Terlepas dari substansi yang terjadi sepanjang debat pertama pemilihan presiden yang digelar tanggal 17 Januari 2019 lalu, secara teknis terdapat banyak kelemahan. Indonesia memang belum memiliki tradisi dalam berdebat. Tradisi ini hapus, pasca pemberlakuan Dekrit Presiden Sukarno 5 Juli 1959 yang membubarkan sistem parlementer.
Praktis Indonesia kembali ke dalam sistem presidensial hampir 60 tahun terakhir. Dengan sistem parlementer, bandul kekuasaan politik berada di Istana Negara. Dengan keberadaan Presiden RI sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, otomatis tak terlihat situasi dan kondisi perdebatan.
Hal itu tentu berbeda dengan pemberlakuan sistem parlementer usai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Guna mengantisipasi kedatangan balatentara pemenang Perang Dunia II yang dipimpin Inggris, negarawan pendiri Republik Indonesia melakukan “pelanggaran bersama” atas UUD 1945. Komite Nasional Indonesia Pusat diubah menjadi parlemen. Sutan Sjahrir menjadi Perdana Menteri pertama.
Baca Juga: Pentingnya Paradigma Baru Hakim di Kasus Tipikor
Walau konstitusi menganut sistem presidensial, praktek yang dijalankan sama sekali berbeda. Perubahan itu dilakukan guna menyesuaikan sistem pemerintahan dalam tubuh negara muda ini dengan sistem pemerintahan yang berlaku di Kerajaan Inggris. Keberadaan KNIP sebagai parlemen nasional itu menghilangkan stigma betapa Indonesia adalah negara yang semula dapat pengaruh dari fasisme Jepang.
Selama 14 tahun kemudian, sistem parlementer berlaku, termasuk lewat UUD Sementara 1950 yang menjadi dasar pelaksanaan pemilu 1955. Kabinet jatuh bangun. Kementerian Pertahanan dan Kementerian Keuangan menjadi rebutan partai-partai politik yang berkuasa.
Perdana Menteri datang silih berganti. Usia kabinet tak lama, paling panjang justru dipimpin oleh Ir Juanda dalam bentuk zaken cabinet. Mimbar parlemen benar-benar bergaung ke seantero penjuru. Debat-debat tajam terjadi.
Singa-singa podium lahir. Kisah persahabatan antara singa-singa podium itu juga tak kalah luar biasa, antara lain Muhammad Natsir dengan IJ Kasimo. Mereka berdebat. Mereka bersahabat. Perselisihan politik ditinggalkan di atas mimbar itu, sama sekali tak dibawa keluar dari gedung parlemen, apalagi sampai masuk ke dalam halaman dan rumah keluarga. Terdapat menara api yang pantang dilanggar oleh sosok-sosok yang sampai kini masih menggentarkan itu.
Sistem parlementer menghidupkan koran-koran partai. Parlementer terbagi ke dalam dua kubu besar, yakni pemerintah dan oposisi. Syarat pembentukan kabinet tentu berdasarkan kekuatan mayoritas di dalam tubuh parlemen. Mosi-mosi tidak percaya berseliweran. Skandal-skandal diungkap. Kehidupan seni, sastra dan budaya ikut terpengaruh.
Partai-partai politik otomatis hidup saban hari, petang, malam dan pagi. Setiap kali rapat partai digelar, konstituen masing-masing berkerumun di depan radio-radio yang menyiarkan secara langsung. Dokumen-dokumen rapat terpelihara dengan baik. Judul-judul pidato para tokoh menghiasi halaman-halaman koran keesokan harinya. Pidato berbalas pidato. Bukan saja rakyat sipil yang terbelah, tetapi juga angkatan bersenjata. Hak politik benar-benar diberikan secara paripurna, tak mengenal sipil atau militer.
Yang namanya era pascakolonial, setiap orang ingin bebas bicara. Pemilu 1955 bukan hanya diikuti oleh partai-partai politik, organisasi kemasyarakatan, tetapi juga perseorangan. Bukan hanya anggota parlemen yang dipilih, melainkan juga anggota Dewan Konstituante yang ditugaskan menyusun UUD baru.
Walau materi kontitusi baru itu sudah 95% lebih disepakati, perbedaan tajam terjadi dalam memutuskan dasar negara. Sidang berkali-kali, pidato berapi-api, hasil tak ada yang pasti.
Baca Juga: Literasi: Budaya Baca dan Tulis Ialah Sahabat Di Zaman Milenial
Setelah Dekrit Presiden Presiden Sukarno 5 Juli 1959, suara oposisi menipis. Suara-suara kritis berpindah ke kalangan kampus. Pers kampus menjadi corong. Ideologi pembangunan digugat. Ujung dari semua itu adalah pembreidelan pers mahasiswa, beserta pers umum yang berafiliasi dengan partai politik di masa lalu. Kritik berhenti. Kopkamtib beraksi.
Bayang-bayang Istana Negara terlalu kelam dalam panggung debat kemaren. Bagi pihak yang belum mendapatkan mandat rakyat untuk mendudukinya, terlibat betapa perkasanya istana itu. Seolah segala sesuatu bisa dibuat dengan berucap sim salabim.
Sementara bagi yang sudah bersentuhan dengan keangkeran istana itu, tentu juga paham mantra-mantra penjinak kekuasaan. Selama sistem politik tidak mendukung terjadinya silang pendapat yang berkualitas dan substantif, debat-debat berikut secara teknis juga bakal berujung sama.
Quo vadis sistem presidensial?
Penulis: Indra J Piliang (Sang Gerilya Institut)