengan menggunakan pengantar bahasa Belanda. Hal tersebut tidak membuat Gusti Sulung lupa akan siapa dirinya. Ia tetap mementingkan kaumnya bahkan anak dari Pangeran Laksamana Gusti Mahmud ini bersedia mengajar di daerah Singkawang setelah lulus dari sekolah bangsawan Belanda.
Gusti Sulung Lelanang tidak hanya aktif sebagai mahasiswa tetapi ia juga guru pengajar di Perguruan Cikini Raya. Dengan semangat yang berkobar Gusti Sulung Lelanang bersikap anti Kolonial Belanda dan terus mengecam semua ketidakadilan hingga oleh Gubernur Jendral Belanda ia di hukum untuk menjadi tenaga pengajar di Singkawang, Kalimantan Barat.
Baca Juga: Lunturnya Pengetahuan Mengenai Pejuang Kalbar di Era Milenial
Seperti yang diceritakan Safaruddin Usman, bagi Gusti Sulung Lelanang ini bukan pengasingan namun, tugas mulia untuk mendidik orang daerah Kalimantan Barat. Bahkan ada salah satu muridnya (saat mengajar di Singkawang) bernama Firdaus yang menjadi bupati daerah Sambas tahun 1960-an.
Pada tahun 1926 Gusti Sulung Lelanang aktif sebagai pengajar di Perguruan Cikini Raya sehingga ia ditawarkan dengan dua pilihan yaitu dipercaya untuk menjadi mantri guru dengan gaji besar dan jabatan tinggi atau memilih meneruskan perjuangan menentang kolonial Belanda. Dengan tegas ia menolak pekerjaan yang terpandang dikala itu, apalagi dengan gaji besar sehingga kehidupannya akan terjamin dan tidak perlu memusingkan biaya hidup.
Namun ia tidak memperdulikan dirinya, kepedulian ia hanya ingin melawan kolonial Belanda karena baginya tidak perlu jabatan tetapi memperjuangkan yang menurutnya pantas untuk diperjuangkan yaitu Indonesia merdeka adalah hal yang harus diwujudkan. Akhirnya Gusti Sulung Lelanang dipulangkan ke daerah asalnya, Ngabang.
Disana pula ia kehilangan pendengarannya akibat dikeroyok oleh polisi yang bernama Opas. Pada masa itu ketika pemerintahan Hindia Belanda menghadapi pemberontakan atau perlawanan dari orang pribumi dengan cara mengerahkan pasukan yang isinya orang-orang pribumi itu sendiri yang sudah dilatih oleh Belanda. Pada malam hari, disaat sedang tertidur sepasang polisi rakyat jelata yang dibina oleh Belanda datang mengeroyok Gusti Sulung Lelanang hingga telinga sebelah kanannya infalid atau pekak. Kondisi tersebut ia rasakan hinga akhir hayatnya.
Baca Juga: Di Pontianak, Pahlawan dan Pejuang Lebih Terkenal Sebagai Nama Jalan
Perjuangan Gusti Sulung Lelanang tidak berhenti sampai di situ. Setelah rezim tanam paksa, Belanda semakin semena-mena sehingga ia merasa geram. Dengan semangat yang berkobar untuk menumpas dan melawan rezim pemerintahan kolonial Belanda, Gusti Sulung Lelanang yang berlatar belakang Syarikat Islam (SI), ketaatan agama dan akibat kecerdasannya oleh Belanda dianggap sebagai pemberontak dan komunis hingga 10 putera terbaik Kalbar (satu diantaranya Gusti Sulung Lelanang) diangkut dengan kapal bernama “Rough” pada bulan Oktober tahun 1926.
Selama 10 hari berlayar menuju tempat pembuangan dan pengasingan yang disebut “Boven Gigoel”, sebuah pulau ganas yang terletak di belantara bumi cendrawasih, Papua. Pulau bertanah merah dan dihuni oleh binatang buas. Boven Digoel merupakan sebuah negeri, sebuah kampung yang terisolir, banyak buaya dan nyamuk sebesar lalat apabila digigit akan terinfeksi malaria, 4 hari kemudian kencing darah dan seminggu kemudian mati. Namun orang Kalbar bukan Digoelnya tetapi tempat yang lebih jauh, lebih sengsara yaitu Gudang Arang.
Dari tahun 1926 Gusti Sulung Lelanang berada di tempat pengasingan hingga menjelang perang dunia kedua, pada tahun 1939 ia dipulangkan. Selama 13 tahun berada di Boven Digoel Gusti Sulung Lelanang bersama Jeranding dan Gusti Johar ahli melakukan perlawanan dan pelarian. Bahkan Gusti Sulung Lelanang yang juga seorang sastrawan sempat mengabadikan pelariannya dalam sebuah novel dan banyak puisi antara lain berjudul Borneo Tanahku Sayang.
Baca Juga: Pahlawanku, pejuang bangsa di Bumi Pertiwi
Selain karya sastra Gusti Sulung Lelanang yang memang berlatar belakang guru juga mengajarkan kursus bahasa Inggris dan bahasa Jerman kepada tahanan yang bersamanya saat berada di Boven Digoel. Begitu kuat sifat mendidik dan kepedulian Gusti Sulung Lelanang dalam memperjuangkan kebebasan bangsanya. Sifat ini yang terpancar dari seluruh pejuang pada saat itu hingga cahayanya menyilaukan mata dan membuat hati yang berbicara.
Gusti Sulung Lelanang masih tetap kepada semangat serta kepedulian terhadap kebebasan dan keinginan untuk terlepas dari segala bentuk penjajahan. Hingga pada peristiwa Mandor Berdarah perjuangan Gusti Sulung Lelanang terhenti, ia menjadi satu diantara pejuang yang merasakan kejinya tentara Jepang. Sejarah mencatat tanggal 28 Juni 1944 peristiwa pembantaian yang kejam terjadi. Menurut Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2007, tanggal tersebut menjadi Hari Berkabung Daerah Provinsi Kalimantan Barat untuk mengenang mereka yang menjadi korban Pembantaian Mandor.
Penulis : Bella Suci dan Anggela Juniati