mimbaruntan.com, Untan – Pada Selasa (06/12), Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) telah disahkan menjadi KUHP oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) pada Rapat Paripurna yang disiarkan melalui akun youtube DPR RI.
Diberlakukan sejak tahun 1958, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia berdasar pada hukum pidana Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie (WvS). Dianggap sebagai produk hukum buatan penjajah, pembaharuan RKUHP dimaksudkan untuk ‘dekolonisasi’ hukum yang dibuat oleh Belanda.
Lika-liku Pengesahan RKUHP
Adapun pembahasan mengenai RKUHP ini sudah dimulai sejak tahun 1963. Meski sudah disusun sejak 50 tahun lamanya, RKUHP belum juga disahkan. Hal ini dikarenakan begitu banyak polemik yang muncul dari rancangan ini.
Pada September 2019 lalu, ribuan mahasiswa melakukan unjuk rasa terhadap beberapa pasal dalam RKUHP yang dianggap kontroversial. Sebab masifnya penolakan dari berbagai kota di Indonesia membuat RKUHP ini kemudian batal untuk disahkan.
Dipenuhi kritik dari masyarakat, pemerintah melakukan peninjauan kembali terhadap rancangan versi 2019 lalu. Pembahasan RKUHP ini pun terus berlanjut hingga pada saat ini. Namun, dalam penyusunannya pemerintah tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat. Hal ini terbukti bahwa draf asli RKUHP tidak disebarluaskan oleh pemerintah.
Sama halnya pada Juli 2022 lalu, draf RKUHP versi Juli ini menuai berbagai perdebatan. Meski kemudian batal disahkan karena belum rampungnya pembahasan isu di dalamnya, tak menghentikan pemerintah dan DPR untuk tetap mengesahkan RKUHP ini selambat-lambatnya akhir tahun ini.
Baca Juga: Padati DPRD Kalbar, Mahasiswa Tolak RKUHP Bermasalah
Hadir dengan draf terbaru pada 9 November, Aliansi Reformasi KUHP berkesempatan beraudiensi bersama Komisi III DPR RI pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang disiarkan melalui akun youtube Komisi III DPR RI pada Senin (14/11).
Menanggapi aspirasi dari aliansi, Pimpinan Komisi III Bambang Wuryanto mengatakan bahwa masukan dari aliansi tak serta merta diterima oleh DPR RI sebab DPR merupakan perwakilan dari partai-partai.
“Perlu saya jelaskan standing posisi kita bahwa RDPU ini mendengarkan aspirasi dan masukan tapi dikau tidak bisa mewajibkan kami untuk mengikuti itu. Kenapa? Karena kami ini mewakili partai-partai, kalau ketua partai ini menginginkan pasal itu harus gol, maka dalam rapat-rapat bertempur,” tegasnya.
Meski pada Kamis (24/11) RKUHP akhirnya disahkan pada pembahasan tingkat 1, pasal-pasal bermasalah masih hadir dengan ancaman pemidanaan dan dinilai merepresi kebebasan masyarakat. Dilansir dari reformasikuhp.org, beberapa pasal bermasalah yang kini menjadi gunjingan antara lain pemberatan sanksi pidana berlebihan, penghinaan presiden, penghinaan terhadap lembaga negara dan pemerintah, pawai dan unjuk rasa tanpa pemberitahuan, penyebaran paham marxisme dan leninisme, pasal terkait kontrasepsi, pasal terkait kesusilaan, pelanggaran HAM berat, tindak pidana agama, tindak pidana korupsi, berita bohong dan masih banyak lagi.
Diskusi dan Konsolidasi “Ogah Masuk Penjara”
Menanggapi berbagai konflik mulut di tengah masyarakat. Asfinawati, Nella Sumika Putri dan Al Khanif menerangkan beberapa permasalahan dalam RKUHP pada diskusi dan konsolidasi “Ogah Masuk Penjara” yang diadakan di Sekretariat Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Universitas Tanjungpura (Untan) pada Senin Malam (28/11).
Bersama gaungkan tagar #BatalkanRKUHP dan #SemuaBisaKena, terlihat antusias masyarakat dalam membahas keresahan terhadap RKUHP.
Berbicara mengenai adanya RKUHP yang kini sedang marak dibahas, tujuannya pun menjadi tanda tanya bahwasannya kejelasan sebagaimana mestinya tidak dipaparkan secara rinci, berbagai macam pasal selalu menuai kritik. Asfinawati seorang aktivis sekaligus advokat Hak Asasi Manusia menjelaskan adanya asas hukum yang berlaku dimana “Tiada hukuman pidana tanpa suatu kesalahan”.
Mengutip buku Rekonstruksi Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan oleh Romli Atmasasmita, dikatakan ada asas hukum Geen Straf Zonder Schuld yang berartikan bahwa manusia/orang tidak mungkin dijatuhi pidana jika tidak melakukan perbuatan pidana.
Dengan adanya asas tersebut memang betul RKUHP dapat hadir di tengah masyarakat, namun Asfinawati dengan lantang mengatakan inilah bentuk koersi (baca: paksaan) paling ampuh,
“Sekarang, pemerintah mengenalkan koersi paling jelas, yaitu RKUHP”
Asfinawati juga menjelaskan logika buah dalam suatu penerapan UU KUHP kelak. Dimana jika terdapat dua buah busuk dalam satu keranjang maka terdapat dua pilihan. Pilihan pertama tidak usah dimakan keduanya dan dibuang saja. Pilihan kedua, jika tidak ingin dibuang maka tidak usah dimakan saja.
“RKUHP tidak bisa seperti logika buah, semua akan berlaku di masyarakat mau itu baik ataupun itu buruk. Tidak bisa dipilih mana yang mau dibuang mana yang mau dibiarkan,” jelasnya penuh penekanan.
Menyinggung berbagai pasal bermasalah, Nella membuka dengan Pasal 2 ayat 1 yang cukup banyak diresahkan masyarakat dimana dalam satu undang-undang dipertanyakan mengapa pasal satu dan pasal lainnya bisa mengandung pengecualian. Seolah-olah pasal yang berkonotasi positif adalah sebuah framing baik yang berkamuflase untuk menutupi pasal yang “jelek” yang bisa dilihat pada pasal 1 di mana pasal tersebut seakan-akan menutupi buruknya pasal setelahnya.
“Ini seolah-olah framing yang dibuat baik, tapi kadang-kadang kamuflase penutup yang jelek, contoh pasal 1 dan 2. Pasal 1 bagus tujuannya kepastian hukum. Tiba-tiba harusnya di dalam satu undang-undang tidak ada pengecualian pasal yang lain, muncul pasal 2 mengecualikan pasal 1,” jelas Nella.
Jika menelaah baik-baik RKUHP secara mendalam tidak ada perbedaan signifikan dari KUHP sebelumnya, padahal RKUHP saat ini merupakan sebuah pembaharuan. Nella menyinggung sedikit mengenai kodifikasi (baca: penyusunan UU) yang ingin dibuat perubahan secara parsial (sebagian) di dalamnya. Perubahan parsial tersebut dimaksudkan untuk merubah pasal-pasal yang bermasalah saja, namun pada akhirnya rencana tersebut hanya angin lalu.
“Waktu itu sempat mengajukan rencana mengubah pasal yang bermasalah saja, tapi ditolak mentah-mentah, pembentuk undang-undang merasa ini buatan Belanda dan jelek saja. Mau buat versi baru padahal tidak ada beda hanya kerja patchwork saja. Pembaharuan harusnya lebih baik. Jika tidak lebih baik tidak perlu pembaharuan,” ungkap Nella.
Baca Juga: Menilik Pasal Kontroversial pada Draf RKUHP
Kini beralih ke pasal bermasalah selanjutnya dimana menjadi perdebatan isi dari pasal 302 yang dikatakan bahwa isinya lebih buruk dari pasal 156A yang mengaitkan agama di dalamnya. Pasal 302 RKUHP menyatakan bahwasanya penistaan agama di Indonesia akan dihukum penjara paling lama lima Tahun. Sementara untuk orang yang menyebarkan informasi ihwal penistaan agama itu melalui sarana teknologi akan menerima hukuman yang sama, yaitu penjara paling lama 5 tahun.
Tak jauh beda sebenarnya dengan pasal 156A namun, pada pasal 302 dianggap sebagai hal sensitif yang terus menerus menjadi makna buruk dalam setiap penggunaan katanya pada isi pasal.
“jika di dalamnya kata agama dihapuskan akan lebih bagus, ketika siapapun membuat RUU memasukkan kata agama itu akan menjadi buruk (maknanya) hanya kemudian satu pasal tersebut bisa mempengaruhi kaum itu juga, ibarat karena nila setitik rusak susu sebelanga” jelas Khanif Seorang Dosen/ Pengajar Hak Asasi Manusia (HAM) di Universitas Jember
Kini tak hanya lagi tentang isu yang menuai berbagai kritik, namun kini tentang permasalahan salah satu pasal sebut saja pasal 408, 412 dan 413 dimana Dwi (nama samaran) dari sebuah organisasi Minoritas Gender dan Seksualitas kota Pontianak yang merasa bahwa keberadaan kawan-kawan LGBTIQ terancam karena keberadaannya yang rentan dikriminalisasi. Begitu juga dengan bentuk pekerjaan dalam mengedukasi masyarakat mengenai alat kontrasepsi seakan-akan diambil alih oleh pemerintah dan menutup kesempatan kaum minoritas untuk dapat bereksplorasi.
Nella dengan tegas menanggapi bahwasannya hukum pidana seharusnya tidak membuat suatu kelompok terdiskriminasi, hukum pidana harusnya berlaku untuk semua orang dan hukum pidana tidak membeda-bedakan.
Kemudian, Asfinawati menambahkan sedikit setelah membahas seluruh permasalahan pasal dan keresahan masyarakat
“Tidak ada aturan hukum yang sempurna, tapi yang bisa kita lakukan adalah memaksimalkan aturan hukum itu,” singkatnya.
Adapun Nella menambahkan sebagai penutup diskusi pada malam itu,
“Bahasa hukum pidana itu harus dibuat dengan kata-kata yang jelas, detail, dan dapat dipahami. Semakin undang-undang itu tidak jelas dan tidak mudah dipahami maka undang-undang itu bisa saya katakan adalah undang-undang yang buruk,” tutupnya pada akhir kesempatan.
Tepat pukul 10.56 WIB batas konsolidasi dan seruan aksi dirasa tak ada gunanya, RKUHP yang menjadi tuntutan untuk tidak disahkan kini menjadi perbincangan baru bahwa tepat Selasa, (6/12) RKUHP kini sah menjadi Undang-Undang. Apakah setelah ini timbul ancaman baru ataukah rencana pemantik simpati bagi masyarakat?
Penulis: Hilda dan Lulu
Editor: Putri