mimbaruntan.com, Untan – Sejak tahun 2004 hingga saat ini, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) belum juga mendapat pengakuan dari negara. Kasus diskriminasi hingga kekerasan yang dialami Pekerja Rumah Tangga (PRT) dinilai sudah masuk tahap darurat sehingga mendapat pendesakan dari berbagai lapisan masyarakat, guna memberikan kepastian hukum bagi korban.
Menanggapi hal tersebut Konde.co dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU PPRT mengadakan workshop bagi Jurnalis dengan tema Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) dengan mendorong media terlibat demi mewujudkan supremasi hukum dan hak asasi manusia.
Esti Utami yang merupakan fasilitator dalam workshop tersebut dalam pembukaannya menyampaikan alasan ihwal terhambatnya RUU PPRT yang selama sembilan belas tahun belum juga disahkan oleh DPR.
“sampai saat ini RUU PPRT masih mandet dibadan legislatif DPR, karena rapat badan musyawarah DPR yang biasanya dihadiri pimpinan fraksi dan DPR belum mengetuk palu untuk membawa RUU PPRT ini ke rapat paripurna untuk menjadi inisiatif DPR,” sibak Esti Utami (9/2).
Hal ini bertalian dengan konstitusi yang menyatakan bahwa setiap Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dengan payung hukum itu, negara wajib untuk memberikan perlindungan kepada seluruh masyarakat, tidak terkecuali PRT yang menggantungkan hidupnya dengan pekerjaan domestik.
Penundaan yang terus berlanjut pada akhirnya menghambat tegaknya hukum dan membiarkan berlangsungnya perbudakan di situasi rentan pekerja rumah tangga.
“Negara yang tidak mengurus membuat pembiaran ini berkelanjutan dan bahkan semua bentuk kekerasan itu disimpulkan menjadi satu (yaitu) perbudakan yang berjalan di Indonesia, praktek perbudakan itu ada,” jelas Eva Kusuma Sundari, Koordinator Jaringan Masyarakat Sipil untuk Pengesahan UU Perlindungan PRT.
PRT Bukan Pembantu
PRT dalam perjalanan sejarahnya tidak disebut sebagai pekerja, namun lebih akrab dengan istilah pembantu ataupun asisten rumah tangga. Akan tetapi di balik istilah, ada identitas dan hak dasar yang diperjuangkan para pekerjanya.
Istilah pekerja pada PRT akan mendapat pengakuan sebagai pekerja sebagaimana profesi pekerja yang lain dan mendapatkan perlindungan hukum.
Hak normatif yang hadir memberi perlindungan terhadap pekerja yang bersifat mengikat pekerja dan pemberi kerja dan sebagai instrumen proteksi terhadap upaya eksploitasi terhadap pekerja.
“Kalau asisten/pembantu cantolan hukum nya tidak ada tapi kalau pekerja maka attach to status pekerja ada hak-hak normatif sebagai pekerja. Hak normatif pekerjanya apa, (seperti) upah yang layak, tempat kerja layak, hak beribadah, hak libur, hak istirahat karena semua manusia membutuhkan istirahat, mengembangkan diri, penghargaan, beribadah,” jelas Eva.
Lita Anggraini, Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mengungkapkan hubungan kerja yang terjadi antara pemberi kerja dan PRT memenuhi empat unsur hubungan kerja selayaknya pekerja formal yang diakui dan mendapat perlindungan negara, yaitu upah, perintah karena itulah jelas PRT bukan pembantu maupun asisten.
“Dalam konvensi ILO 189 (Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga) ditegaskan istilahnya domestic broker atau pekerja domestik atau pekerja rumah tangga,” tegasnya.
Lita mengajak seluruh masyarakat, terkhusus media untuk memahami status PRT sebagai pekerja dan hak-hak PRT sebagai pekerja.
“Mari kita mengubah pandangan ini, media memiliki peran dan gunakan istilah pekerja, karena masih banyak juga media masih menggunakan istilah ART dan pembantu. Jadi jelas, PRT ini disebut pekerja karena dia memenuhi unsur hubungan kerja dan dia berhak atas hak-hak dan perlindungan, pengakuan sebagai pekerja,” ajaknya.
Diskriminasi Berlapis PRT
PRT merupakan salah satu pekerja tertua dan terbesar di dunia, terkhusus di Indonesia. Menurut data terakhir, jumlah PRT didunia mencapai 87 juta jiwa dan di Indonesia sendiri jumlah PRT lebih dari 4 juta jiwa. Mayoritas pekerja PRT dari data survey ILO 2015, 84 persen adalah perempuan. Dan sekitar 30 persen di antaranya adalah anak perempuan.
Sedangkan menurut catatan JALA PRT setiap harinya di Indonesia terdapat 10-11 kasus kekerasan yang dialami PRT, baik kekerasan ekonomi, psikis, verbal dan seksual.
Dalam berbagai konteks, PRT mengalami diskriminasi. Baik itu sebagai perempuan, pekerja, manusia dan warga negara oleh karena tidak adanya pengakuan dan perlindungan. Hal ini memperjelas persoalan PRT juga yang merupakan persoalan interseksi dan adanya hierarki kelas. Kelas gender kelamin atau bias gender, kelas ekonomi, juga wilayah kerjanya, ras, human trafficking, serta diskriminasi karena pekerja mayoritas perempuan.
“Sebenarnya karena bias itu PRT bukan jadi pekerja, dan selama ini mayoritas perempuan yang mengerjakan pekerjaan tersebut dianggap sebagai kodrat bagi masyarakat patriarki dan dianggap tak bernilai padahal pekerjaan ini sangat vital dan menjadi penopang perekonomian, karena dengan adanya pekerjaan ini, menajadikan pekerjaan publik berjalan dengan baik,” jelas Lita.
Berangkat dari hal tersebut, Jumiyem yang merupakan seorang PRT dari usia anak hingga perjalannya selama 15 tahun sebagai PRT berbagi pengalamannya yang tergabung dalam Lembaga Serikat Tunas Mulia sebagai lembaga yang bergerak membela PRT dari kekerasan dan diskiriminasi serta membangun keterampilan.
“Ternyata apa yang sudah saya alami juga dialami kawan-kawan PRT lainnya. Kawan-kawan PRT juga mengalami kekerasan, psikis dan ekonomi dan pelecehan seksual. Saya juga dua kali mengalami pelecehan seksual. Masih banyak teman-teman PRT belum mendapatkan hak nya sebagai pekerja, karena PRT ini tidak memiliki kekutan untuk berkata tidak,” ungkapnya.
Di penghujung waktu, Lita menegaskan bahwasanya urgenitas aturan meliputi perspektif perlindungan itu sendiri berdasarkan penghormatan, penegakan, dan penghargaan kepada manusia dengan hak-haknya.
“Draft RUU PRT bukan draft asal draft, tapi dari riset dan praktek 408 PRT dan pemberi kerja jadi kalau ada masukan kami buat , itu yang kami ajukan. Proses itu mengubah budaya kerja, budaya apresiasi, budaya memanusiakan, budaya saling menghormati kedua belah pihak dan semua itu membutuhkan proses dan alat, alat tersebut adalah UU,” pungkasnya.
Penulis: Vania
Editor: Hilda