“Jadi, cinta itu sangat berharga dan merupakan hal yang paling penting untuk hidup, karena tanpa cinta hidup itu akan gersang. Untuk kehidupan saya, cinta yang jadi intinya, yang lain-lain itu hanya buah dari cinta itu”.
mimbaruntan.com, Untan – Tepat pada plang bertuliskan Rumah Belas Kasih, kami memarkirkan kendaraan. Disambut oleh perpaduan bunga warna-warni dan bangunan kayu membuat rumah singgah ini menjadi tempat hangat bagi siapa pun yang berkunjung. Sinaran matahari memantulkan bayangan tangga di salah satu bangunan Rumah Belas Kasih.
Sepeda ontel terparkir tepat di depan teras rumah bernuansa kayu. Tampak lukisan batik Bunda Maria dan foto Paus Fransiskus terpajang di ruangan seluas 3×4 meter tempat di mana kami duduk. Hamparan tikar permadani dan segaris senyum oleh Suster Magdalena Paula menyambut kedatangan kelima tamunya pada Minggu (12/6/22).
Sebagaimana ia disebut, rumah ini mengajarkan belas kasih yang sesungguhnya. Begitulah pada akhirnya ketiga sosok yang kami temui bercerita. Perempuan-perempuan muda dengan semangat di matanya.
Baca juga: Kikis Stigma, Beri Wajah Baru Untuk Beting
Namanya Dau, dengan rambut yang diikat dan senyuman manisnya kami berbincang bersama di taman pada sore itu. Mengenang beberapa tahun sebelumnya saat masih duduk di bangku SMA, bersama temannya Dela, Ia pergi sekadar untuk berkunjung. Namun, barangkali keasrian rumah itu, ketenangan yang menyelimuti dan kehangatan Suster Paula membuat mereka betah dan memutuskan untuk tinggal di sana.
“Saya menerima orang dengan penuh kepercayaan karena kalau ada sesuatu (hal buruk) maka hal itu akan muncul ke permukaan,” kiranya hal itulah yang membuat banyak wajah baru yang muncul dari berbagai agama, suku, ras, dan keragaman lainnya di Rumah Belas Kasih ini.
Sosok Suster Paula serupa ibu sekaligus ayah bagi mereka, berbagi perasaan senang, sedih, marah membuat hubungan Suster Paula dengan mereka begitu dekat. Bukan sama, tapi sesuai porsi adalah cara Suster Paula memperlakukan semua orang. Karena bagi Suster Paula, setiap orang memiliki karakteristiknya masing-masing dan tentunya memiliki cara didik yang berbeda.
Para penghuni Rumah Belas Kasih mengakui banyak perubahan yang terjadi salah satu nya dari segi keimanan. Keimanan adalah sesuatu yang tidak bisa diukur dengan satuan ukur. Bagi Cori, iman dapat tumbuh di Rumah Belas Kasih, karena di sini ia sangat sering melakukan ibadah dan tepat waktu.
“Misalnya ibadah jam enam pagi, kita ibadah tepat waktu jam enam pagi. Jadi setiap saya merasa malas untuk bangun pagi, selalu ingat oh iya mau ibadah.” Bagi Cori, Suster Paula memberikan semangat dan dorongan untuk melakukan hal-hal positif, bukan karena suatu paksaan.
Dari segi psikologis, bagi Dela, ia menjadi orang yang berani untuk mengungkapkan perasaannya. Ia sadari bahwa setiap manusia memiliki hak untuk sedih, marah, menegur orang lain. Begitu pula Dau yang awalnya adalah orang yang cukup cuek, namun setelah di sini ia menjadi sosok yang lebih ramah dan peduli kepada orang lain. Karena setiap harinya Dau selalu bertemu dengan sosok baru dan melatih kemampuan sosialnya.
Baca juga: Semerbak Aroma Roti dari Dapur Rumah Belas Kasih
Hal positif tidak hanya dirasakan oleh mereka yang tinggal di Rumah Belas Kasih, masyarakat sekitarnya juga ikut senang dengan adanya les gratis dan kegiatan yang mereka adakan di sana.
“Masyarakat sekitar menerima baik, apalagi karena ada les gratis yang diadakan di sini, mereka (penghuni Rumah Belas Kasih) inisiatif mendirikan les pendidikan karakter berbasis bahasa inggris setiap sabtu. Masyarakat di sini juga ikut kegiatan di sini, ada juga yang dari Muslim ikut kegiatan les matematika dan bahasa inggris,” ucap Suster Paula dengan suara lembutnya.
Begitulah buah dari cinta dan kasih Suster Paula, banyak dari mereka yang hilang lukanya, tidak sedikit pula yang kembali kebahagiaannya. Dengan saling menjaga kepercayaan satu sama lain, maka keberagaman bukan dilihat sebagai suatu masalah, namun suatu keindahan.
Penulis: Wynona, Dita, Lulu
Editor: Daniel