Dibeberapa tempat di Indonesia, rasa aman bagi jemaah Ahmadiyah untuk melakukan aktifitas keagamaan seolah menjadi barang yang mahal. Namun di Kalimantan Barat (Kalbar), ruang “bernafas” itu sudah begitu terbuka lebar.
mimbaruntan.com, Untan – Laki-laki paruh baya penganut jemaah Ahmadiyah itu duduk di depan muka pintu. Sementara polisi sudah berjaga-jaga di sekitar rumah, lengkap dengan mobil water canon. Bapak panik waktu itu ? “Tidak,” jawab Pak Warto sambil menikmati teh hangat, Selasa, (11/09). “Saya sudah siap dengan apapun yang terjadi,” ujarnya yakin.
Kejadian tersebut terjadi enam tahun silam saat ormas islam menuntut pemerintah membubar jemaah Ahmadiyah. Namun Warto yang saat ini sudah berusia 87 tahun itu tetap tenang menghadapinya. “Tapi rupanya tidak datang, sampai hari inipun tidak pernah datang,” katanya yang juga menjelaskan jika penyerangan tersebut hanyalah isu yang di besar-besarkan.
Sore itu suara adzan magrib mulai berkumandang di Gang Karya 2B, jalan Dokter Soetomo. Suara adzan tersebut berasal dari Masjid Nurul Muslimin, sebuah masjid yang didirikan masyarakat non Ahmadiyah. Wargapun satu persatu mulai berdatangan. Tidak lama berselang, terdengar samar namun sangat jelas suara Adzan dari sebuah masjid yang hanya berjarak tigapuluh meter dari masjid Nurul Muslimin. Ternyata suara adzan itu datang dari masjid kecil yang bernama Al-Kautsar. Sebuah masjid yang didirikan jemaah Ahmadiyah sejak tahun 1982. “Kemarin ada seorang jurnalis juga datang ke sini, dia kaget melihat kita menggunakan pengeras suara,” kata Warto sambil tertawa kecil. Ia juga sempat mengenang awal pembangungan masjid jemaah Ahmadiyah. “Warga sekitar mulai bertanya-tanya kok ada masjid lagi,?” ucap Warto menirukan respon masyarakat sekitar. Walaupun begitu sampai hari ini warga sekitar tidak ada yang memprotes keberadaan jemaah Ahmadiyah. “Warga di sini tidak pernah mempermasalahkan, sepanjang mereka (Ahmadiyah-red) tidak membuat onar, ya kita terima saja,” ujar Subandi, ketua RT 4 RW 17, yang juga bertetangga dengan Warto, Selasa, (11/09). Keharmonisan warga sekitar dengan jemaah Ahmadiyah juga terlihat jelas saat Idul Adha tahun ini. Saat itu jemaah Ahmadiyah mengadakan pemotongan hewan kurban dan membagi-bagikannya kepada warga. Rustandi mengaku senang atas respon yang baik dari masyarakat. “Waktu saya di Sukabumi warga yang dibagikan daging tidak mau, dianggapnya haramlah, tapi di sini semuanya menerima,” kenang Rustandi, ustadz dikalangan jemaah Ahmadiyah, Selasa, (11/09). Rustandi yang berasal dari Sukabumi juga sangat senang dengan respon baik masyarakat yang jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Sukabumi. “ Secara umum lingkungan setempat di sini tidak ada masalah,” ungkapnya.
Lembaga SETARA institute pada tahun 2015 merilis hasil penelitian mengenai tingkat toleransi beragama hampir diseluruh kota di Indonesia. Kota Pontianak dan Singkawang menjadi kota sepuluh besar yang memiliki tingkat kota toleransi tertinggi. Menurut Ridwan Rosdiawan, Dosen Perkembangan Modern Dunia Islam dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak menilai bahwa masyarakat Kalbar sudah terbiasa hidup dengan multikulturalisme. “Masing-masing sadar bahwa selain diri dan afiliasinya yang berbeda dengan mereka yang begitu banyak, baik secara latar belakang kultur etnis maupun keyakinan. Ahmadiyah dianggap sebagai salah satu pihak diantara banyak itu,” terangnya, Sabtu (15/09).
Di wilayah Jawa, ruang gerak pengikut Ahmadiyah kerapkali mendapatkan perlawanan dari ormas Islam. Menurut Rosdiawan, di Jawa dalam suatu wilayah geografis, mayoritas struktur masyarakatnya cenderung homogen, sehingga keberadaan Ahmadiyah sering dianggap kelompok yang berbeda dan mencolok. Hal inilah menurut Rosdiawan, akan menjadi potensi konflik. “Saya pikir berkonflik dengan Ahmadiyah bagi masyarakat Kalbar sama halnya dengan membuka konflik dengan unsur masyarakat yang berbeda latarbelakang lainnya,” jelas Rosdiawan.
Pengaruh dari Luar
Pada tahun 2008 pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yang berisi peringatan dan perintah kepada Jemaah Ahmadiyah Indonesia dan masyarakat pada umumnya. Saat SKB tersebut dikeluarkan terjadi gejolak panas antar ormas Islam dan jemaah Ahmadiyah di wilayah Jawa. Akibatnya, gejolak tersebut bergulir ke daerah, termasuk di Kalbar.
Menurut Rustandi, pengaruh isu nasional sangat mengancam keharmonisan yang sudah terjaga baik di Kalbar. “Minimnya sosialisasi tentang SKB di daerah menjadi PR pemerintah, karena SKB bukan melarang Ahmadiyah tapi mengatur semua pihak untuk saling menjaga,” jelasnya.
Walaupun pada tahun 2008 di Kalbar sempat memanas, tidak sekalipun jemaah Ahmadiyah di Pontianak mendapatkan intimidasi dari warga sekitar. “Biasanya yang sering berdampak pengaruh itu orang-orang dari luar. Yang bisanya mempengaruhi masyarakat untuk membenci jemaah Ahmadiyah,’’ kata Rustandi yang juga mengklaim pengikut Ahmadiyah untuk wilayah Kalbar berjumlah tiga ratus lima puluh orang. Untuk mencegah pengaruh dari luar, Subandi selaku ketua RT selalu menghimbau agar masyarat tidak mudah terpengaruh. “Saya rasa ini hak asasi setiap orang untuk menganut kepercayaan. Kalau ada yang mengganggu keharmonisan warga, kita akan usir,” tegas Subandi.
Keharmonisan yang sudah terjaga baik di Kalbar akan selalu mendapatkan tantangan, termasuk pengaruh isu yang berkembang di tingkat nasional. Hal tersebut menurut Ridwan Rosdiawan, penting bagi masyarakat Kalbar untuk terbuka pikirannya, bahwa orang lain punya sistem kepercayaan yang benar menurut mereka. “Kuncinya adalah literasi dan moderasi, masyarakat harus mengedepankan persatuan dan perdamaian serta meredam rasa perbedaan dan permusuhan,” pungkasnya.
Penulis : Irvan
Editor : Fikri RF